Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Operasi Dinihari Untuk Sang Penyidik

Penangkapan Novel Baswedan Oleh Penyidik Polri Dituding Menyalahi Prosedur. Ditengarai Sebagai "teror" Bagi Penyidik Kpk Yang Lain.

11 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERDEBATAN sengit terjadi di ruang tamu rumah Novel Baswedan di Jalan Deposito, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat dinihari dua pekan lalu. Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi ini menolak surat penangkapan yang disodorkan Ajun Komisaris T.D. Purwantoro dari Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI.

Dalam surat itu tertulis upaya paksa dilakukan karena Novel dua kali tidak memenuhi panggilan pemeriksaan. Kalimat ini yang dipersoalkan Novel. "Saya merasa baru sekali dipanggil, dan panggilannya diterima pimpinan KPK," katanya Selasa pekan lalu.

Pagi itu, sekitar pukul 00.15, rumah Novel dikepung 13 penyidik Bareskrim. Delapan polisi tak berseragam masuk ke rumah, sisanya berjaga di luar. Ketua Rukun Tetangga 9, Kelurahan Pegangsaan II, Kelapa Gading, diajak sebagai saksi. Tim penangkapan dipimpin langsung oleh Kepala Subdit II Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Komisaris Besar Prio Soekotjo.

Merasa ada yang keliru dalam surat itu, Novel menolak meneken surat penangkapan yang disodorkan kepadanya. Karena Novel menolak, Prio kesal. "Suruh tulis, 'saya tidak mau tanda tangan'," ucapnya, seperti terekam di video penangkapan yang dipegang polisi. Novel lantas menulis catatan penolakan di sudut kiri bawah surat penangkapan.

Perdebatan dengan penyidik Bareskrim berakhir sekitar pukul 01.30. Novel kemudian dibawa ke Bareskrim dan menjalani pemeriksaan di ruang 302.

***

PENYIDIKAN perkara Novel sudah terlihat janggal sejak awal. Kasus yang terjadi pada 2004 ini mendadak muncul ketika Novel menjadi salah satu pemimpin satuan tugas pengusutan korupsi simulator kemudi di Korps Lalu Lintas Polri pada Juli 2012, yang menyeret Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Novel adalah penyidik yang memimpin langsung penggeledahan kantor Korps Lalu Lintas Polri. Kasus ini sempat ditangguhkan, tapi polisi mengungkitnya lagi pada akhir Januari lalu. Pemicunya: penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan, sebelum jadi Wakil Kepala Polri, terkait dengan kasus dugaan suap dan gratifikasi.

Seorang penegak hukum mengatakan Novel dibidik karena ditengarai aktif bersama penyelidik lain mendorong KPK membuka penyelidikan dugaan tindak pidana menghalangi-halangi proses penyidikan. Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi mengatur hukuman penjara 12 tahun bagi yang menghalang-halangi penyidikan. Pihak yang jadi target adalah Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto dan sejumlah petinggi Polri. "Sudah dibahas dalam rapat pimpinan," katanya. "Namun belum terlaksana karena KPK terlambat bergerak."

Novel memang tidak ikut dalam satuan tugas KPK yang menetapkan Budi Gunawan menjadi tersangka pada pertengahan Januari lalu. Saat diumumkan, dia sedang menjalani ibadah umrah. Namun Novel berperan ketika serangan bertubi-tubi menerpa KPK. Serangan itu antara lain datang dari Hasto. Dalam sejumlah kesempatan, Hasto menuding ada motif dendam Ketua KPK nonaktif Abraham Samad sehingga Budi ditersangkakan.

Novel, ketika dimintai konfirmasi, tak bersedia berkomentar. Meski begitu, ia menduga penangkapan dirinya bagian dari kriminalisasi. Juru bicara KPK, Priharsa Nugraha, mengaku tak mengetahuinya.

Hasto menampik anggapan bahwa penangkapan Novel itu ada kaitannya dengan dirinya. "Saya tidak pernah menyerang KPK, tapi hanya menyoroti Pak Abraham Samad, yang tidak bisa melepaskan antara kepentingan politik pribadi dan aktivitasnya di KPK," ujarnya.

Juru bicara Mabes Polri, Inspektur Jenderal Anton Charliyan, beralasan penangkapan Novel sebagai hal yang lumrah. Dia mengacu pada dua petunjuk jaksa sebagai dalih penangkapan. "Perlu diadakan pemeriksaan tersangka dan rekonstruksi," katanya. Namun Kepala Pusat Penerangan Umum Kejaksaan Agung Toni Spontana menyangkalnya. Menurut dia, jaksa tak pernah mengeluarkan petunjuk resmi ke polisi sampai Senin pekan lalu.

***

BARESKRIM merancang penangkapan Novel dengan rapi. Menurut Anton, polisi mempersiapkannya dua pekan sebelum operasi. Mula-mula polisi mempelajari gerak-gerik Novel, baik di rumah maupun di kantor. Bahkan tim terus membuntuti Novel sampai malam penangkapan dijalankan. "Makanya kami tahu Novel ada di rumah," katanya.

M. Isnur, pengacara Novel, mengatakan kliennya tak mengetahui ada yang membuntuti. Tapi, menurut dia, Novel mulai curiga ketika rekannya di Bareskrim rajin menanyakan posisi dan kabarnya lewat pesan BlackBerry. "Ada yang bertanya lagi di mana, apa kabar," ujarnya.

Tak hanya memantau, peralatan dokumentasi juga disiapkan. Menurut Anton, dua polisi bertugas merekam detik demi detik setiap adegan operasi penangkapan. "Tujuan sebagai antisipasi jika ada yang menyoal operasi tersebut," katanya,

Tapi masih ada yang luput diabadikan. Tak ada video yang memperlihatkan siapa yang membuka pintu rumah. Menurut Anton, yang membukanya adalah pembantu Novel. Tapi Novel punya versi berbeda. Pria kelahiran Semarang pada 1977 ini mengaku membuka pintu, lalu pamit ganti baju karena hanya mengenakan kaus oblong dan celana pendek.

Novel bercerita, sepulang dari kantor sekitar pukul 23.00, ia sulit terlelap. Lalu istrinya, Rina Emilda, mendengar bunyi bel. Novel bergegas ke bawah dan melihat tiga orang berpakaian sipil di depan rumah. Mereka lalu memperlihatkan surat penangkapan. "Lalu saya naik ke lantai dua untuk ganti baju," katanya.

Polisi duduk sejenak di ruangan tengah, lantas menyusul Novel ke lantai dua. Enam polisi ikut naik sambil berteriak memanggil Novel. Tak lama, Novel keluar dari kamar dengan memakai baju koko dan celana kain hitam.

Menurut Novel, ia hanya beberapa menit berganti baju. Di dalam kamar, ia berdiskusi dengan istrinya dan meminta menghubungi pengacara serta pimpinan KPK. Satu lagi pesan Novel, agar Emilda menyimpan baik-baik telepon seluler miliknya. Sebab, ponsel itu ia gunakan untuk bekerja di kantor.

Novel menduga telepon itu yang dicari-cari polisi saat menggeledah rumahnya pada Sabtu dua pekan lalu. Sebab, polisi berkali-kali bertanya kepada Emilda. Anton mengakui polisi memang mencari telepon Novel. "Mungkin saja ada jejak percakapan di situ," kata Anton. Tapi ia menampik anggapan bahwa polisi bermaksud mencari dokumen kasus-kasus KPK di rumah Novel.

***

DI ruang pemeriksaan Bareskrim, Novel kembali berdebat dengan para penyidik polisi. Debat pertama saat Suradi akan memeriksa Novel, sekitar 30 menit setelah berada di Bareskrim. Mulanya Novel meminta Suradi menghubungi pengacaranya serta membaca laporan polisinya. Setelah Suradi membacanya, kata Isnur, kliennya menanyakan perbedaan pasal dalam laporan Yogi Hariyanto, anggota Kepolisian Daerah Bengkulu yang melaporkan Novel, dengan pasal di surat perintah penyidikan. "Suradi hanya mengatakan, ini atas perintah atasan," ucap Isnur.

Gagal memeriksa Novel, Suradi ke luar ruangan. Novel lalu menuju musala di lantai dua untuk menjalankan salat sunat. Dua jam di sini, Suradi dan Purwantoro memanggilnya lagi untuk diperiksa. Di sinilah debat kedua terjadi. Novel enggan diperiksa tanpa didampingi penasihat hukum, sedangkan Suradi tetap ngotot hendak memeriksanya. Padahal di luar Bareskrim ada pengacara Novel, yakni Usman Hamid, Muji Kartika Rahayu, dan Taufik Baswedan-kakak Novel-tapi dihalangi masuk oleh polisi jaga. Seusai debat kedua ini, Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji datang menemui Novel.

Dua jam berikutnya, Suradi menginformasikan bahwa lokasi pemeriksaan dipindahkan ke Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob), Kelapa Dua, Depok. Novel menanyakan alasan pemindahan ini. Sebab, pergeseran lokasi pemeriksaan ini dinilai janggal. Isnur mengatakan mereka cukup lama berdebat. Saat dialog itu, Suradi tiga kali ke luar ruangan untuk berkonsultasi dengan bosnya. Dan, yang ketiga kalinya, Suradi membawa surat penahanan, lalu disodorkan ke hadapan Novel untuk diteken. Novel menolak menandatanganinya.

Isnur mengatakan penolakan itulah yang jadi dalih penguat untuk menahan Novel. Polisi menggelandang Novel dengan tangan diborgol ke Mako Brimob, siang itu. Di sana Novel dimasukkan ke sel di blok A rumah tahanan Brimob. Empat jam di tahanan, Novel tak juga diperiksa. Ia hanya didiamkan, lalu diterbangkan ke Bengkulu untuk mengikuti rekonstruksi. "Pengacara hanya sebentar bertemu," kata Isnur.

Rencana awal, polisi akan menggelar rekonstruksi pada Jumat malam itu sehingga memaksa membawa Novel. Menurut Novel, saat di tahanan Brimob, ia menolak mengikuti rekonstruksi karena digelar tiba-tiba tanpa memberi tahu pengacaranya. Tapi polisi memaksa, yang membuat Novel mengalah. Menjelang malam, Novel diterbangkan ke Bengkulu, berangkat dari Bandar Udara Pondok Cabe, Jakarta Selatan.

Sesampai di ruang VIP Bandara Fatmawati Soekarno, Bengkulu, Novel baru tahu bahwa pengacaranya tak dikabari. Ia pun menolak ikut rekonstruksi. Anton mengatakan polisi sudah menawarkan pengacara negara dan pengacara lokal, Hanafi Pranajaya, sebagai penasihat hukum Novel. Novel beralasan, Hanafi tak pernah ditunjuk sebagai pengacaranya. "Saya menolak rekonstruksi dan memilih menginap di VIP bandara," katanya.

Akhirnya polisi menggelar rekonstruksi di Pantai Panjang, Bengkulu, tanpa Novel, Sabtu pagi dua pekan lalu. Di balik rekonstruksi ini, Tempo mendapat informasi bahwa ada utusan jaksa yang hendak melihat Novel di bandara, tapi polisi melarangnya mendekat. Begitu pula saat rekonstruksi di Pantai Panjang. Karena tak boleh mendekat, jaksa mengamati dari kejauhan. Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Bengkulu Asyari, ketika dimintai konfirmasi, tak bersedia berkomentar. Anton membantah jika polisi disebut melarang jaksa mendekat. "Tapi kan tidak harus diikuti jaksa," ujarnya.

Setelah rekonstruksi, polisi membawa Novel kembali ke Jakarta. Sore harinya, terbit surat penangguhan penahanan atas jaminan lima pemimpin KPK. Novel mengaku tidak terganggu oleh kejadian yang menimpanya itu. "Saya tidak gentar," katanya.

Rusman Paraqbueq, Linda Trianita, Yandhrie Arvian


Otak-atik Pasal Sangkaan Penyidik

Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, dituduh melakukan tindak pidana penganiayaan pada 2004 ketika masih menjadi polisi. Namun pasal yang disangkakan berubah-ubah. Tiga tahun lalu, ia dijerat dengan pasal penganiayaan yang menyebabkan kematian. Novel kini dibidik dengan pasal penganiayaan yang menyebabkan luka berat dan memaksa seseorang memberi keterangan.

Anggota reserse kriminal Kepolisian Daerah Bengkulu, Brigadir Yogi Hariyanto, melaporkan Novel ke Polda Bengkulu pada 1 Oktober 2012. Dengan laporan model A bernomor LP-A/1265/X/2012/Dit Reskrimum, Novel dijerat dengan Pasal 351 ayat 1 dan 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pasal 351 ayat 1:

penganiayaan diancam pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak Rp 4.500.

Pasal 351 ayat 3:

penganiayaan yang mengakibatkan kematian diancam pidana tujuh tahun penjara.

Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, Pasal 5:

- Laporan model A: laporan polisi yang dibuat oleh polisi yang mengalami, mengetahui, atau menemukan langsung peristiwa yang terjadi.

- Laporan model B: laporan polisi yang dibuat polisi atas pengaduan yang diterima dari masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus