Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Isu pemakzulan Presiden Joko Widodo kembali mencuat. Hal ini dilatarbelakangi oleh sejumlah tokoh yang menamakan Petisi 100 mendatangi Menkopolhukam Mahfud MD pada Selasa, 9 Januari 2024 lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu agendanya, mereka meminta Mahfud memakzulkan Jokowi. Lalu bagaimana aturan pemakzulan presiden dalam undang-undang?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, pemakzulan berakar dari kata dasar makzul. Artinya, berhenti memegang jabatan atau turun takhta.
Sedangkan pemakzulan dimaknai sebagai proses, cara, perbuatan memakzulkan-menurunkan dari takhta, memberhentikan dari jabatan, meletakkan jabatannya sebagai raja, atau berhenti sebagai raja.
Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Pemakzulan Presiden atau Wakil Presiden telah diatur dalam Pasal 7A dan 7B Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dalam pasal tersebut tertulis "Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden."
Proses pemakzulan juga harus melalui tahapan dan tidak langsung diberhentikan. Menurut UUD 1945, langkah pemakzulan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden harus dimulai dengan pengajuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Sebelum pengajuan formal kepada MPR, DPR harus terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Selain itu DPR memanfaatkan hak angketnya sebagai upaya penyelidikan terhadap kebijakan yang diambil oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Langkah selanjutnya adalah penggunaan hak menyatakan pendapat sebagai cara untuk membawa kasus Presiden dan/atau Wakil Presiden ke MK.
Jika permohonan dari DPR berkaitan dengan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden telah berhasil diajukan ke MK. Kemudian putusan MK menyatakan terdapat pelanggaran berdasarkan Pasal 7A UUD 1945, pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak otomatis terjadi setelah Putusan MK dibacakan.
Setelah itu harus diadakan sidang paripurna MPR yang harus dihadiri leh minimal 3/4 dari total anggota MPR dan memerlukan persetujuan dari setidaknya 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir.
YOLANDA AGNE | ANANDA BINTANG PURWARAMDHONA | HENDRIK KHORUL MUHID
Pilihan editor: Deretan Fakta Isu Pemakzulan Jokowi, Siapa yang Memulai?