Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengurus Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mendesak Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerbitkan peraturan presiden mengenai standar upah minimum nasional bagi guru non-Aparatur Sipil Negara (ASN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Urgensi Perpres ini untuk melindungi dan menjamin kesejahteraan guru bukan ASN, yaitu guru honorer termasuk guru sekolah atau madrasah swasta," kata Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim dalam keterangannya, Rabu, 24 November 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satriwan mengatakan, meskipun sudah ada guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sebagai bagian dari ASN, namun skema ini belum mengakomodir keberadaan guru honorer yang jumlahnya hampir 1,5 juta orang. Seleksi guru PPPK baru menampung 173 ribu guru honorer dari formasi yang dibuka, yaitu 506 ribu secara nasional.
Satriwan menjelaskan, fakta di lapangan upah guru honorer dan guru sekolah/madrasah swasta menengah ke bawah sangat rendah, jauh di bawah UMP atau UMK buruh. Berdasarkan laporan jaringan P2G di daerah, kata Satriwan, UMK buruh di Kabupaten Karawang Rp 4,7 juta. Namun upah guru honorer SD Negeri di sana hanya Rp 1,2 juta. Kemudian UMP/UMK Sumatera Barat Rp 2,4 juta per bulan, sedangkan upah guru honorer SD negeri di 50 Kota dan Kabupaten Tanah Datar hanya Rp 500-800 ribu per bulan.
Di Kabupaten Aceh Timur, upah guru honorer sekitar Rp 500 ribu per bulan. Di Kabupaten Ende, guru honorer di SMK negeri Rp 700-800 ribu per bulan. Di Kabupaten Blitar, upah guru bervariasi tergantung lama mengabdi, misalnya Rp 400 ribu untuk honorer baru, Rp 900 ribu yang sudah lama.
"Jadi rata-rata upah di bawah Rp 1 juta per bulan, bahkan tak sampai 500 ribu. Sudahlah kecil, upah pun diberikan rapelan mengikuti keluarnya BOS. Padahal mereka butuh makan dan pemenuhan kebutuhan pokok setiap hari," katanya.
Menurut Satriwan, pemerintah bisa melahirkan standar upah minimum bagi buruh, sedangkan bagi guru tidak. Jika upah guru honorer ditentukan besarannya oleh kepala sekolah dan pemda dengan nominal semaunya, jelas melanggar UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14 ayat 1 (a). Bunyi aturan itu, “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak (a) memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial".
Regulasi upah layak bagi guru, kata Satriwan, penting demi penghormatan profesi. Sehingga profesi guru punya harkat dan martabat di samping profesi lain. Juga mendorong anak-anak bangsa yang unggul dan berprestasi mau dan berminat menjadi guru.
"Kenyataannya profesi guru tak dihargai, tak bermartabat, karena upahnya tidak manusiawi. Upah guru honorer selama ini sudah melanggar UU Guru dan Dosen serta aturan UNESCO dan ILO. Guru honorer minim apresiasi dan proteksi dari negara," ujar Satriwan.