AWAL minggu ini, di gedung Parlemen Belanda Binnenhof, Den Haag,
mulailah perdebatan tentang Nota Kabinet Van Agt tentang
"Problematik Minoritas Maluku di Negeri Belanda." Terang, itu
soal intern pemerintah Belanda.
Namun hanya sehari sebelum debat di Binnenhof dimulai, seorang
Maluku berkewarganegaraan Belanda telah diusir dari Indonesia.
Jakob Hatumena, 59 tahun, dalam surat pengusiran yang
ditandatangani Menteri Kehakiman 31 Mei lalu, dituduh melakukan
kegiatan subversif di Maluku.
Jakob masuk ke Indonesia secara legal, dengan visa turis
keluaran KBRI di Den Haag. Sebelumnya dia sudah pernah dua kali
mengunjungi Indonesia pula (1974, 1975). Tapi ketika ia
mengunjungi Ambon dari tanggal 6-25 Maret lalu, begitu menurut
laporan masyarakat yang diterima Laksusda Maluku, Hatumena
berusaha menghidupkan kembali jaringan pendukung 'RMS'.
Khususnya sayap gerakan separatis itu yang dipimpin bekas sersan
KNIL Isaac Julius Tamaela.
Tamaela, 64 tahun, kini sering di New York, memimpin kantor
perwakilan 'RMS' dengan bantuan lobbyist Yahudi David Horowitz.
Atau di Benin (d/h Dahomey), negara kecil di Afrika Barat yang
mendukung Tamaela, Fretilin maupun 'OPM'.
Kunjungan Jakob Hatumena ke Ambon sebelumnya sudah dipersiapkan
oleh seorang 'aspri' Tamaela di Belanda. Tugasnya menghubungi
orang di Maluku yang diperkirakan mau mendukung 'RMS' kembali.
Untuk itu Hatumena sudah dilengkapi dengan foto-foto kegiatan
Tamaela di Benin, kaset rekaman pidato Tamaela, tanda pengenal
'pasukan komando RMS', serta brosur Partai Revolusioner Siwa
Lima.
Di Maluku, Hatumena lantas membuat serangkaian foto bersama di
hutan dengan orang Maluku yang diberi seragam 'tentara RMS' itu.
Maksudnya memberi kesan seolah gerilya 'RMS' masih aktif. Juga
dibuatnya rekaman percakapan dengan teks yang disiapkan bersama,
seolah-olah masyarakat Maluku di tanah-air sudah siap membantu
perjuangan 'RMS' di Belanda.
25 April, saat dibacakannya 'proklamasi RMS' oleh Manuhutu 28
tahun yang lalu, akibat bisikan Hatumena ada orang Maluku yang
mencoba mengibarkan bendera biru-putih-hijau-merah, bendera
'RMS'. Ini bocor ke telinga Laksusda. Maka ditemukanlah sejumlah
pamflet, brosur, kaset pidato Tamaela, dan tanda pengenal 'RMS'
lainnya. Sebagian diakui masyarakat diterima dari Jakob
Hatumena. Tapi banyak yang masuk ke Maluku lewat orang dari
Belanda yang berkunjung ke Ambon. Atau, ada pula yang disinyalir
masuk lewat pos biasa.
Para petugas Kodam XVI/Pattimura tak segera menangkap Hatumena
di sana. 25 Maret lalu, dia sudah terbang dari Ambon ke Jakarta.
Dari Jakarta dia punya rencana terus balik ke Negeri Belanda.
Namun di Kemayoran, aparat keamanan yang sudah mendapat kabar
dari Ambon segera menahan orang ini. Seminggu lamanya ditahan di
sini, Mabes Polri menyerahkannya kembali kepada Laksusda Maluku
di Ambon untuk diperiksa Total jenderal setelah ditahan sebulan
lamanya, baru Kedutaan Besar Kerajaan Belanda di Kebon Sirih
mendapat nota pemberitahuan dari Deparlu di Pejambon.
Reaksi Pers
Pertengahan Mei lalu seorang pegawai Bagian Konsuler Kedubes
Belanda terbang ke Ambon, menjenguk warganya yang ditahan itu.
Mengingat reaksi pers, parlemen dan masyarakat Maluku di Belanda
yang sudah mulai rarnai menanyakan nasib Hatumena, juga
mengingat debat Parlemen yang makin menjelang, Kedubes Belanda
minta orang itu dibebaskan saja dan dipulangkan ke Belanda.
Walhasil, setelah diterbangkan lebih dulu ke Jakarta, Jakob
Hatumena diusir pulang ke Negeri Belanda berdasarkan SK Menteri
Kehakiman Moedjono SH.
Puspen Hankam dalam siaran persnya berkenaan dengan pengusiran
Hatumena, memuji "spontanitas serta kesadaran masyarakat Maluku
untuk menolak ide RMS". Terbukti dari laporan orang-orang Maluku
sendiri yang tak menyukai tindak-tanduk Hatumena di sana. "Ini
merupakan jaminan bahwa tak ada peluang bagi oknum-oknum gerakan
bekas Tentara Kolonial Belanda itu melakukan petualangan
politiknya di wilayah Indonesia, khususnya di Maluku," begitu
menurut siaran pers tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini