Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pagi Pedih di Bumi Mataram

Petaka itu datang pagi-pagi, saat orang-orang bergelung dengan sarung di kamar tidur atau menikmati pagi. Gempa meremukkan daerah sekitar Yogyakarta.

29 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prahara itu seperti adegan se-buah film bencana ala Hollywood. Atau novel Tom Clancy. Atau siaran CNN dari luar ne-ge-ri. Tapi drama itu benar-benar ter-jadi Sabtu 27 Mei lalu. Dan itu terjadi di jantung Pulau Jawa: Yogyakarta.

Pagi yang pedih itu datang begitu saja. Saat itu matahari masih kuncup di la-ngit Sumberharjo, Prambanan, Kabupa-ten Sleman. Titin, ibu muda berambut sebahu itu, sedang mencecap udara pagi yang menerobos jendela rumah tuanya. Tiba-tiba bumi yang dipijaknya berguncang hebat. Rumah yang ditinggali bersama putri dan neneknya itu juga bergemeretak. Suaranya sangat menciutkan nyali. Di luar rumahnya, orang-orang ber-larian sambil berteriak, ”Gempa..., gem-pa….” Dan selanjutnya rumah-ru-mah kampung yang dibangun seada-nya itu rontok seperti daun kering.

Titin panik. Dia menyambar Ica Mustika, anaknya yang baru berumur dua ta-hun. Sambil menggendong putri semata wayang itu, Titin berlari keluar ru-mah. Tapi, buum..., sebongkah tembok- rumahnya menghantam punggung- dan- batok kepala perempuan itu. Bersa-ma anaknya, ia terjerembap. Titin me-ng-erang. Semua engsel tulangnya tera-sa nyeri. Kaki kirinya beku, tak bisa ber-gerak.

Ica, gadis mungil itu, menangis menjerit-jerit. Mukanya penuh darah. Se-bong-kah dinding juga menimpa wajah imut-imut anak itu. Setengah mati Titin mencoba melepaskan dari impitan tem-bok, sampai akhirnya seorang polisi datang menyelamatkannya. Saat diangkat dari impitan tembok itulah ia terpisah dengan anaknya. Itulah pukul-an yang menyakitkan. Sambil sesengguk-an menahan nyeri, ia berkata lirih, ”Anakku..., anakku….”

Selanjutnya nasib Titin berujung di pe-lataran Rumah Sakit Dr Suraji Tirtonegoro, Klaten. Ia tidur cuma beralas tikar. Rumah sakit itu kewalahan mena-ngani pasien korban gempa. ”Tolong ba-wa anak-ku ke sini. Tolong kasih tahu suami saya di Kalimantan,” katanya kepada wartawan. Dia asing dan kese-pi-an di rumah sakit itu. Tak ada te-tangga, ke-luarga, ibu, maupun anaknya di sana.

l l l

Berpuluh kilometer dari Klaten, di pagi yang sama bening, kampung-kampung di Yogyakarta sedang menggeliat. Saat itu pukul 5.45 pagi. J.B. Santoso, 57 tahun, sedang menikmati pagi di kamarnya. Celana pendek dan kaus adalah teman tidurnya. Sayup-sayup terdengar siaran berita dari televisi yang terletak di ruang tengah. Tiba-tiba, pet…, listrik padam. TV membisu. Bumi bergo-yang kencang, disusul jeritan warga yang membelah pagi. ”Lari..., lari…, gempa.”

Ia melongok ke luar jendela dan kaget. ”Awan tebal muntah dari Merapi,” tutur wartawan senior Koran Merapi ini. ”Wah, Merapi sudah saatnya meletus,” pikirnya waktu itu. Dan dalam hitung-an detik, seluruh goyangan bumi itu me-rontokkan semua genting rumahnya. Tembok rumahnya juga ambrol.

Santoso berlari keluar. Jalanan penuh dengan orang-orang yang panik. Ada yang cuma berdaster, ada juga yang lari sambil menyibakkan kain jarik. Sepeda motor berderum-derum. Di tengah si-tua-si kacau-balau itu, bertiup kabar: tsunami datang di pesisir selatan Yogyakarta. Air di sumur-sumur warga konon meluber ke mana-mana. Warga pun berlari men-cari tempat tinggi.

”Kami tidak membawa apa-apa,” kata Wenny Wijayanti, warga Tegal-rejo, Yogya-karta, yang ngebut dengan mobil-nya menuju Kaliurang, daerah perbu-kit-an di utara kota itu. Di Kaliurang, mes-kipun polisi berteriak sampai s-erak ”Tak ada tsunami. Bali ora opo-opo (Kem-bali- tak apa-apa)”, orang-orang te-tap tak percaya.

Lautan manusia memenuhi jalan-jalan Kota Gudeg, seperti Jalan Malioboro dan Mangkubumi. Alun-alun keraton pe-nuh orang. ”Motor-motor bergelimpang-an di jalan, ditinggal pemiliknya,” kata Santoso.

Salah satu yang jadi korban gelom-bang- lautan manusia adalah Syai-ful Amin. Pa-gi itu mestinya adalah hari bahagia- wartawan Tempo itu. Dia s-u-dah menyem-belih dua kambing u-ntuk akikah, kenduri peringatan kelahiran anak-nya, Apqori Kurnia Makata. Saat gem-pa tiba, Syaiful berlari keluar. Ia ka-get. Bangunan kiri-kanan rumah-nya r-oboh. Ia mencoba mencari tahu dengan ber-jalan di sekitar kompleks perumahan-nya. Tiba-tiba gelombang ma-nusia datang dari arah selatan sambil ber-teriak-te-riak. ”Tsunami..., tsunami akan da-tang.’’

Syaiful berlari dengan napas ngos-ngos-an kembali ke rumahnya. Ternyata anak dan istrinya raib. Syaiful pun ter-seret arus lautan manusia itu. Lima jam ia mencari. Nihil hasilnya. ”Aku nyaris putus asa.” Tak lama berselang, tiit...tiit...tiit., ponselnya berdering. Ada kabar, istrinya mengungsi ke Kaliurang bersama ribuan orang yang bingung.

Kabar gembira itu dirayakan Syaiful dengan membagikan sate, gulai, dan tong-seng kambing—yang sedianya u-n-tuk kenduri akikah—kepada ratusan warga yang mengungsi di jalanan. Sa-yang, nasi yang dipesan Syaiful tak kun-jung datang. Ketika dicek, ternyata sang penjual nasi tewas tertimpa rumah. ”Akhirnya kami gotong-royong menanak nasi di halaman masjid dekat Sta-dion Mandala Krida,” kata Syaiful.

l l l

GEMPA 5,9 skala Richter itu telah melumat apa saja. Di Solo, pusat perbelanja-an Solo Square yang baru berdiri retak- pada tiangnya, dan langit-langitnya runtuh. Di Klaten, sebuah dusun rata de-ngan tanah. Sleman, Yogyakarta, Ku-lon-progo juga terluka. Ribuan orang diangkut dengan pikap dan truk memadati rumah sakit kota-kota itu. Para kor-ban gempa tidur berdesakan seperti pepes teri di lorong-lorong rumah sakit. Sebagian lagi harus bermalam di pelataran rumah sakit, beratap langit.

Dan yang terparah karena paparan gem-pa adalah Bantul, yang ada di pesi-sir pantai Samudra Indonesia. Kota mis-kin itu remuk, nyaris tak bersisa. Bebe-rapa kecamatan di Bantul mirip- kota ma-ti yang habis dihantam bom. Di Kecamatan Jetis, misalnya, 95 persen ru-mah telah menjadi bangkai. Sekolah, kan-tor, juga luruh mencium bumi. Jalanjalan merekah, beratus-ratus meter panjangnya. Mayat-mayat terbaring di jalanan, terbalut tikar atau sarung compang-cam-ping, dan puluhan lainnya ma-sih ter-kubur di rumahnya masing-masing. Wa-jah mereka lebam-lebam. Memerah. Ber-darahdarah.

Petaka yang mengguncang selama 57 detik pada pukul 5.56 pagi itu telah merenggut sekitar 2.800 nya-wa, menurut data yang dilansir- Departemen Sosial sampai Sabtu- ma-lam pekan lalu—jumlah ini ma-sih akan terus bertambah. Dan Ban-tul adalah korban terpa-rah amukan sang bumi ini. Di kabupa-ten itu sekitar 2.159 orang mening-gal. Kor-ban terbanyak adalah orang tua yang masih terlelap ketika goyangan dahsyat terjadi. Mere-ka tidak sigap bergegas keluar rumah. ‘’Selain itu, banyak rumah di selatan Bantul merupakan rumah tua,” kata Suwarman, Kepala Humas Kabupaten Bantul.

Pesisir selatan Yogyakarta sebe-narnya sudah lama diramalkan bakal dihunjam gempa. Peneliti- Ba-dan Peng-kajian dan Penerap-an Teknologi, Yu-suf Surachman Dja-jadihardja, sudah melihat tanda-tanda zaman itu. Dua tahun la-lu ia pernah mengirimkan kapal selam tanpa awak ke perair-an Pelabuhan Ratu, Sukabumi, me-neliti lempengan bumi di dasar laut Samudra Indonesia.

Kapal selam itu menemukan bukti- mencengangkan: lempeng Indo-Aus-tra-lia di selatan Jawa menancap pada lempeng Eurasia. Lempeng Indo-Aus-tralia- ini bergerak ke arah utara de-ngan kecepatan 7,5 sentimeter per tahun. Tumbukan tersebut pada tahun-tahun be-la-kangan ini makin menghunjam. ”Sa-lah satu buktinya adalah aktifnya Gunung Merapi sejak setahun lalu,” kata Yusuf. Menurut dia, lempeng Indo-Australia itu telah menekan magma Merapi sehingga gunung itu berkali-kali me-nyem-burkan lava pijar.

Tahun lalu, menurut data Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), hunjam-an itu telah melahirkan goyangan ber-ke-kuatan 5,6 skala Richter. Itu pun su-dah membikin Hotel Ambarukmo retak-retak. Dengan hunjaman itu, ibarat bisul,- lempeng di dekat Yogyakarta memang siap meleduk kapan saja. ”Soal waktu-nya yang kami tidak tahu,” kata Yusuf,- geolog yang juga Direktur Pusat Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam BPPT.

Nah, kini gempa itu datang dengan ja-rak yang lebih dekat dari Yogyakarta. Pusat gempanya sangat dekat. Menurut BMG, jaraknya cuma 38 kilometer di selatan Yogya dan kedalamannya 33 ki-lometer di tengah laut. Badan Meteo-rologi Amerika Serikat (USGS) pu-nya data lain, yakni pusat gempanya ada di bawah pantai Yogyakarta, jaraknya cuma 25 kilometer dari Bumi Mataram itu. Kedalamannya cuma 17 kilometer.

Wahyu Triyoso, seismolog dari Institut Teknologi Bandung, yang pernah meneliti lempeng itu, mengatakan kece-patan perambatan gelombang seismik di bawah laut selatan Jawa itu cukup tinggi. ”Jadi, potensi terjadinya gempa di daerah itu memang cukup besar.”

BS, Yandhrie Arvian, Wahyu Dyatmika, Untung Widiyanto, Raihul Fajri, Syaiful Amin (Yogyakarta), Imron Rosyid (Klaten)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus