Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pakar HTN Sebut Presiden Harus "Dipincangkan" agar Tak Cawe-cawe Pemilu lagi

Zainal mengatakan, Pemilu 2024 kental dengan cawe-cawe presiden dengan mengerahkan aparat negara dan bansos untuk memenangkan anaknya.

3 Januari 2025 | 21.50 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pakar hukum sekaligus Ketua Departemen Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar. Tempo/Pribadi Wicaksono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan masih ada pekerjaan rumah untuk membatasi cawe-cawe presiden pada pemilu berikutnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Zainal mengatakan pemilihan presiden Februari 2024 menunjukkan bagaimana presiden yang hendak lengser bisa menggunakan akhir-akhir kekuasaannya memenangkan anaknya atau calon yang dia dukung. Ia mengatakan Pilpres 2024 itu kental dengan cawe-cawe presiden dengan mengerahkan aparat negara dan bantuan sosial atau bansos untuk memenangkan anaknya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Saya kira itu menjadi pekerjaan rumah tersendiri buat kita. Bagaimana misalnya di pemilu berikutnya, kalau presiden mau mencalonkan lagi selaku inkumben atau kemudian dia tidak mengajukan diri, tapi dia akan mendukung salah satu pasangan calon, bagaimana presiden ini harus dipincangkan,” kata Zainal saat mengisi diskusi Bulaksumur Legal Outlook 2025 yang digelar Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia (PANDEKHA) Fakultas Hukum UGM, Jumat, 3 Januari 2024. 

Zainal menjelaskan, membatasi kekuasaan kepala negara menjelang akhir kekuasaannya disebut teori bebek lumpuh atau lame duck theory. Menurut dia, presiden lame duck harus “dipincangkan” agar kekuasaanya yang terlalu besar tidak digunakan secara serampangan menjelang lengser atau pilpres. 

“Itu salah satu pekerjaan rumah yang besar,” ujar dia. 

Zainal juga menyinggung netralitas aparat, wabilkhusus kepolisian dalam pilpres dan pemilihan kepala daerah. Bahkan, DPR menyebut Polri sebagai partai cokelat karena intervensi mereka memenangkan calon kepala daerah yang diinginkan kekuasaan. 

“Saya kira di DPR juga sudah disebutkan soal istilah parcok-parcok itu, partai cokelat. Karena di pemilu 2024 kelihatan hadirnya itu, lalu kemudian di berbagai tempat juga dianalisis soal kehadiran itu. Bahkan di Pilkada juga riset beberapa teman-teman, misalnya teman-teman Themis memperlihatkan bagaimana gerakan parcok di beberapa provinsi tertentu,” ujarnya. 

Presiden Joko Widodo disebut cawe-cawe dalam pemilihan presiden dan pemilihan kepala daerah tahun lalu. Jokowi ditengarai cawe-cawe pilpres lewat iparnya yang menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi kala itu, Anwar Usman. 

Anwar Usman dijatuhi sanksi berat oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi karena ikut intervensi dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Putusan ini memberi karpet merah untuk Gibran Rakabuming Raka diusung sebagai calon wakil presiden. Setelah Gibran dicalonkan sebagai cawapres, Jokowi cawe-cawe dalam pemilihan Presiden 2024 untuk memenangkan putra sulungnya itu lewat aparat kepolisian dan pengerahan bansos. 

Intervensi kekuasaan tetap terjadi dalam pilkada beberapa bulan setelah pilpres. Polri disorot karena ditengarai berperan membantu pemenangan sejumlah calon kepala daerah di berbagai tempat. Calon kepala daerah yang dibantu polisi menjelang hari pencoblosan 27 November 2024 memiliki kedekatan dengan mantan presiden Joko Widodo dan Presiden Prabowo Subianto. Misalnya Ahmad Luthfi, yang menjadi calon Gubernur Jawa Tengah. Polisi pun lantas mendapat julukan “partai cokelat” karena pelanggaran netralitas di pilkada. 

Polisi diduga menekan kepala daerah dan menggerakkan instrumen birokrasi hingga mobilisasi kepala desa untuk membantu pemenangan calon tertentu. Presiden Prabowo juga ikut mendukung sejumlah calon kepala daerah secara terbuka lewat surat maupun video pernyataan. 

Jokowi menyangkal tuduhan cawe-cawe dan menegaskan urusan pilkada merupakan kewenangan partai politik. “Saya bukan ketua partai. Saya bukan pemilik partai jadi jangan ditanyakan (pilkada) kepada saya,” katanya setelah meresmikan pabrik baterai listrik di Karawang, Jawa Barat, Rabu, 3 Juli 2024.


Egi Adyataman dan Daniel A. Fajri berkontribusi dalam artikel ini.

Eka Yudha Saputra

Eka Yudha Saputra

Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bergabung dengan Tempo sejak 2018. Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini meliput isu hukum, politik nasional, dan internasional

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus