DAAG Meneer Pronk, welcome Mister Preston. Dan beleid bantuan luar negeri Indonesia pun banting setir, dari bau sayap kiri (baca: sosialis) ke sayap kanan (konservatif). Tak akan ada lagi inspeksi ke gang kumuh oleh ketua IGGI, tak ada lagi kritik menyengat terhadap pembangunan RI yang dianggap merugikan wong cilik. Gaya Pronk, yang dianggap tulus oleh penggemarnya tapi angkuh menggurui oleh pengritiknya, pasti tak akan dianut birokrat Bank Dunia, yang kini dipimpin Lewis Preston. Kendati institusi yang berusia 47 tahun itu bertujuan membantu pembangunan ekonomi negara berkembang, Bank Dunia (BD) pada dasarnya adalah sebuah bank. Dan ciri khas para bankir biasanya konservatif. Sikap yang konservatif ini bukan tanpa alasan. Bank yang didirikan oleh 44 negara dan kini beranggotakan 155 negara itu tak pernah merugi. Tahun lalu bunga pinjaman dari BD yang disalurkan melalui International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) berkisar antara 7,72 dan 8,06%, masa bebas cicilannya (grace period) 5 tahun dan masa pengembalian utang 15w20 tahun. Sumber dananya berasal dari pasar internasional. Anggarannya tahun ini lebih dari US$ 1 milyar, tapi sebagian besar untuk menggaji 5.600 stafnya di seluruh dunia. Sementara pinjaman dari Belanda berbunga 2,5% setahun, dengan grace period 8 tahun, dan masa pengembalian 30 tahun. Kunci keberhasilan BD tampaknya terletak pada kecanggihan para pakarnya untuk menentukan proyek mana yang layak dipinjami. Hanya proyek yang ekonomis bisa dipertanggungjawabkan yang akan dipertimbangkan. Tahun lalu, 225 proyek bernilai hampir US$ 19 milyar disetujui. Mulanya bank ini cuma meminjami negara yang dianggap mampu membayar kembali. Namun, tahun 1960, BD mulai membantu negara yang amat miskin. Caranya dengan mendirikan International Development Association (IDA), institusi yang memberi pinjaman tanpa bunga, dengan grace period 10 tahun, dan jangka pengembalian 35-40 tahun. Modalnya diperoleh dari sumbangan negara anggota yang lebih kaya. Hanya negara yang pendapatan per kapitanya di bawah US$ 580 yang boleh dibantu IDA. Indonesia selama 13 tahun menikmati bantuan IDA. "Baru sejak 1980, Indonesia dianggap sudah tidak layak menerima pinjaman IDA," kata P.B. Sison, juru bicara BD di Wasahington, D.C. Tahun lalu, sekitar 50 negara masih dibantu IDA. BD juga mulai membantu pihak swasta sejak 1956, melalui International Finance Corporation (IFC). Institusi ini membantu swasta negara berkembang mendapatkan modal untuk proyek yang dianggap layak. Proyek yang dibantu IFC biasanya segera menarik bank swasta untuk turut memasok pinjaman. Institusi lain yang juga bermisi menarik modal ke negara berkembang adalah Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA). Didirikan 1988, badan ini memberi asuransi terhadap risiko nonkomersial seperti nasionalisasi. Alhasil, yang disebut Bank Dunia adalah keempat institusi ini. Tapi yang terbesar -- menyalurkan 3/4 dari 5.400 pinjaman bernilai US$ 265 milyar -- adalah IBRD. Sesuai dengan namanya, IBRD mulanya dikenal sebagai pemasok dana untuk pembangunan prasarana fisik seperti jalan raya, jembatan, atau bendungan. Namun, sejak 1960 BD mulai menyadari, dampak pembangunan prasarana itu ternyata tak dinikmati semua lapisan masyarakat. Mulailah dijalankan proyek-proyek yang sasarannya khusus menaikkan kemampuan masyarakat miskin di desa dan kota. Pergeseran beleid ini tampak dari porsi sektor yang mendapat bantuan. Tahun 1960, sekitar 22% pinjaman mengalir ke industri, cuma 9% ke pertanian. Tahun lalu justru pertanian yang mendapat 16% dan industri cuma 8%. Namun, bukan berarti semua proyek BD lancar. Melaksanakan proyek berbau sosial ternyata jauh lebih pelik ketimbang membikin jalan atau jembatan. Terbukti di Indonesia proyek BD banyak juga yang macet. Pemerintah Indonesia terpaksa membayar sejumlah denda karena tak terpakainya sebagian besar pinjaman yang sudah disetujui. Kendala utama dalam menjalankan proyek-proyek itu adalah terbatasnya tenaga yang mampu. Maka, BD pun mulai terjun membiayai proyek pendidikan. Tahun lalu, misalnya, pinjaman untuk pendidikan sekitar US$ 2,25 milyar. Selain itu, tersendatnya proyek pembangunan BD dianggap terjadi karena beleid Pemerintah kurang tepat. Itulah sebabnya tahun lalu BD mengeluarkan sekitar US$ 3,2 milyar untuk program Policy Reform & Technical Assistance. Dengan program ini, para pejabat negara yang dibantu diharapkan lebih mengerti aspek ekonomi dari beleid yang diambilnya. Pasalnya, banyak beleid Pemerintah, seperti subsidi, dilakukan sematamata karena pertimbangan politik. Padahal, secara ekonomis kebijaksanaan ini dianggap tidak cocok. Bisa dimengerti, dalam ideologi ekonomi pasar bebas, subsidi dianggap distorsi. Itulah sebabnya, sudah lama BD menganjurkan agar RI menaikkan tarif listrik, BBM, dan air ledeng, yang lebih banyak dinikmati orang kota daripada orang desa. Sikap BD yang tak suka pada subsidi membuat lembaga itu tidak populer di banyak negara Amerika Latin. Lebihlebih ketika BD menawarkan konsep "penyesuaian struktural" untuk mengatasi krisis utang di sana. Dengan kata lain, deregulasi besarbesaran, penghapusan subsidi, dan kalau perlu devaluasi. Maukah BD berperan sebagai ketua Consultative Group for Indonesia (CGFI) menggantikan IGGI? Banyak pengamat merasa optimistis. Sekalipun hal itu akan banyak bergantung pada persetujuan dari lima negara pemegang saham terbesarnya: AS, Jepang, Inggris, Jerman, dan Prancis. Saat ini BD mengepalai 19 kelompok serupa, yang setahun sekali bersidang di Paris. Memang, di dunia ini tak ada kelompok donor dipimpin sebuah negara selain IGGI. Bukan berarti bahwa BD akan sepi dengan kritiknya. Tapi bedanya dengan forum IGGI, kritik BD biasanya disampaikan dalam bentuk laporan tertulis, bersifat teknis, rahasia, dan diserahkan langsung pada para pejabat tinggi negara yang dibantu. Bambang Harymurti (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini