BARANGKALI Soerjadi hanyalah sesosok wayang. Dan tak ada wayang yang dimainkan tanpa dalang. Tujuh tahun lalu, lewat Kongres di asrama haji Pondok Gede, Jakarta Timur, yang berakhir dead-lock dan gagal memilih ketua umum,Soerjadi dimunculkan Pemerintah sebagai orang nomor satu Partai Banteng. Hardjantho Sumodisastro, ketua umum sebelumnya, dinilai tak mampu menyelamatkan PDI dari gontok-gontokan. Soerjadi, ketika itu 47 tahun, dianggap memenuhi syarat. Anak Ponorogo ini beragama Islam, menantu tokoh PNI Hadisoebeno, dan eksponen Angkatan 66. Era kepemimpinan Soerjadi ditandai dengan masuknya orang-orang muda profesional yang menjanjikan banyak harapan. Mereka adalah para eksekutif puncak di berbagai perusahaan dengan gaji tinggi, sehingga tak mungkin menjadikan PDI ''lahan'' untuk cari makan. Semangat membenahi PDI pun menyala-nyala. B.N. Marbun, salah satu ketua PDI, yang ketika itu adalah manajer di Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM), misalnya, menjanjikan akan mengelola PDI dengan perencanaan strategis dan berorientasi pada out put. Walhasil, PDI disiapkan menjadi partai alternatif, partai masa depan. Konsolidasi partai dari kericuhan yang akut segera dilakukan. Soerjadi dengan jitu merangkul anak-anak Bung Karno, antara lain Megawati Sukarnoputri. Adikkandung Mega, Guruh Sukarnoputra, yang sedang top dengan grup seni Swara Mahardhika, juga ikut menarik massa muda ke pentas kampanye PDI pada Pemilu 1987. Yang terjadi kemudian adalah bangkitnya kembali kenangan pada BungKarno. Soerjadi memang berhasil memilih tema kampanye yang pas dan lagi nge-trend kala itu: PDI adalah partainya anak muda. Dia tahu persis bahwa anak muda yang mulai sumpek dengan kehidupan politik yang macet harus direbut. Data menunjukkan, pada Pemilu 1987 ada sekitar 24 juta anak muda yang memakai hak pilihnya, separuhnya adalah pemilih yang pertama kali nyoblos. Semboyan partai anak muda ini rupanya ampuh untuk menyedot suara ke ''kotak merah''. Langit Jakarta merah total digebrak kampanye Banteng yang mengerahkan sekitar sejuta massa. Dan bahkan mampu menembus daerah tradisional partailain. Untuk pertama kalinya dalam sejarah pemilu, PDI berhasil merebut kemenangan di Ibu Kota, yang dianggap prestisius.Soerjadi dengan jeli juga masuk ke kalangan Islam. Menjelang Pemilu 1987, dia sowan ke Kiai As'ad Syamsul Arifin, ulama NU terkemuka dari Pondok PesantrenSyafiiyah, Situbondo, yang kini telah mangkat. Soerjadi datang bersama Megawati dan Marsoesi, bekas Ketua PDI Jawa Timur. Dan Kiai As'ad dengan mesranya merangkul Soer. Citra PDI sebagai partai yang berasal dari fusipartai-partai non-Islam dan kaum abangan agaknya hendak ''dihilangkan'' oleh Soerjadi. Maklum, ketika itu Partai Persatuan Pembangunan tengah menghadapi ujian berat yakni ''penggembosan'' oleh NU unsur terbesar PPP.Nama Soerjadi melambung tinggi setelah Pemilu 1987. Dia dianggap berhasil membuat orang tak ''malu-malu'' lagi mencoblos PDI. Dalam tiga kali Pemilu sebelum era Soerjadi, kantong suara PDI terus kempis dan susut. Pada 1987, untuk pertama kalinya dalam sejarah Orde Baru, Banteng mencatat lonjakan luar biasa: kursinya di DPR naik dari 24 menjadi 40 kursi. Namun, sejarah membuktikan bahwa PDI hampir tak pernah lepas dari kericuhan di dalam. Kepemimpinan Soerjadi, yang mulus sampai Pemilu 1987, mulai digoyang cekcok. Soerjadi dinilai melupakan jasa orang-orang tua PDI. Awalnya adalah ide menyegarkan para anggota DPR dari PDI. Lewat sebuah surat keputusan, Soerjadi menetapkan bahwa anggota yang sudah dua kali duduk di DPR tak bisa dicalonkan lagi. Ada lagi yang lebih keras dampaknya, para ketua PDI daerah tak boleh merangkap menjadi wakil rakyat di DPR, agar lebih intensif mengurus partai di daerah. Artinya, banyak tokoh senior yang tergusur dari Senayan, baik karena jadi pengurus di daerah atau sudah dua kali di DPR, seperti Marsoesi, Dudy Singadilaga, Achmad Subagyo, atau Palaunsoeka. Langkah selanjutnya, Soerjadi mengganti hampir semua pengurus daerah dan cabang. Boleh dibilang, banyak yang ''berterima kasih'' kepada Soerjadi karenamendapat jabatan, tapi ada pula yang kesal karena tergusur.Maka yang harus dihadapi Soerjadi adalah perlawanan dari barisan ''sakit hati''. Berkali-kali kantor pusat di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, diduduki para demonstran yang ''bersimpati'' pada Marsoesi dan kawan-kawan. Puncaknya, orang- orang tua yang kemudian dikenal sebagai Kelompok 17 itu minta agar pengurus pusat PDI diganti seusai Sidang Umum MPR 1988. Soerjadi bertindak bingkas. Marsoesi dkk. dipecat dan ditarik dari DPR. Sebuah langkah yang kemudian terbukti berisiko tinggi. Bahkan, sampai menjelang Kongres PDI di Medan pada 1993 ini, urusan Kelompok 17 masih terus membayang-bayangi Soerjadi. Apalagi, Kelompok 17 seperti mendapat angin baru setelah Pemerintah menunjuk Achmad Soebagyo sebagai salah satu anggota DPA, Juni 1993 lalu seperti halnya Soerjadi sebelum menjadi Ketua Umum PDI. Kelompok 17 juga menuduh Soerjadi memanipulasi hasil kongres, denganmenetapkan bahwa Kongres IV PDI berlangsung pada 1993 atau tujuh tahun setelah ia memimpin PDI bukan lima tahun seperti anggaran dasar. Upaya menumbangkan Soerjadi terus berlanjut. Puncaknya, sekitar 50 orang yang mengaku mewakili 18 daerah berkumpul di Jakarta dan membentuk Panitia Nasional Penyelamat PDI. Dalam rapat-rapat mereka, para pentolan Kelompok 17 ikut memberi ''wejangan''. Waktu bergulir cepat. Soerjadi jalan terus dan aksi Kelompok 17 seperti kalah ''adu lari'' dari cepatnya Soerjadi merapatkan barisan. Bersama para elite pengurus pusat, seperti Fatimah Achmad atau Nico Daryanto, Soer rajin turun kedaerah menggalang kekuatan baru. Kalangan bisnis pun didekati Direktur PT Aica Indonesia perusahaan yang produknya antara lain lem ''Aica Aibon'' ini. Maka, barisan Soerjadi tambah mantap ketika pengusaha kondang seperti Soegeng Sarjadi, aktivis Angkatan 66 dan salah satu direktur grup Kodel, atau Laksamana Sukardi, direktur Lippobank (ketika itu), ikut bergabung dengan PDI. Anak bungsu Bung Karno, Guruh Sukarnoputra, yang sebelumnya hanya meramaikan kampanye, ditariknya memperkuat barisan PDI di DPR. Toh tiap Pemilu ada saja isu dimunculkan PDI. ''Celah'' di tubuh Pemerintahbisa digarap jadi bahan pidato kampanye yang menarik. Kisruh tata niaga cengkeh yang dikelola Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) yang dipimpin Tommy Soeharto merupakan isu ekonomi yang kerap dilempar PDI dari panggung kampanye. Dampaknya, PDI naik mencolok di daerah-daerah cengkeh di Jawa Timur, seperti Trenggalek, Kediri, Blitar, dan Pacitan. Dari Jawa Timur saja PDI bisa menambah sepuluh kursi untuk DPR pusat.Isu politik yang diteriakkan dari podium juga tak kalah gegap-gempita. Antara lain pembatasan masa jabatan presiden. Adalah Soerjadi sendiri yang menjelaskan bahwa masa jabatan presiden adalah dua kali saja setelah PakHarto. Soerjadi menyampaikan ini pada TEMPO (Mei 1992) dan kemudian melontarkan di depan massa kampanye PDI Jakarta, pada hari ketiga kampanye 1992. Entah untuk menjawab Soerjadi atau bukan, Presiden Soeharto ketikamenerima pengurus Kosgoro, saat itu, meng- ingatkan agar jangan ada yang mengebiri UUD 45. Sebab sudah disebutkan, masa jabatan presiden adalah lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Itu semua terserah MPR.Soerjadi juga punya jawaban. ''Kami tak berniat mengebiri UUD 45, bahkan bertekad melestarikannya. Masalahnya, apakah interpretasi PDI itu bisa diterima fraksi lain. Kami tak memaksakan kehendak kami, tapi kami berharap pihak lain juga jangan memaksakan pendapatnya kepada PDI,'' kata Soerjadi dalam wawancara khusus dengan TEMPO, Mei 1992.Maka, menggelegarlah isu-isu seputar kursi kepresidenan dari kandang Banteng.Misalnya: walaupun calon presiden tunggal, sesuai dengan UUD 45 bahwa presiden dan wakil presiden dipilih dengan suara terbanyak maka harus dilakukan pemungutan suara.Ketika hasil pencoblosan tengah dihitung, muncul radiogram dari Ketua Umum PDI agar anak buahnya di daerah jangan menandatangani hasil penghitungan suarakalau ada kecurigaan terjadinya kecurangan. Menko Polkam Soedomo ketika itu sempat bereaksi keras. Ternyata, sikap ''militan'' PDI selama kampanye tadi mendapat sambutan dari pemilihnya. Terbukti, kursi PDI kembali meningkat tajam, dari 40 kursi menjadi 56 kursi. Dua kali Soerjadi memimpin PDI dalam pemilu, dua kali pula PDI mendapat tambahan 16 kursi. Tapi bukan tak ada''harga'' yang harus dibayar. Ujian pertama datang ketika penandatanganan hasil pemilu. Begitu gencarnya PDI bilang ada kecurangan, sampai-sampai Ketua PDI Jakarta Alex Asmasoebrata menyatakan tak akan menandatangani hasil pemilu di Jakarta. Massa PDI, yang menunggu apakah Soerjadi mau tanda tangan atau tidak, akhirnya menerima kenyataan. Ia meneken hasil pemilu di hari terakhir. Ujian kedua datang ketika Rapat Pimpinan PDI di Kopo, Bogor, awal 1993 lalu, harus memutuskan siapa calon presiden dari PDI. Dengan tema kampanye perubahan, massa mengharapkan PDI mampu mempunyai calon presiden selain Soeharto yang sudah dicalonkan semua fraksi MPR kecuali PDI. Bahkan, menurut sumber TEMPO, hampir semua pimpinan PDI daerah sepakat akan mengajukan nama Soerjadi sebagai calon presiden. Soerjadi yang mendengar rencana ini segera bertindak. Sebelum Rapim Kopo dibuka, semua pimpinan PDI daerah dikumpulkannya di rumah makan Handayani di kawasan Puncak, dan di-wanti-wanti agar tak memilihnya sebagai pesaing Pak Harto. ''Keinginan saya hanyalah agar bisa kembali memimpin PDI lima tahun mendatang,'' kata Soerjadi. Jalan yang harus ditempuh, pesan Soer, semua pimpinan PDI daerah harus memilih Soeharto sebagaicalon presiden dari PDI. Maka, seperti kritik Aberson Marle Sihaloho, yang mencalonkan diri sebagai ketua umum di Medan, Soerjadi berhasil secara kuantitatif. ''Tapi dari ukuran kualitatif, dia gagal menyalurkan pendapat dan aspirasi masyarakat dan mewujudkan hak-hak rakyat,'' kata Aberson pekan lalu. Soerjadi dinilai Affan Gafar, pengamat politik dan dosen Fisipol dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, hanya memelihara kepentingan diri sendiri dan bukan kepentingan partai. Ia gagal mewujudkan janji-janji kampanye. Kalau Soerjadi berhasil menaikkan suara, kata Affan, itu lantaran ada orang-orang yang tak senang pada Golkar dan pendukung PNI tradisional. ''Soerjadi bukan lagi aset buat PDI,'' ujar Affan kepada R. Fadjri dari TEMPO. Tapi jangan lupa, adalah Soerjadi pula yang membuat PDI jadi seperti partai terbuka, yang memungkinkan siapa pun bisa masuk, tak ada sekat usia, golongan, atau agama. Dari ukuran persentase, Pemilu 1992 harus diakui dimenangkan oleh PDI yang dipimpin Soerjadi. Begitulah, barangkali Soerjadi memang hanya sesosok wayang. Dan sang wayang dikritik (atau dituding) seorang pejabat tinggi negara sebagai kacang ninggal lanjaran (kacang lupa kulitnya) karena tetap saja bersikap kritis, misalnya soal kecurangan pemilu. Dia bisa saja akan masuk kotak antara lain lantaran persidangan penculikan yang belum jelas benar di pasal mana dia kena (Lihat Saksi-Saksi Yang Berubah). Dia bisa saja dimunculkan lagi, atau dicarikan lakon lain dan wayang baru pun dimunculkan. Toriq Hadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini