SOERJADI kini terpuruk pada posisi sulit. Popularitasnya digoyang menjelang pemilihan ketua umum. Yang paling berat, ia dianggap oleh Pemerintah sebagai orang yang ''cacat hukum'', jangan dipilih. Namun, Soerjadi bukan orang baru di dunia politik. Laki-laki kelahiranPonorogo, Jawa Timur, 54 tahun lalu, yang juga sarjana sosial-politik lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogya, tahun 1965 itu sudah aktif di panggung politik lewat Angkatan 66. Sebagai Ketua Umum GMNI, ia mengaku ikut aktif berdemonstrasi merobohkan Orde Lama. Anak angkat tokoh PNI Mr. Hardi dan menantu tokoh PNI Hadi Soebeno itu sempat aktif di PNI pada awal Orde Baru. Pada awal 1970-an ia terlibat dalam Kelompok Cipayung, gerakan elite organisasi pemuda di bawah Ali Moertopo yang melahirkan KNPI. Ia siap menghadapinya. Jumat dan Sabtu pekan lalu, Soerjadi menerima wartawan TEMPO, Bersihar Lubis dan Sarluhut Napitupulu, untuk sebuah wawancara khusus di rumah seorang pengurus PDI Sumatera Utara di Medan. Berikut ini petikannya: Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung mengatakan, orang ''cacat hukum'', terlibat penculikan, tak pantas jadi ketua umum. Apa pendapat Anda? Pernyataan itu betul. Tapi apakah orang jadi saksi itu cacat hukum? Itu hak pengadilan untuk memutuskannya. Saya dipanggil sebagai saksi, bukan sebagai terdakwa. Ini berbeda. Anda jadi saksi sebelum kongres. Anda melihat ini sebagai rekayasa? Kelihatannya memang ada sesuatu. Sulit bagi saya untuk mengatakan tak ada apa-apa. Saya heran mengapa tiba-tiba ada saksi yang bilang bahwa saya menyuap mereka agar memberikan keterangan yang meringankan saya. Itu tak betul. Aneh. Apa yang tak betul? Saya memang pernah memberi mereka Rp 50.000. Itu saya berikan karena para saksi minta untuk perbaikan Daihatsu Zebra milik partai, sumbangan Setneg, yang dipakai untuk antar-jemput mereka ke sidang pengadilan. Kata mereka, mobil itu serempetan. Lantas ada orang lain lagi yang memberi Rp 150 ribu dan Rp 250 ribu. Yang kedua dengan cek Lippo Bank. Tentang kedua pemberian itu, saya tak tahu-menahu. Dukungan untuk Anda gembos. Apa ada desakan agar Anda mundur dari pencalonan? Sampai sekarang saya belum pernah dihubungi siapa pun untuk mengundurkan diri. Insya Allah, hal itu tak perlu ada. Anda sendiri berniat mundur? Sampai sekarang, itu tak terpikirkan. Pendukung setia Anda, Alex Asmasoebrata, minta Anda mundur ....Lo, masak kongres hanya mendengar suara satu orang. Kami repot-repot membikin kongres, mengundang pengurus dari 303 ca- bang, masak keputusannya hanya ditentukan satu orang. Apalagi Alex dari jajaran pimpinan daerah. Agar Anda tahu, yang punya hak suara dalam kongres ini adalah utusan cabang. Alex juga tak berhak mengatasnamakan PDI Jakarta. Karena, dari lima cabang di Jakarta,hanya dua yang setuju dengan Alex. Ada dugaan, Anda akan seperti Jaelani Naro, Ketua Umum PPP, yang habis karena tak disukai Pemerintah. Saya bergelut sebagai politikus sudah cukup lama, sejak 1965. Tapi saya tak tahu jawaban untuk pertanyaan Anda. Barangkali itu salah satu sisi dari dimensi kehidupan politik kita, yang tak semua orang mampu menjabarkannya. Selama ini saya terlalu terlibat dengan urusan intern partai, turun ke cabang-cabang, sehingga saya tumpul menghadapi kondisi itu kalau memang ada. Dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara, calon yang didukung Mabes ABRI bisa kalah. Apakah keajaiban itu bisa terjadi pada Anda? Saya tak mau berandai-andai. Saya suka sama ABRI. Saya mendukung gerak langkah ABRI. Selama tujuh tahun duduk sebagai ketua umum, saya menekankan suatu pemahaman dasar ke jajaran partai terhadap dwifungsi ABRI. Dan tampaknya, usaha saya berhasil. Anda tentunya tahu. Yang pertama kalimengusulkan Panglima ABRI Jenderal Try Sutrisno menjadi wakil presiden adalah PDI. Itu juga menunjukkan bagaimana perhatian PDI terhadap ABRI. Anda masih yakin, Kongres bisa berlangsung bersih, tanpa campur tangan luar? Kami sudah berusaha betul membangun sikap kemandirian di dalam tubuh partai. Dalam kongres kali ini, harapan kami juga demikian. Dan kami sebetulnya percaya bahwa Pemerintah akan membantu agar Kongres bisa berjalan secara mandiri. Tak kurang Presiden Soeharto sendiri, ketika kami melapor untukberkongres, mengatakan, Pemerintah tak akan campur tangan. Menteri Dalam Negeri Yogie S. Memed menegaskan pula, tak ada bisik-bi- sikan. Lalu Mabes ABRI, lewat Kapuspen Brigjen Syarwan Hamid, mengutarakan, tak ada calon yang diberi tinta merah atau tinta biru. Itu yang menjadi pegangan kami. Bagaimana Anda menilai calon lain, termasuk Budi Hardjono, yang merasa menjadi ban serep Anda? Pada prinsipnya, saya menghargai niat dan keyakinan mereka untuk mencalonkan diri. Tentang penilaiannya, biarkan utusan dari cabang-cabang PDI yang memutuskannya lewat kongres. Anda siap tak terpilih?Sejak semula niat saya adalah bersedia dicalonkan dan mencalonkan diri. Soal terpilih atau tidak, itu soal nanti. Jabatan ketua umum bukan tujuan akhir bagi saya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini