JENDERAL tua itu tetap tampak berwibawa. Kendati sakit- sakitan, ketika menerima kunjungan empat jenderal penerusnya (Menko Polkam Soesilo Soedarman, Menhankam Edi Sudradjat, Pangab Feisal Tanjung, dan Wakasad Soerjadi) di Rumah Sakit Gatot Subroto, Jakarta, Selasa pekan lalu, perwira tinggi yang sudah lebih dari 20 tahun menanggalkan baju hijau itu menyambut mereka dengan penuh kebapakan. ''Ini betul-betul suatu surprise bagi saya,'' katanya. Dialah: Jenderal (Purn.) A.H. Nasution, 74 tahun, bekas Menko Hankam dan pernah menjabat KSAD dua kali, yang belakangan dijuluki sebagai ''Bapak TNI-AD''. Ini memang peristiwa langka. Untuk pertama kali, selama 13 tahun terakhir, Nasution dikunjungi empat pejabat penting ABRI. Dan, yang menarik, kunjungan tersebut dilakukan selang dua hari setelah Kapuspen ABRI Brigjen Syarwan Hamid menegaskan bahwa Nasution secara formal tak pernah dicekal. Sementara itu, menurut Nasution, sudah sejak 1971 dirinya mengalami cekal. Ia, katanya,antara lain tak diperbolehkan mengikuti acara kekeluargaan tertentu, dilarang menyampaikan khotbah di Mesjid Cut Meutia, dan juga tak diperkenankan mengikuti seminar di Malaysia (1986). Ada yang mengatakan kunjungan empat jenderal itu sebagai langkah politis ABRI. Betulkah? ''Kunjungan itu bersifat spontan dan bukan rekayasa politik,''kata Menteri Soesilo Soedarman. Pangab Feisal Tanjung menambahkan, soal yang muda bersilaturahmi kepada yang tua itu sudah merupakan bagian dari tradisi ABRI. Ketika kunjungan ke Nasution (dan kemudian Feisal dan Soerjadi melanjutkan dengan kunjungan ke H.R. Dharsono, bekas Pangdam Siliwangi, yang sedang dirawat di RS Gatot Subroto)dilaporkan Menteri Soesilo Soedarman kepada Presiden Soeharto, disebutkan bahwa Kepala Negara tidak pernah menyuruh mencekal konseptor dwifungsi ABRI itu maupun menganggapnya sebagai pembangkang. Hubungan mereka selama ini bahkan disebutkan baik. ''Sewaktu saya melayat Pak (Menko Kesra) Soepardjo Roestam dan (Letjen) Koesno Oetomo sempat bersalaman,'' kata Presiden Soeharto sebagaimana dituturkan kembali oleh Soesilo Soedarman. ''Jadi, tidak ada masalah. Bila selama ini terjadi perbedaan pendapat, itu soal biasa. Karena perbedaan pendapat diakui di negara yang menganut Demokrasi Pancasila.'' Tapi, menurut seorang pengamat politik, kunjungan empat pejabat tinggi ABRI itu jelas politis. Pengamat yang enggan disebutkan namanya ini menandaskan, untuk melepas cekal politik, maka juga harus dengan langkah politik pula. ''Yang mau diselesaikan adalah masalah khusus, seperti silaturahmi di kalangan Angkatan Darat itu,'' katanya. Ia menambahkan, sebenarnya peristiwa di atas lebih sebagai urusan dalam Angkatan Darat, tapi sekaligus juga bisa sebagai perimbangan politik terhadap langkah Ketua BPIS, B.J. Habibie, mengundang sejumlah anggota kelompok Petisi 50 ke PT PAL, Surabaya, dan IPTN, Bandung.Sementara itu, bekas Deputi KSAD, Letjen (Purn. Sajidiman Soerjohadiprodjo menilai kunjungan ke Nasution itu sebagai upaya meluruskan keadaan. Sebab, sebelumnya Kapuspen Syarwan Hamid mengatakan Nasution tak pernah dicekal, sedangkan yang bersangkutan mengaku mengalami pencekalan. ''Itu jelas langkah politis,'' katanya.Mengenai dikait-kaitkannya kunjungan ke Nasution itu dengan langkah mengundang anggota kelompok Petisi 50 ke PT PAL dan IPTN, menurut Sajidiman, justru untuk memperkuat langkah Habibie sebelumnya. ''Kan tujuan Pak Habibie justru supaya senior-senior Angkatan 45 itu makin bersatu,'' katanya. Apakah itu merupakan rekonsiliasi? Ini, menurut Sajidiman, merupakan proses.Yahya Muhaimin, ahli politik dan pengamat militer dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, menilai kunjungan keempat jenderal tadi sebagai bagian dari esprit de corps ABRI. Selama ini, menurut Yahya, terdapat tendensi yang konsisten bahwa kesatuan dan persatuan di kalangan ABRI sangat kuat. Bahkan hal itu tetap dibina terhadap tokoh ABRI yang punya masalah dengan pemerintah. Yahya menyebut contoh bahwa tokoh PRRI, Ahmad Husen dan Simbolon, hingga kini tetap diperlakukan dengan baik.Sebab itu, lanjutnya, kunjungan empat pejabat tinggi tadi membawa dua keuntungan buat ABRI. Pertama, menunjukkan tak ada masalah antara ABRI dan Jenderal Nasution. Kedua, terbukti bahwa ABRI juga bisa terbuka secara politik. Katakanlah, selama ini ada jarak antara ABRI dan Nasution, semata karena ABRI tak ingin secara terbuka diketahui mendekati orang yang punya masalah. ''Saya yakin selama ini sudah terjadi kontak-kontak informal,'' kata Yahya. Salah satu kontak itu disebutkan ketika Brigjen (Pol) Roekmini, waktu masih jadi anggota Fraksi ABRI di DPR, membawa sembilan orang dari Mabes ABRI''berkonsultasi'' dengan Nasution. Sementara itu, Yahya Nasution, anggota Fraksi PDI di DPR, melihat denganpandangan lebih jauh lagi. ''Mungkin sekali peristiwa ini berkaitan dengann upaya melapangkan jalan menuju regenerasi total pada tahun 1998,'' katanya.Siapa tahu Nasution yang satu ini betul. Agus Basri, Linda Djalil, Bina Bektiati, dan R. Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini