PERISTIWA langka itu terjadi Kamis malam dua pekan silam. Hampir semua tokoh penting daerah Aceh berkumpul di Anjung Mon Mata, balai pertemuan berbentuk rumah adat Aceh yang terletak di samping rumah kediaman Gubernur di pusat Kota Banda Aceh. Malam itu, Gubernur Aceh Ibrahim Hasan melantik sebuah kelompok kerja yang tugasnya memberi masukan kepada Gubernur mengenai pembangunan Aceh. Kelompok kerja (pokja) ini dipimpin oleh Ali Hasjmy Ketua Umum Majelis Ulama Aceh. Yang menarik bukan saja jumlah anggotanya yang 100 orang, tapi juga pembidangannya. Salah satunya disebut Bidang Keistimewaan Aceh, di dalamnya duduk pula beberapa tokoh bekas DI seperti Hasan Saleh, 66 tahun, dan Hasan Ali, 71 tahun. Tiga bidang lainnya adalah ekonomi, sosial budaya, dan ilmu pengetahuan & teknologi. Menurut Gubernur, keistimewaan daerah itu lebih berwujud pada pembangunan yang tidak mematikan nilai agama, adat-istiadat, dan pendidikan yang khas Aceh. "Tapi tidak bertentangan dengan strategi nasional." Pembangunan di Aceh akan beretika. "Bukan seperti gajah yang turun merusakkan kampung dan kebun," ujarnya. Dalam mentransfer teknologi dan membangun perekonomian, misalnya, tak boleh bertentangan dengan tata krama dan nilai-nilai yang dianut orang Aceh. Begitu pula di bidang pendidikan. Pokja akan bekerja dengan melakukan pertemuan-pertemuan kelompok. Setiap tiga bulan, 100 anggota itu akan mengadakan sidang pleno membuat rumusan-rumusan. Sebelum dioperasionalkan, rumusan yang dihasilkan kelak akan disaring oleh Pemda untuk mendapatkan legalitas. "Jika perlu, dibawa dulu ke sidang DPRD," ujar Gubernur. Sekalipun wadah itu nonstruktural, Gubernur yakin, tak akan terjadi dualisme dengan perangkat Pemda Aceh. Tapi dengan dihimpunnya unsur birokrasi, tehnokrat, pengusaha, ulama, dan pimpinan informal di pokja, Gubernur mengharapkan timbulnya gagasan-gagasan baru yang lebih segar. Sebab, kata Ibrahim Hasan, "Rutinitas yang menimpa selama ini tak memberi waktu bagi aparat-aparat untuk mengembangkan model-model pembangunan." Sekalipun bukan jalur resmi seperti halnya LKMD, Dirjen PUOD, Atar Sibero, menduga bahwa Gubernur menghendaki tambahan kelompok-kelompok yang mewakili masyarakat. "Saya kira maksudnya baik, untuk menampung aspirasi. Upaya itu sama saja dengan memakai konsultan," kata pejabat yang membidangi urusan otonomi daerah Depdagri itu kepada TEMPO. Dalam kampanye pemilu yang lalu, soal keistimewaan daerah Aceh memang mencuat ke permukaan. Dalam suatu pertemuan yang diadakan Ibrahim Hasan dengan 70 tokoh masyarakat Aceh, pernah ada usul: bila Golkar kelak menang, ciri khas Daerah Istimewa Aceh agar direalisasikan. Tuntutan seperti itu muncul, menurut Ibrahim Hasan, karena Aceh selama ini amat tertinggal dibandingkan daerah lain. Itu karena perang berkepanjangan melawan Belanda, kemudian ditambah dengan pemberontakan DI-TII selama sembilan tahun. "Karena itulah Aceh memerlukan usaha-usaha yang istimewa," kata Ibrahim Hasan. Status Daerah Istimewa Aceh memang ada hubungannya dengan pemberontakan DI-TII, 1953. Pemerintah pusat sejak semula bersikap akan menyelesaikan pemberontakan dengan damai ataupun dengan senjata. Lantas dibentuklah misi pemerintah yang beranggotakan 30 orang -- di antaranya Wakasad Mayjen Gatot Subroto -- yang dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Hardi. Karena itu, dikenal sebagai Misi Hardi. Pada 23 Mei 1959, misi itu berangkat ke Aceh dan berunding dengan pimpinan DI-TII. Sebagai hasil perundingan, kemudian keluar keputusan Perdana Menteri yang isinya menjadikan Aceh sebagai daerah istimewa dalam lapangan keagamaan, adat, dan pendidikan. Setelah itu, 25 Juli tahun itu juga, tokoh DI, Hasan Saleh, bersama pasukannya turun gunung. Sedang tokoh nomor satunya, Daud Beureueh (kini almarhum) menyusul pada 1962. Untuk menjabarkan status daerah istimewa itu, DPRGR Aceh kemudian membuat berbagai perda. Perda Nomor 1/1963, yang terdiri dari 10 pasal, misalnya, melarang kantor, kedai, dan toko-toko dibuka pada waktu salat Jumat, dengan sanksi hukuman kurungan satu bulan atau denda Rp 1.000 pada pelanggarnya. Perda Nomor 6/1966 melarang peredaran alkohol di Aceh, dengan sanksi 6 bulan kurungan atau denda Rp 10.000. Malah di kantor Gubernur Aceh dibentuk Biro Pelaksana Unsur-Unsur Syariat Islam yang mengurusi pelaksanaan perda sampai tingkat kecamatan. Tapi perda itu tak jalan. "Kami ragu-ragu melaksanakannya karena tak ada jawaban Pusat," kata Teungku Achmad, 75 tahun, yang ketika itu memimpin biro yang baru dibentuk itu. Sejumlah tokoh Aceh tampaknya mendukung penekanan kembali Daerah Istimewa Aceh -- yang sampai saat ini dianggap tidak berjalan -- untuk menghentikan meluasnya "ekses pembangunan" di Serambi Mekah ini. Banyak yang khawatir pada, misalnya, meruyaknya pelacuran dan alkoholisme di beberapa tempat di Aceh belakangan ini. Agaknya, lewat status istimewa ini mereka menduga di Aceh bisa diberlakukan perda atau ketentuan lain yang bisa memaksa masyarakat lebih taat pada syariat Islam. Namun, menurut Ibrahim Hasan, pokja yang dibentuknya tidak untuk membuat perda. "Saya tak suka perda-perdaan. Terus terang, saya anti," katanya. Kenapa? "Jika main perda, pasti tak jalan, nanti. Banyak kendala akan muncul," jawabnya. Lebih dari itu, Ibrahim Hasan berpendapat, memasyarakatkan Islam tak boleh main paksa atau main instruksi. "Nabi Muhammad pun tak pernah main perda," katanya. Pendapat Gubernur didukung oleh Ali Hasjmy, ketua pokja. Katanya, "Bukan perda yang menentukan masyarakat itu Islam, tapi manusianya." Dia memberi contoh bagaimana pemandu wisata melayani turis -- yang citranya cenderung dekat dengan yang haram-haram itu -- dengan menampilkan suasana Islam. "Misalnya berlaku jujur dan salatlah di pantai pada waktunya. Begitu istimewanya Aceh itu," kata Hasjmy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini