Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
DPR mengesahkan undang-undang pemekaran Papua.
Sejumlah kalangan khawatir lahirnya konflik baru di Papua.
Menolak pemekaran, TPNPB-OPM menebar ancaman.
Jakarta – Hanya dalam waktu kurang dari tiga bulan, tiga provinsi baru terbentuk di Papua. Namun potensi dampak buruk pemekaran Papua terhadap kondisi sosial, politik, dan keamanan di Bumi Cenderawasih dikhawatirkan bakal segera bermunculan, entah sampai kapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemarin, Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui pengesahan tiga undang-undang tentang pembentukan tiga daerah otonomi baru, yaitu Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan, dan Provinsi Papua Selatan. Sebanyak 20 kabupaten yang dulu menjadi bagian dari wilayah Provinsi Papua kini beralih ke provinsi baru tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami berharap kebijakan otonomi khusus bagi Papua tidak hanya mengatasi permasalahan konflik, tapi juga mempercepat pembangunan dan pemerataan di Papua,” kata Wakil Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, saat membacakan laporan hasil pembahasan tingkat I ketiga aturan tersebut, Kamis, 30 Juni 2022.
Sejumlah kalangan ragu harapan Doli itu, yang juga menjadi dalih untuk pemekaran Papua, bakal terwujud. "Pemekaran ini justru akan menimbulkan konflik yang baru dan lebih besar," kata pemuka Gereja Kristen Injil Tanah Papua, Dora Balubun, dalam diskusi bertajuk "Menggugat Pembentukan DOB di Papua", kemarin.
Suasana rapat paripurna ke-26 terkait pengesahan RUU Pembentukan Papua di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 30 Juni 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Konflik antara pendukung dan penolak pemekaran terus terjadi beberapa waktu terakhir. Bahkan, Dona mencontohkan, konflik juga merembet ke perebutan pengakuan ibu kota, seperti terjadi antara elite politik di Kabupaten Nabire dan Kabupaten Mimika yang sama-sama ingin daerahnya menjadi pusat pemerintahan Provinsi Papua Tengah.
Sementara itu, sebagian masyarakat adat di Nabire justru enggan menjadi bagian dari provinsi baru. Di antara mereka yang menolak pemekaran ini juga ada perbedaan pendapat. Sebagian ingin bergabung dengan Biak, Yapen, dan Waropen di wilayah adat Saereri. “Sebagian meminta agar tetap bergabung dengan Provinsi Papua,” kata Dona.
Menurut Dona, semestinya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat melihat berbagai potensi dampak pemekaran sebelum mengambil keputusan. "Ini kan bisa menyebabkan konflik kembali. Kasihan masyarakat yang menonton situasi ini," kata pegiat hak asasi manusia di Papua ini.
Dengan pengesahan undang-undang, kemarin, ibu kota Provinsi Papua Tengah ditetapkan berkedudukan di Kabupaten Nabire. Adapun ibu kota Provinsi Papua Pegunungan dan Provinsi Papua Selatan berkedudukan di Kabupaten Jayawijaya dan Kabupaten Merauke.
Perbandingan Produk Domestik Bruto regional (PDRB) lima provinsi di Papua pada 2021.
Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib menilai pemerintah dan DPR telah mempertontonkan pemerintahan yang buruk, terutama kepada orang asli Papua. "Pertama, perubahan Undang-Undang Otonomi Khusus. Yang kedua, kemudian daerah otonomi baru bergulir,” kata Timotius. “Ini membuat kepercayaan rakyat Papua ke pemerintah itu buruk dan minim.”
Timotius menilai pembentukan tiga provinsi baru merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan negara terhadap orang asli Papua. Buktinya, pembahasan undang-undang dikebut dan pengesahannya dipaksakan, tanpa melibatkan orang asli Papua dan MRP.
Lebih dari itu, dia khawatir pemekaran ini bakal meningkatkan tindakan represif terhadap masyarakat di Papua. Pasalnya, Timotius mendengar adanya rencana pemerintah menambah kekuatan militer, yang berpotensi terus menciptakan konflik. Dia mengklaim mendengar informasi tersebut dari seorang pejabat pemerintah saat MRP berkunjung ke kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan beberapa waktu lalu.
Pejabat itu, kata dia, mengungkapkan pembentukan daerah otonomi baru merupakan kebijakan negara untuk mempersempit ruang gerak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) atau yang kerap disebut pemerintah sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB). "Penyampaian ini saksinya banyak. Mereka mau bangun komando daerah militer dekat-dekat,” kata Timotius. “Artinya, ini bukan untuk kepentingan rakyat, tapi bagaimana mendatangkan militer sebanyak-banyaknya di tanah Papua untuk mengurung OPM.”
Dia juga mencurigai adanya motif menyuburkan eksploitasi sumber daya alam di Papua. Pembentukan daerah otonomi baru, Timotius mengingatkan, merupakan keputusan politik lanjutan setelah tahun lalu pemerintah dan DPR menggulirkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. “Dalam perubahan itu, negara juga tidak melindungi tanah hak ulayat. Negara terlalu buruk mengelola rakyat Papua," ujarnya.
Perbandingan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten dan kota di Papua 2021.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan pemerintah dan DPR semestinya menghormati kewenangan MRP untuk memberikan persetujuan terhadap pemekaran Papua. Namun, faktanya, kata dia, suara mereka tidak didengarkan. "Rasanya inilah bukti baru betapa pemerintahan kita sedang berjalan menuju tatanan pemerintahan yang tidak demokratis, menuju tatanan yang otoriter, yang terpusat,” kata Usman. “Tak ada lagi otonomi, yang ada re-sentralisasi.”
Kemarin, setelah memimpin rapat paripurna, Ketua DPR Puan Maharani mengklaim pemekaran Papua telah melalui proses panjang dan sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Salah satu yang dibahas adalah efektivitas undang-undang baru untuk penyebaran pembangunan di Papua. “Undang-undang ini menjamin hak sosial dan ekonomi masyarakat Papua perihal pemekaran wilayah yang bertujuan untuk pemerataan dan keadilan pembangunan di Indonesia,” kata Puan. "DPR akan terus mengawasi pelaksanaan undang-undang ini.”
Menurut Puan, DPR telah mengakomodasi kepentingan rakyat Papua dalam pembentukan daerah otonom baru. Satu di antaranya, dia mencontohkan, berupa syarat maksimal usia bagi aparatur sipil negara (ASN) orang asli Papua yang melebihi daerah lain. “ASN di wilayah daerah otonomi baru Papua akan diprioritaskan untuk diisi orang asli Papua,” ujarnya. “Saya berharap agar peraturan teknisnya bisa segera dikeluarkan agar menjamin keberadaan orang asli Papua.”
Respons Organisasi Papua Merdeka
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) menyatakan menolak pemekaran Papua. Juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, mengatakan pemekaran merupakan bagian dari politik pendudukan yang berpotensi mengancam penduduk asli. "Pemekaran wilayah itu, kami sudah terang-terangan menolaknya, baik rakyat Papua maupun TPNPB," kata Sebby, kemarin.
Sebby menyesalkan sebagian rakyat Indonesia justru mendukung pemekaran wilayah Papua. Ia menilai kebijakan pemerintah tersebut merupakan warisan kolonial untuk merampas hak orang lain. "Seharusnya rakyat Indonesia mendesak pemerintah karena pemekaran tidak sesuai dengan keadaan. Papua tidak pernah minta pemekaran. Itu jelas-jelas politik untuk tujuan imigran mengambil alih Papua, baik sipil, politik, maupun kekayaan alamnya," ujarnya.
Dia menegaskan, TPNPB bakal terus melawan pemerintah di Tanah Papua. "Kami akan memberi peluru untuk membunuh siapa saja orang Indonesia yang masuk di wilayah pemekaran, karena mereka membahayakan penduduk asli," kata Sebby. “Itu akan terjadi. Tunggu dan lihat saja di lapangan."
Konflik bersenjata masih terjadi di Papua. Rabu lalu, KKB menyerang Pos Rayon Militer Kiwirok Satgas Kodim Yonif PR 431/SSP. Seorang prajurit, Prada Beryl Kholif Al Rohman, tewas. Pada 27 Januari lalu, baku tembak terjadi antara prajurit TNI dan kelompok KKB. Sebanyak tiga prajurit TNI tewas dan seorang lainnya kritis.
Pada awal Maret lalu, TPNPB juga menyatakan bertanggung jawab atas penembakan yang terjadi di Kampung Kago, Distrik Ilaga, Puncak. Penembakan itu menyebabkan delapan karyawan PT Palapa Timur Telematika (PTT) tewas.
Kepala Divisi Humas Kepolisian RI, Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo, mengatakan kepolisian telah mengantisipasi meningkatnya gangguan keamanan setelah disahkannya tiga undang-undang pemekaran Papua. Markas Besar Polri telah mengirim lima kompi anggota Brigade Mobil dari Jakarta ke Papua. Nantinya tiga kompi itu bakal menjaga keamanan di Timika, satu kompi di Nabire, dan satu kompi di Jayapura. "Yang mengatur bantuan nanti Kapolda Papua, karena yang meminta penambahan dari Kapolda," ucapnya. "Sampai saat ini, belum ada rencana penambahan lagi."
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo