Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pemerintah Bentuk Satgas Pulau Terluar Buntut Lelang Kepulauan Widi

Pemerintah resmi membentuk Satgas Pulau Terluar. Satuan ini untuk mendata pulau-pulau terluar yang berbentuk kepulauan di Indonesia.

14 Desember 2022 | 17.35 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Personel Satuan Tugas Pengamanan Pulau Terluar XXV bermain bola voli di sela-sela tugas menjaga Pulau Berhala di Sumatera Utara, 4 Oktober 2021. Menjadi personel Satgas Pam Puter tentu memiliki kesan yang cukup mendalam bagi mereka, salah satunya jauh dari keluarga. Sulitnya sinyal di pulau tersebut membuat mereka harus naik ke atas bukit menuju bangunan yang dirasa cukup untuk menangkap sinyal. ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah resmi membentuk Satuan Tugas untuk meneliti kembali pulau-pulau terluar di seluruh Tanah Air yang berbentuk kepulauan alias Satgas Pulau Terluar. Satgas dibentuk buntut kasus lelang Kepulauan Widi di Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Mungkin saja ada pemanfaatan atau investasi yang tak sesuai prosedurnya maupun isinya," kata Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu, 14 Desember 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masalah ini mencuat setelah adanya informasi kalau Kepulauan Widi dilelang ke asing. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sudah membeberkan masalah yang terjadi. Tito tak menampik ada kesepakatan antara pemerintah daerah dan pihak swasta untuk mengelola laut tersebut sebelumnya.

"Jadi Kepulauan Widi, Halmahera Selatan, itu pada 2015 ada MoU antara LII (PT Leadership Islands Indonesia) yang berpusat di Bali," ucapnya saat ditemui di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Pusat, pada Senin, 5 Desember 2022.

Menurut Tito, pemilik LII adalah orang Indonesia yang tinggal di Bali. LII ingin mengembangkan kawasan Kepulauan Widi sebagai wisata berbasis ekoturisme dengan berbagai fasilitas, seperti diving, snorkeling, dan lainnya. Rencana pengembangan pulau tersebut, menurut Tito, akan mendorong sektor pariwisata.

Terlebih Kepulauan Widi tersebut kosong alias tidak ada orang yang bermukim di sana. Kendati demikian, Tito menegaskan pengembangan pariwisata di Pulau Widi harus sesuai dengan ketentuan. Di antaranya, penggunaan lahan sekitar 30 persen untuk konservasi.

Namun, LII yang memiliki izin pengelolaan selama 30 tahun itu, dalam tujuh tahun terakhir, tidak melakukan pengembangan apa pun. "Mungkin dia kekurangan modal sehingga kemudian dia belum kembangkan," kata Tito.

Karena itu, LII akhirnya mencari pemodal asing. Tito menyebut investor bukan melakukan jual-beli atau lelang, seperti kabar yang beredar. "Tujuannya bukan lelang buat dijual. Tujuannya untuk menarik investor asing. Nah, itu boleh-boleh saja," kata dia.

Tito menilai langkah LII mencari investor asing itu diperbolehkan. Hal yang tidak diperbolehkan, kata dia, adalah jika pemilik perusahaan merupakan warga negara asing. Artinya, kata dia, tidak masalah apabila modal yang disuntikan dari luar negeri itu dikelola oleh perusahaan Indonesia

"Selama ini kan banyak yang sudah melakukan seperti itu," ucapnya. 

Adapun yang perlu dicermati saat ini, menurut Tito, adalah persentase lahan yang digunakan untuk konservasi. Ketentuan itu, kata dia, telah diatur dalam undang-undang. Selain itu, dia menganggap perlu ada penelaahan kebutuhan daerah, seperti lapangan kerja, pembangunan yang berkelanjutan, dan lainnya. 

Dia berharap langkah yang diambil oleh LII tidak melawan hukum yang ada, baik soal kepemilikan permodalan, dan pembangunannya. Di sisi lain, ucap Tito, LII kemungkinan perlu memperpanjang MoU dengan pemerintah daerah.

Kemudian, LII harus meminta persetujuan pemerintah pusat terutama dari Kementerian Lingkungan dan Kehutanan (KLH), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) perihal konservasi.

Adapun pembentukan Satgas ini disampaikan Mahfud setelah resmi mengumumkan pencabutan MoU LII. "Pemerintah akan membatalkan MoU tersebut, karena isi atau prosedurnya tidak sesuai peraturan yang berlaku," kata Mahfud.

Mahfud kemudian menjelaskan pelanggaran terjadi karena isi MoU tidak pernah ditepati oleh LII. "Jadi kami batalkan itu," kata dia.

Selain itu, MoU harus dilakukan tanpa izin dari Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono. Sampai hari ini, Trenggono tak pernah mengeluarkan surat izin untuk pemanfaatan Kepulauan Widi. Selain itu, setengah dari objek MoU juga merupakan hutan seluas 1.900 hektare yang sebenarnya tidak diperbolehkan.

Terkait pembatalan ini, Mahfud menyebut masalah teknis selanjutnya akan diselesaikan oleh pemerintah daerah dengan LII. "Sesuai levelnya masing-masing," ujarnya.

Meski batal, Mahfud menyebut pemerintah tetap akan membuka kemungkinan siapa pun untuk berinvestasi dalam pemanfaatan pulau terluar seperti Kepulauan Widi sesuai aturan. LTT bahkan tetap boleh ikut bila berminat. "Sesuai aturan yang berlaku," kata dia.

Berikutnya, pemerintah juga membentuk satuan tugas atau satgas untuk meneliti kembali pulau-pulau terluar di provinsi yang berbentuk kepulauan. Sebab mungkin saja, kata Mahfud, ada pemanfaatan atau investasi yang tidak sesuai prosedur.

Fajar Pebrianto

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus