Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan peraturan baru mengenai proses perizinan penelitian bagi kelompok masyarakat dan perorangan. Peraturan baru ini dikeluarkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pertimbangannya, peraturan yang diteken Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo pada 11 Januari 2018 itu menyebutkan aturan baru diperlukan karena yang lama tak lagi sesuai dengan dinamika peraturan perundang-undangan saat ini. "Tujuan utama aturan itu justru untuk menertibkan sistem administrasi pemerintah," kata Staf Ahli Menteri Bidang Aparatur dan Pelayanan Publik Widodo Sigit Pudjianto pada Senin, 5 Februari 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prosedur baru izin penelitian ini menggantikan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2011 tentang Pedoman Penerbitan Rekomendasi Penelitian. Dalam prosedur lama, peneliti tinggal mengirimkan surat permohonan penelitian ke bupati/wali kota (bila penelitian di tingkat kabupaten/kota), gubernur (untuk skala provinsi), atau menteri (bila penelitian berskala nasional atau lintas provinsi). Dengan prosedur baru, permohonan izin harus diajukan ke pusat pelayanan terpadu satu pintu untuk diperiksa Bagian Kesatuan Bangsa dan Politik.
Aturan lama sama sekali tidak menyebutkan tentang pemeriksaan terhadap potensi dampak negatif hasil penelitian. Meski demikian, peneliti dapat diberi sanksi berupa pencabutan rekomendasi bila menimbulkan keresahan di masyarakat atau disintegrasi bangsa atau keutuhan negara. Aturan baru ini memang lebih rumit.
Widodo menuturkan Kementerian Dalam Negeri sama sekali tidak menerbitkan aturan dengan niat mempersulit para peneliti. "Agar semua izin dan pelayanan bisa lewat satu pintu di PTSP, tidak lagi lewat bupati atau gubernur atau menteri," ujarnya.
Beleid tersebut juga mengatur mengenai pemerintah berhak mengkaji lebih dulu dampak negatif penelitian sebelum menerbitkan izin. Bila verifikasi menemukan adanya potensi dampak negatif, izin akan ditolak.
Menurut Widodo, pengkajian dampak negatif hasil penelitian bukan sesuatu hal yang memberatkan. "Kami, misalnya, mengecek, apakah penelitian itu untuk mengubah Pancasila. Hal-hal seperti itu saja," tuturnya.