Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pihak meminta pemerintah membenahi regulasi-regulasi yang diskriminatif sebelum pemerintah menghidupkan kembali Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Penataran P4). Direktur SETARA Institute, Halili, mengatakan program-program pemantapan nilai-nilai Pancasila memang diperlukan. Alasannya selama dua dekade terakhir pemerintah lalai menjaga kemantapan ideologi Pancasila pada masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun Halili mewanti-wanti karena persoalan trauma soal P4 yang pernah dijadikan instrumen diktatorianisme dan otoriterianisme selama era Orde Baru. “Pemerintah harus mempertimbangkan sejumlah hal seperti dukungan publik dan substansinya,” kata dia saat dihubungi Tempo, Kamis, 20 Januari 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Halili menjelaskan sejumlah tindakan yang tidak sesuai dengan nilai Pancasila, yang saat ini terjadi tidak melulu dilakukan oleh masyarakat. Ada pula peran negara. "Ancaman terhadap kebhinnekaan itu ada dua lapis. Satu, lapis negara. Dua, lapis masyarakat."
Menurut Halili, banyak aturan dan tindakan pejabat atau aparat negara yang memberi ruang terjadinya intoleransi. Di sisi lain konservatisme masyarakat meningkat namun literasi mereka tentang identitas masih kurang. Akan sia-sia jika indoktrinasi terus berlangsung mengenai Pancasilanya tapi regulasi yang membuka ruang terjadinya diskriminatif dibiarkan. “Atasi dulu persoalan ini bersamaan sosialisasi pentingnya kesetiaan pada dasar negara, demokrasi, dan lain-lain."
Staf Biro Penelitian, Pemantauan, dan Dokumentasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rivanlee Anandar, menyarankan target penataran P4 adalah aparat hukum dan pejabat publik. Banyak tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila justru terjadi karena ada peran negara di dalamnya. Aparat hukum yang tidak tegas hingga peraturan-peraturan yang merestui sikap intoleran.
"Persoalan yang terjadi, yang bertentangan dengan Pancasila, seperti pembatasan pada kebebasan berkumpul atau pembatasan berkeyakinan dan beribadah itu karena lemahnya penegakan hukum," kata dia saat dihubungi kemarin.
Revanlee berkelakar masyarakat di Indonesia masih paham soal nilai-nilai Pancasila. "Masih Pancasilais."
Selain itu, kata dia, meski pemerintah mengemas penataran P4 ini secara kekinian mungkin, namun hal ini tidak mudah. "Sekarang akses informasi mudah didapat. Kalau dikembalikan ke satu jalur saja lewat indoktrinasi P4 itu akan membuat masyarakat homogen dan seolah negara mau coba mengatur warganya sedemikian rupa," kata Rivanlee.
Penulis buku Pendidikan yang Memiskinkan, Darmaningtyas, mendukung wacana pemerintah ini. Namun ia meminta model penataran yang berbeda dibandingkan era orde baru. "Karena kalau seperti dulu jelas membosankan dan orang malah bisa merasa eneg terhadap Pancasila. Jadi yang dibutuhkan bukan model penatarannya, tapi penanaman nilai-nilai Pancasilanya itu sendiri."
Caranya, kata Darmaningtyas, bisa dengan menyisipkannya lewat pengembangan seni dan budaya. "Karena seni dan budaya itu paling lentur dan dapat diterima oleh semua pihak."