Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jauh dari Harapan Wisata Halal

Aceh diharapkan menjadi destinasi wisata halal yang memudahkan turis muslim. Kenyataannya, masih jauh panggang dari api.

25 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sektor wisata di Aceh menjadi sorotan setelah petugas menyebabkan matinya anjing peliharaan demi penegakan wisata halal di Aceh Singkil.

  • Banyak infrastruktur dasar belum terpenuhi di lokasi wisata, apalagi pemenuhan kebutuhan wisata halal.

  • Pemerintah Provinsi Aceh menyalurkan Rp 13 miliar per tahun untuk pengembangan wisata.

ACEH BESAR – Ketika akhir pekan tiba, Urwatun Uswa dan keluarganya punya satu agenda yang tak boleh terlewat. Ibu tiga anak ini memasak, membawa bekal makanan, dan melipat pakaian ganti. Lalu, meluncurlah mereka ke Pantai Lampuuk, Aceh Besar, Aceh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada satu yang tak boleh tertinggal dalam tas pantai: mukena. “Soalnya, mukena di musala kadang enggak bersih,” kata perempuan asal Aceh Besar ini kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Urwatun juga punya kebiasaan saat pelesiran. Ia akan berenang dengan pakaian yang dikenakannya dari rumah—lengkap dengan jilbabnya. Ketika sore tiba, ia akan membasuh badan di kamar mandi berbayar dekat musala, lalu berganti dengan baju bersih.

Rata-rata muslim di Aceh punya kebiasaan sama dengan Urwatun setiap kali akan berenang di pantai. Pemandangan perempuan yang berenang dengan pakaian lengkap seperti kerudung, baju lengan panjang, dan celana panjang adalah hal biasa. Hanya anak-anak yang biasanya memakai baju berenang saat bermain di pantai.

Wisatawan melakukan swafoto di Situs Tsunami Kapal PLTD Apung, di Desa Punge Blang Cut, Banda Aceh, Aceh, 25 September 2021. ANTARA/Ampelsa

Aturan menggunakan kerudung saat berenang ini tak disebut dalam papan-papan pengumuman di pintu masuk berbagai lokasi wisata pantai di Aceh. Di gerbang masuk Pantai Lampuuk, misalnya, pengunjung diminta “menjunjung tinggi syariat Islam". Ada pula peringatan jika pada Jumat, pantai hanya dibuka setelah pukul 14.00 WIB atau bakda salat Jumat.

Ketentuan yang sama juga ditetapkan pengelola Pantai Babah Kuala di Aceh Besar. Pengunjung diminta berpakaian sopan, serta ada aturan pantai ditutup saat Idul Fitri dan Idul Adha, saat Maulid Nabi Muhammad, dan hari peringatan tsunami Aceh, 26 Desember.

Sederet aturan ini menjadi cara pemerintah Aceh menggelorakan wisata halal di provinsi terbarat itu. Selama lima tahun terakhir, Aceh gencar menggembar-gemborkan pariwisata bersandingkan syariat Islam demi mengincar lima juta wisatawan domestik yang dikategorikan sebagai turis muslim. Artinya, mereka memilih tujuan wisata yang banyak menampilkan situs religius seperti masjid atau makam tokoh Islam, serta tujuan wisata yang ramah kebutuhan pemeluk Islam seperti makanan halal dan tempat salat.

Di Aceh, visi utama wisata halal itu tak terpenuhi. Hanya ada masing-masing satu musala di Pantai Lampuuk dan Pantai Babah Kuala, meski pengunjung kedua pantai tersebut mencapai ratusan orang saban akhir pekan. Mukena untuk pengunjung perempuan, seperti yang disoroti Urwatun, juga tak bersih karena digilir sampai ratusan orang.

Kecenderungan Aceh untuk sekadar mengurus busana pengunjung pantai ketimbang memberikan pelayanan sesuai dengan tuntutan wisata halal menjadi salah satu sorotan panjang provinsi ini dalam menerapkan syariat Islam. Sepanjang akhir pekan lalu, publik mengkritik Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah—semacam polisi syariah di Aceh Singkil—yang membunuh anjing peliharaan di Pantai Pulau Panjang, Kecamatan Pulau Banyak. Anjing bernama Canon itu ditepis dengan kayu, lalu dimasukkan ke keranjang sebelum diangkut dengan mobil patroli. Canon mati dalam keranjang.

Wilayatul Hisbah berdalih tengah menerapkan aturan Gubernur Aceh tentang wisata halal yang termasuk larangan membawa anjing di lokasi wisata. “Tidak ada kami siksa,” kata Kepala Satpol PP dan Wilayatul Hisbah Kabupaten Aceh Singkil, Ahmad Yani.

Rahmat Saleh, peneliti sosial pariwisata dari Universitas Syiah Kuala, mengatakan ada salah kaprah pengertian wisata halal yang diterapkan pemerintah. “Masih ada kecenderungan untuk mengurus yang kecil-kecil dibanding menyusun grand design,” kata Rahmat. Di Aceh, misalnya, belum ada qanun wisata halal yang mengatur jelas konsep yang hendak dicapai.

Bahkan, Rahmat melanjutkan, infrastruktur dasar lokasi wisata pun belum terpenuhi, apalagi infrastruktur wisata halal. Jalan masuk Pantai Lampuuk dan Pantai Babah Kuala, misalnya, masih berupa jalan tanah.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Jamaluddin, mengatakan pemerintah provinsi tetap serius menerapkan visi wisata di setiap lokasi wisata yang tengah dikembangkan pemerintah. Menurut dia, Aceh menganggarkan Rp 13 miliar untuk pengembangan pariwisata setiap tahun. “Wisata halal itu memang sudah rohnya Aceh,” kata dia.

INDRI MAULIDAR (ACEH BESAR)

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus