Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peringatan Hari Maritim, 21 Agustus hari ini, menurut Dr Fauzan pengamat perbatasan internasional, masih menyisakan persoalan besar mengenai penyelesaian daerah perbatasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalan perbatasan masih menjadi fokus pemerintah sampai saat ini. Sengketa perbatasan antar negara merupakan suatu ancaman bagi keamanan dan perdamaian baik secara nasional tetapi juga meliputi keamanan dan perdamaian Internasional. Karena menyangkut kedaulatan sebuah negara yang nantinya akan berdampak pada keamanan nasional dan Internasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian kembali mengingatkan sejumlah sengketa perbatasan wilayah Indonesia dengan beberapa negara tetangga. Menurut Tito, sengketa-sengketa yang ada diselesaikan satu per satu menurut skala prioritas. “Ada beberapa dispute atau sengketa perbatasan. Baik darat, dan terutama laut. Ini diselesaikan dengan skala prioritas secara bertahap,” ujar Tito dalam webinar nasional yang digelar Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), September 2020.
Itu menandakan, persoalan perbatasan masih serius. “Permasalahan perbatasan Indonesia dengan negara tetangga sangat kompleks, yang pertama dan mendasar berkaitan dengan kejelasan batas, baik batas darat maupun batas maritim. Oleh karena itu penetapan dan penegasan garis batas menjadi penting dan urgen. Karena masalah ketidakjelasan batas ini bisa berimplikasi pada masalah pertahanan dan keamanan,” kata Fauzan PhD, yang juga dosen Hubungan Internasional UPN Yogyakarta kepada Tempo.co.
Peraih gelar PhD dari Universiti Utara Malaysia dengan riset disertasi mengenai keamanan perbatasan maritim di Natuna ini, mengungkapkan Indonesai berbatasan darat dengan tiga negara, Malaysia di pulau Kalimantan, Papua Nugini dan Timor Leste. Sedangkan batas maritim, Indonesia berbatasan dengan 10 negara yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Papua Nugini, Timor Leste, dan Australia.
“Di sini perlu digarisbawahi secara tebal bahwa selama ini, Indonesia tidak merasa, tidak mengakui, dan tidak menganggap mempunyai perbatasan maritim dengan Cina atau Tiongkok, meskipun ada klaim sepihak dari Tiongkok dengan nine dashed-line-nya yang bersinggungan atau tumpang tindih dengan sebagian perairan Laut Natuna Utara atau ZEE Indonesia di Laut Cina Selatan,” kata Fauzan.
Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri, pernah menegaskan penolakannya terhadap klaim historis China di zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) yang terletak dekat perairan Kepulauan Natuna, Provinsi Riau.
"Klaim historis RRT atas ZEEI dengan alasan bahwa para nelayan China telah lama beraktivitas di perairan dimaksud bersifat unilateral, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982," jelas Kementerian Luar Negeri, Januari 2020.
Di perbatasan darat Indonesia dengan Malaysia, menurut Fauzan, masih terdapat tujuh segmen yang belum clear atau outstanding boundary problems (OBP) dan masih perlu upaya penyelesaian melalui perundingan-perundingan diplomasi perbatasan).
Tujuh OBP tersebut dibagi menjadi dua bagian besar atau sektor yaitu permasalahan di Sektor Timur, yakni wilayah antara Kalimantan Utara (Indonesia) dengan Sabah (Malaysia). Di Sektor Timur masih menyisakan tiga permasalahan batas (OBP), yang sebelumnya ada lima OBP, yaitu permasalahan segmen Sebatik, segmen Sungai Sinapad, dan segmen B2700 s/d B3100.
Fauzan mengungkapkan, permasalahan di dua segmen perbatasan termasuk masalah maritim, yaitu segmen Sungai Simantipal dan segmen C500 s/d C600 sudah dapat diselesaikan pada pertemuan The Joint Indonesia - Malaysia Committee on Demarcation and Survey of International Boundary, di Bandung pada 9-10 Oktober 2018 yang lalu.