Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Difabel

Potret 3 Difabel Manfaatkan Teknologi Informasi untuk Mendulang Rezeki

Simak bagaimana tiga difabel ini menginspirasi dengan tetap berusaha dan meningkatkan keterampilan digital. Mereka mendobrak stigma dengan karya.

6 April 2022 | 05.48 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Reti Ainur Rohmah, survivor kanker tulang dan pengusaha salon online. Dok. Laporan Program Go Digital Asean di Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi pembangunan nirlaba, The Asia Foundation dan cabang filantropis Google, Google.org menggelar program Go Digital Asean di sepuluh negara sejak Juni 2020. Inisiatif meningkatkan kemampuan digital senilai USD 3,3 juta itu menjangkau lebih dari 37 ribu masyarakat Indonesia, termasuk difabel dan non-difabel yang berasal dari berbagai kalangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Deputy Country Representative The Asia Foundation Indonesia, Hana Satriyo mengatakan, program Go Digital Asean ini penting untuk mengantisipasi dampak yang signifikan akibat pandemi Covid-19. "Kenyataannya, kondisi yang lebih sulit dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di pedesaan dan daerah terpencil," kata Hana dalam keterangan tertulis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pelaku usaha mikro, penyandang disabilitas, dan para pencari kerja di tingkat desa membutuhkan akses untuk meningkatkan keterampilan digital guna membuka peluang kerja baru. Untuk itu, kami menjalankan program Go Digital ASEAN yang mencakup kurikulum, pelatih, perangkat digital di 800 desa. "Kami meyakini mereka yang mendapat manfaat dan memperoleh keterampilan digital melalui program ini kelak akan mampu melindungi dan memperkuat mata pencaharian mereka," ujarnya.

Hingga masa akhir program pada Desember 2021, tercatat lebih dari 22 ribu pencari kerja, 15 ribu pelaku usaha mikro, dan sekitar 1.000 penyandang disabilitas mampu meningkatkan keterampilan. Mereka berasal dari delapan provinsi di Indonesia, yaitu Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Riau, dan Kalimantan Barat. Soal komposisi, empat dari lima peserta pelatihan adalah perempuan.

Asia Pacific Lead Google.org, Marija Ralic membeberkan berbagai tantangan ekonomi yang terjadi saat ini, di antaranya meningkatnya angka pengangguran, tingginya permintaan akan keterampilan baru, dan tuntutan untuk lebih dekat dengan teknologi. "Kami melihat program membantu memperluas peluang ekonomi bagi pelaku usaha kecil dan komunitas yang rentan seperti perempuan dan generasi muda," katanya.

Keterampilan baru yang diperoleh peserta selama pelatihan ini membantu 92 persen pencari kerja untuk merasa lebih siap menjalani masa depan. Ada pula 68 peserta yang berhasil mempertahankan pekerjaan mereka. Bagi penyandang disabilitas, program Go Digital ASEAN membuat 96 persen dari mereka percaya bahwa keterampilan digitalnya telah meningkat dan 89 persen di antaranya mengambil langkah untuk meningkatkan karier. Saat ini, hampir satu dari tiga peserta difabel memperoleh pekerjaan atau mendapatkan hasil dari apa yang mereka pelajari dalam pelatihan tersebut.

Para peserta difabel memiliki jenis usaha yang bervariasi. Mulai dari warung makan terbuka, kafe, salon online, kios paket internet, perajin, guru bahasa isyarat, dan menjual produk pertanian. Beberapa kendala yang mereka hadapi dalam bekerja atau mengembangkan usaha antara lain terbatasnya kesempatan mengakses informasi untuk membantu perkembangan usahanya. Misalkan informasi permodalan, perluasan pasar, dan meningkatkan kapasitas atau keterampilan yang diberikan oleh pemerintah dan pihak swasta.

Penyandang disabilitas juga membutuhkan bantuan dari orang lain dalam beraktivitas, khususnya untuk mobilitas. Contoh, ketika ada pesanan, mereka membutuhkan bantuan orang lain untuk mengirimkan paket atau belanja guna modal usaha. Jika bantuan tidak tersedia, maka aktivitas mereka akan terhambat.

Berikut kisah inspiratif tiga difabel yang mencapai sukses dengan menerapkan teknologi informasi seperti dikutip dari laporan Program Go Digital Asean di Indonesia.


Reti Ainur Rohmah
Survivor kanker tulang dan pengusaha salon online

Reti Ainur Rohmah mengalami disabilitas karena kecelakaan saat duduk di kelas dua SMA. Penanganan luka akibat kecelakaan membuat kondisinya kian parah. Perempuan yang tinggal di Desa Pulau Jambu, Kabupaten Kampar, Kecamatan Kampar, Propinsi Riau, itu awalnya mengandalkan pengobatan tradisional. Orang-orang di kampungnya menyebut dia mengalami "patah tebu" di paha kiri. Pengobatan yang keliru mengakibatkan kaki Reti membengkak dan sakit luar biasa.

Dia kemudian dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad, Pekanbaru, Riau. Dokter mendiagnosis Reti mengalami kanker tulang (oteosarcoma) stadium 4c. Dia dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta pada Februari 2017, dan sebulan kemudian kaki kirinya harus diamputasi.

Sejak itu keseharian Reti tak lagi seperti dulu. Dia harus menjalani kemoterapi supaya sel kanker tak menyebar ke bagian tubuh lain. Selama lima tahun Reti harus kontrol ke rumah sakit setiap enam bulan. Reti menjadi gadis yang pemalu. Dia terpuruk dan mengkhawatirkan masa depannya dengan kondisi satu kaki. Keluarga selalu membesarkan hatinya, memberi semangat, dan membuka peluang untuk terhubung dengan orang lain.

Reti mengikuti kegiatan dari organisasi Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) dan pelatihan untuk difabel di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Sosial Rumbai. Salah satu pelatihan yang dia tekuni adalah kursus kecantikan dan makeup pengantin. Selama lima tahun menimba ilmu, Reti mendapat bekal sebuah gunting rambut, sebuah sisir, dan tiga buah handuk kecil.

Reti Ainur Rohmah, survivor kanker tulang dan pengusaha salon online. Dok. Laporan Program Go Digital Asean di Indonesia

Hanya saja, bukan hal yang mudah bagi Reti untuk membuka usaha. Dia harus berjuang melawan rasa malu, menumbuhkan keberanian, percaya diri, dan membuktikan kalau dia dapat bekerja dengan baik. Seorang teman SMA Reti yang juga relawan desa, Chelsi Sucitra mengajaknya mengikuti pelatihan yang masuk dalam program Go Digital Asean. Dalam pelatihan itu, Reti belajar memanfaatkan berbagai fitur di Facebook, Instagram, dan Whatsapp, mengenal marketplace, seperti Shopee, Tokopedia, hingga cara membubuhkan tanda tangan digital.

Berbekal pengetahuan dari pelatihan tadi, Reti mulai mempromosikan salon online lewat media sosialnya. Di situ, dia menawarkan berbagai paket perawatan kecantikan untuk wajah dan rambut, seperti creambath, facial, dan totok wajah. Rentang tarif setiap layanan mulai Rp 25 ribu sampai Rp 50 ribu. Sekarang, dalam seminggu biasanya Reti melayani tiga sampai lima pelanggan. Untuk menjangkau konsumen, Reti meminta adiknya mengantarkan. "Tetaplah tersenyum dengan segala keterbatasan dan bersyukur atas segala nikmat-Nya," kata Reti.


Lidya Alvani Taslim
Penyandang disabilitas Tuli
Peserta Miss Deaf Indonesia 2015, peserta Miss Deaf Internasional 2016, juara tiga Miss Deaf Model di Cina pada 2017, juara pertama Pemuda Inspiratif Kota Pontianak 2018, dan pendiri Kafe Cabais.

Lidya Alvani Taslim terlahir dalam kondisi Tuli. Selama 32 tahun dia berusaha menerobos segala tantangan dalam berkomunikasi dan mengukir prestasi. Warga Sungai Raya Dalam, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, ini bercita-cita agar insan Tuli memiliki akses yang sama dalam berbagai hal, terutama layanan publik.

Sejak kecil, Lidya merasakan sulitnya membangun hubungan karena keterbatasan komunikasi. Tidak ada sekolah di sekitar rumahnya yang memfasilitasi anak berkebutuhan khusus. Orang tua Lidya akhirnya menyekolahkannya di sekolah luar biasa di Kota Pontianak. Di sana, dia belajar bahasa isyarat dan berupaya mewujudkan impian menjadi makeup artist dengan melanjutkan kursus tata rias.

Lidya Alvani Taslim, difabel Tuli pendiri kafe Cabais. Dok. Laporan Program Go Digital Asean di Indonesia

Kepercayaan diri Lidya bertumbuh karena dia membuktikan hasil riasan difabel dengan non-difabel sama bagusnya. Sejak 2010 hingga lima tahun kemudian, Lidya bekerja di beberapa salon. Ujian yang kerap berulang adalah pelanggan tidak memahami bahasa isyarat. Sebab itu, dia berinisiatif mengajarkan rekan kerjanya agar turut menggunakan bahasa isyarat supaya dapat menterjemahkan dan membangun komunikasi yang baik.

Sambil bekerja di salon, Lidya mengikuti berbagai kompetisi. Pada 2015, dia mengikuti ajang Miss Deaf Indonesia, tahun berikutnya mewakili Indonesia dalam acara Miss Deaf Internasional di Las Vegas, Amerika Serikat. Di 2017, Lidya kembali mewakili Indonesia dalam kompetisi Miss Deaf Model di Cina dan meraih juara ketiga. Tahun depannya, Lidya mengikuti kompetisi Pemuda Inspiratif Kota Pontianak dan berhasil menjadi juara pertama se-Kota Pontianak. Saat itu, dia mengajukan gagasan Project Bisindo atau Bahasa Isyarat Indonesia. Proyek inilah yang membuat Lidya aktif di komunitas Tuli.

Pada September 2021, Lidya mengikuti pelatihan go digital untuk penyandang disabilitas di Kabupaten Kubu Raya. Dalam pelatihan ini, dia bertemu dengan sesama penyandang disabilitas. Momentum saling menginspirasi dan menyebarkan semangat. Lidya mengajak teman-temannya menyampaikan kepentingan mereka kepada pemerintah setempat melalui berbagai kegiatan.

Kafe Cabais atau Cafe Bahasa Isyarat yang didirikan oleh Lidya Alvani Taslim menjadi tempat belajar bahasa isyarat dan mempekerjakan difabel Tuli. Dok. Laporan Program Go Digital Asean di Indonesia

Upaya itu pun bersambut. Pemerintah Kabupaten Kubu Raya memerintahkan dinas pendidikan untuk membuka kelas bahasa isyarat bagi masyarakat dan aparatur sipil negara. Setiap organisasi perangkat daerah harus mengutus pegawainya untuk belajar bahasa isyarat lewat daring dua kali sepekan. Dengan begitu, mereka dapat melayani masyarakat penyandang disabilitas Tuli dan wicara sebagaimana penduduk non-difabel. Dan Lidya menjadi pengajar tetap dari kelas tersebut. Cita-cita Lidya agar difabel, khususnya insan Tuli dapat mengakses layananan pemerintah dengan setara mulai terbuka.

Tak cukup dengan mengajar bahasa isyarat, Lidya membuka sebuah kafe pada akhir 2021. Kafe bernama Cabais alias Cafe Bahasa Isyarat itu menjadi markas belajar bahasa isyarat. Siapapun boleh masuk, belajar bahasa isyarat, sambil menikmati aneka kopi buatan barista Tuli. Bukan sekadar bermodal semangat, Lidya membangun Cabais dengan pertimbangan konsep dan kalkulasi bisnis yang cukup matang, berbekal ilmu dari pelatihan go digital tadi.

Cabais tampil beda dengan kafe atau tempat nongkrong pada umumnya. Pada dinding kafe terdapat gambar-gambar tangan yang memperlihatkan simbol bahasa isyarat. Pelanggan juga dapat belajar menggunakan bahasa isyarat saat memesan minuman, dan kafe ini mempekerjakan difabel Tuli. Lidya berharap Cabais menjadi salah satu pusat belajar bahasa isyarat dan mempertemukan komunitas Tuli, tunawicara, dengan komunitas-komunitas lainnya.


Sapriadi
Tunanetra, pengusaha serba bisa segala usaha

Semua yang ada di hadapan Sapriadi tampak samar, terutama jika pendaran cahaya kurang benderang. Pria yang tinggal di Desa Kakiang, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, ini mengalami low vision. Ibu, saudara kandung, dan dua anak yang juga mengalami kondisi yang sama.

Pria 45 tahun ini tak pernah sekolah. Sebab, saat itu tidak ada sekolah yang memfasilitasi siswa berkebutuhan khusus. Sekolah luar biasa hanya ada di kota yang jaraknya jauh. Meski begitu, semangat belajar Sapriadi tak pernah luntur. Dia mempelajari apa saja secara otodidak, supel, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi.

Sapriadi, tunanetra pengusaha serba bisa segala usaha di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Dok. Laporan Program Go Digital Asean di Indonesia

Lantaran pandai bergaul, Sapriadi punya banyak teman dari luar desanya. Dia kerap menjadi perantara para petani dengan teman-temannya di luar Desa Kakiang yang sedang mencari hasil bumi. Bermodal jejaring pertemanan itu, Sapriadi menjadi penghubung jika para petani sedang panen jagung atau palawija. Dari situ, dia mendapatkan bagian dua sampai lima persen dari penjualan.

Asalkan halal, Sapriadi rela melakoni beragam pekerjaan. Dia juga menjual pulsa telepon seluler bekerja sama dengan agen pulsa besar melelui layanan pesan singkat atau SMS. Hingga satu saat, seorang warga Desa Kakiang, Edi Junaedi tergerak mengajarkan Sapriadi menggunakan berbagai aplikasi digital. Salah satunya piranti lunak Talkback yang tersedia dalam sistem operasi Android. Aplikasi ini software pembaca layar yang memudahkan tunanetra dalam mendeteksi berbagai fitur pada ponsel pintar.

Edi mengajarkan Sapriadi cara mengoperasikan Talkback. Meski Sapriadi belum punya ponsel berbasis Android, dia meminjam telepon pintar Edi hingga lancar menggunakannya. Setelah menguasai aplikasi Talkback, Sapriadi memutuskan membeli ponsel pintar Android dari uang tabungannya. Dia menangkap peluang besar untuk meningkatkan usahanya.

Pada pertengahan 2020, Sapriadi membeli ponsel Android. Lewat Talkback, dia mencari tahu bagaimana cara menggunakan berbagai aplikasi yang memudahkan usahanya. Misalkan software kalkulator bicara untuk menghitung pendapatan dan pengeluaran. Ada juga aplikasi Lookout yang membantu memindai benda apa saja di sekitarnya. Dengan ponsel pintar itu pula, Sapriadi memanfaatkan fasilitas audio untuk mengirimkan pesan melalui Whatsapp dan mengelola media sosial Facebook.

Sapriadi, tunanetra pengusaha serba bisa segala usaha di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Dok. Laporan Program Go Digital Asean di Indonesia

Aplikasi-aplikasi tersebut membantunya dalam menjalankan usaha. Sapriadi tak perlu lagi wara-wiri menawarkan hasil panen petani di desanya. Dia cukup mengirimkan gambar hasil bumi kemudian mengunggahnya ke media sosial dan grup WhatsApp. Lebih hemat biaya, waktu, dan tenaga.

Usahanya juga kini tak hanya berfungsi mengisi pulsa. Sapriadi melayani pengisian paket internet, token listrik, hingga layanan pembayaran digital lainnya, serta menjual air galon. Untuk pengisian token listrik, Sapriadi sudah punya 150 pelanggan tetap. Dari setiap transaksi token listrik, dia mengambil untung Rp 5.000.

Melalui beragam usaha tadi, Sapriadi mampu menghidupi istri dan dua anaknya. Dia mampu menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah luar biasa di Kota Sumbawa Besar. Sapriadi ingin anaknya mengeyam pendidikan tinggi. Dan dia menjadi teladan bahwa kondisi disabilitas bukan penghalang untuk tetap bekerja dan berkarya. Keinginan Sapriadi sekarang adalah punya komputer jinjing untuk bisa menjadi agen bank. Sayang, tabungannya belum cukup buat membeli laptop.

Baca juga:
Angkie Yudistia Mendorong Difabel Aktif Lapor Diri ke 3 Dinas Ini

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik Tempo.co Update untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram lebih dulu.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus