Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Praktikum Menjegal Gadis Berkursi Roda

Seorang mahasiswi berkursi roda dilarang melanjutkan kuliah yang sudah ditempuhnya sepuluh semester. UI tak menyediakan fasilitas bagi penyandang cacat. Banyak tanggapan emosional.

14 November 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CITA-cita Eri Herlina meraih gelar sarjana biologi kandas sudah. Padahal, gelar itu tinggal berapa kali kayuh saja tergapai. Ia sudah mengantongi 140 SKS (satuan kredit semester) dari 144-160 SKS yang diwajibkan. Gadis cacat berkursi roda itu kini tak boleh meneruskan kuliahnya. Saat memasuki semester 11, setelah kuliah selama lima tahun sejak 1987, mahasiswi Fakultas Matematika dan Ilmu Penge tahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia ini dianjurkan tak melanjutkan kuliah dan pindah ke jurusan lain yang terbuka bagi penyandang cacat. Para dosen wali untuk mata kuliah dan praktikum tak bersedia membubuhkan tanda persetujuannya. Alasannya, jurusan biologi tak punya fasilitas khusus untuk penyandang cacat seperti Eri. "Praktikum di tingkat akhir itu banyak menggunakan zat-zat kimia yang berbahaya dan api untuk proses pemanasan," kata dekan FMIPA Parangtopo Sutokusumo. Pernah seorang mahasiswa kedokteran terciprat zat tersebut dan jadi buta, sehingga kemudian diberikan alternatif pindah jurusan. Karena itu, ia tak bisa membayangkan bagaimana Eri dengan kursi rodanya harus mengambil zat-zat berbahaya itu, mencampur, dan membakarnya. Fakultas tentu tak bisa memberikan pembimbing khusus dan terus-terusan memberikan dispensasi pada Eri. Dispensasi juga harus diberikan pada beberapa mata kuliah seperti taksonomi hewan yang prakteknya dilakukan di Kepulauan Seribu, mikrobiologi, dan kuliah kerja lapangan yang semuanya merupakan kuliah wajib. Kalau Eri tetap diberi dispensasi, "para dosen sepakat akan keluar," ujar Parangtopo. Namun, Eri bukan datang dari keluarga yang suka pasrah. Ayahnya, M. Seun, Kepala Bagian Perlengkapan dan Inventarisasi Badan Pemeriksa Keuangan, tak mau studi anak bungsu dari dua bersaudara ini kandas di tengah jalan. Ketika mengikuti ujian masuk atau sipenmaru, fakultas itu tak melarang calon mahasiswa yang cacat. Namun, menurut Parangtopo, ada peraturan tak tertulis di beberapa jurusan yang harus ditaati. Misalnya, mahasiswa fisika haruslah tak buta warna. Mahasiswa biologi pun harus bebas dari cacat tubuh. Lalu mengapa Eri yang tak bisa berjalan sejak umur 10 tahun karena sakit panas ini bisa masuk? Parangtopo mengaku kebobolan. Bukan Eri yang datang ketika pendaftaran, tapi kakaknya. Ia baru sadar ada mahasiswanya yang cacat ketika TVRI menyorot Eri pada saat penerimaan mahasiswa baru tahun 1987. Setelah itu, Parangtopo mencoba memberi tahu orang tua Eri mengenai kemungkinan tak bisa diteruskannya kuliah dan lebih baik pindah jurusan yang memungkinkannya. Tapi, kata Parangtopo, mereka terus mengulur-ulur agar anaknya tetap di sana. Dekan FMIPA ini mengaku salah karena terlalu bertenggang rasa, hingga soal ini berlarut-larut. Kini, setelah keadaan tak memungkinkan, mereka menganjurkan agar Eri berhenti kuliah dan pindah ke jurusan lain. Sayang, Eri yang sejak SMA sudah memilih jurusan biologi mungkin kepalang suka jurusan yang sudah diikuti selama 10 semester ini. Prestasinya pun tak terlalu jelek. Indeks prestasi (IP) kumulatifnya mencapai 2,50, masih di atas IP bandrol untuk ujian akhir sarjana yang 2,20. Soal praktikum, bagi Eri, juga bukan masalah yang baru dihadapinya sekarang. Sejak semester tiga, ia sudah masuk laboratorium. Tapi, memang, ruang prakteknya masih di lantai dasar gedung biologi kampus Salemba, dengan pemakaian zat kimia tak sebanyak di semester akhir. Apalagi untuk praktek akhir ini ia harus memakai laboratorium di lantai lima kampus Depok. Untuk problem ini, keluarga Seun sudah punya jawabnya. Selama Eri kuliah, empat petugas dibayar untuk menggotongnya. Ketegangan yang semula terpendam di antara dosen dan orang tua mahasiswi ini akhirnya melibatkan para petinggi bidang pendidikan. Dimulai dari ketidakpuasan orang tua Eri, Seun, yang lalu menulis surat langsung ke Menteri Fuad Hassan, 7 April lalu. Fuad pun kontan tergerak dan esok harinya mengirim memo pada rektor UI agar menyelesaikan masalah ini sebaik-baiknya. Dirjen Pendidikan Tinggi pun mendapat memo serupa. Namun, persoalan ini tak kunjung selesai. Keluarga Eri kemudian menanyakan soal ini ke DPR. Salah seorang anggota Komisi IX, Wuryanto, lalu mengecam tindakan UI itu. Tak kurang Menteri Negara PAN Sarwono Kusumaatmadja menyebut pimpinan UI berpikiran pendek, tak melihat pertimbangan manusiawi. Mungkin karena jengkel, Parangtopo kemudian membeberkan sederet kesalahan Eri yang entah mengapa tidak dari dulu di tindak. Misalnya, lima mata kuliah yang sudah diikutinya bernilai D, padahal batas untuk tak di-drop-out hanya dua. Lalu, sudah dua semester Eri tak membayar SPP, yang artinya ia sudah keluar. Tapi semua tuduhan itu dibantah oleh Nyonya Seun. Ia, katanya, terus membayar sampai semester sepuluh. Semester ini memang belum membayar karena tak ada izin. Soal ini masih terus menggantung. Eri tak bisa kuliah walaupun belum dikeluarkan dari jurusannya. Mungkin persoalannya tak memancing emosi berbagai pihak bila para dosen membaca saran Dirjen Pendidikan Tinggi Sukadji Ranuwihardjo, seperti dikutip Suara Karya. "Beri saja kesempatan sampai secara objektif ia tak mampu menyelesaikan studinya dan terpaksa gagal. Jadi, bukan atas dasar anggapan," katanya. Diah Purnomowati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus