Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAHLIL dan salawat badar berjemaah menutup muktamar NU ke-27, Rabu siang, 12 Desember. Lalu hujan deras pun mengguyur turun. Esoknya, tenda pinjaman dari Kodam VIII Brawijaya diangkut pergi. Dan pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, pun kembali sepi. Walau pengorganisasian muktamar agak kacau, banyak utusan pulang dengan gembira. Kembalinya NU ke pesantren menjadi lembaga sosial keagamaan, dan susunan pengurus baru rupanya bisa diterima. Syafriyansah, ketua NU wilayah Kalimantan Selatan, misalnya, menilai terpilihnya Kiai Achmad Siddiq sebagai rais am dan Abdurrahman Wahid sebagai ketua Tanfidziyah, sangat tepat. "Harapan saya, semoga PB yang baru ini tetap memperhatikan naslb dan perkembangan daerah-daerah," katanya. Sebagian utusan memang kecewa karena muktamar tidak memberi kesempatan kepada pengurus lama untuk mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Tapi mereka rupanya bisa mengerti, tldak tampllnya Kiai Ali Ma'shum dan Idham Chalid sematamata untuk tidak membongkar kembali luka lama akibat perpecahan kelompok Cipete dan Situbondo. Idham Chalid sendiri, selama muktamar tidak ikut menginap di Sukorejo. Ia tinggai di Hotel Bayangkara, Pasir Putih, sekitar 50 km dari pesantren Sukorejo. Jumat malam 7 Desember, sebelum muktamar dimulai, ia ikut hadir pada pertemuan PB NU dengan Syuriyah wilayah. Ia juga hadir pada acara pembukaan, dan ikut menyambut kedatangan Presiden Soeharto. Walau Idham tidak muncul, nyata sekali bahwa pengaruhnya masih sangat kuat. Itu terlihat menjelang pemilihan ahlul halli al aqdi. Ternyata, 14 dari 27 wilayah NU mendukung Idham Chalid sebagai ulama yang akan menunjuk enam anggota ahlul halli wal aqdi tersebut. Perpecahan bisa dihindari setelah Idham Chalid mengirim surat kepada para peserta muktamar: Idham meminta kepada muktamirin agar menunjuk Kiai As'ad Syamsul Arifin sebagai ahlul halli wal aqdi. Ia juga minta maaf tidak bisa hadir dalam sidang karena sakit. Maka, pemilihan formatir pun lancar. Dari 25 wilayah yang hadir hari itu, 24 mendukung As'ad. Maka, ketika pimpinan sidang, Kiai Masjkur, menawarkan kepada sidang "Bagaimana kalau Kiai As'ad kita pilih sebagai ahlul halli 7al aqdi?" hadirin pun berteriak "Setuju". Kiai As'ad dipersilakan naik ke panggung."Saya ini sudah tua, 87 tahun. Mata ini sudah kabur, pendengaran juga sudah berkurang. Gigi saya ini pun sudah habis dan belum ada gantinya," katanya disambut tawa hadirin. "Ya, begini inilah keadaan orang yang sampeyan pilih, orang yang sampeyan percaya. Sampeyan sudah setuju?" tanya As'ad. "Setuju", sambut hadirin. As'ad lalu memilih enam pembantu, dan mengajak mereka berembuk selama sekitar 25 menit di kantor pesantren. Menurut salah seorang yang ikut hadir dalam pertemuan tertutup itu, rapat dibuka As'ad dengan AlEatihah. Kemudian Kiai As'ad mengusulkan nama-nama yang rupanya sudah disiapkan nya. Tanpa bertele-tele, para kiai lain menerimanya secara bulat. "Alhamdulillah," kata As'ad, lalu menutup pertemuan dengan AlFatihah. Kiai As'ad pun kembali ke panggung. "Mudah-mudahan yang terpilih ini diberi hidayah dan kekuatan oleh Allah. Dan saudara-saudara saya mohon menerimanya dengan dada lapang dan ikhlas," katanya. Dalam Majelis Istisyari tercantum nama Kiai As'ad, Ali Ma'shum, Masjkur, Saifuddin Zuhri, Machrus Ali, Anwar Musaddad, Moenasir, Idham Chalid, dan Imron Rosyadi. Untuk Syuriyah, Achmad Siddiq menjabat rais am, dan Radli Saleh sebagai wakil. Para rais lainnya: Nadjib Abdul Wahab, Yusuf Hasjim, Tolchah Mansoer, Ali Yafie, dan Sahal Mahfudz. Sedangkan katib am dijabat Hamid Widjaja. Tanfidziyah: Abdurrahman Wahid (Ketua), Wakil Ketua: Mahbub Djunaidi, Fahmi Dja'far, Hasyim Latief, Saiful Mudjab, Syah Manaf, dan Romas Djajaseputra. Sekjen: Anwar Nurris dengan wakil Asnawi Latief dan Ahmad Bagja. Bendahara: Sjaichul Islam Masjdar dan Said Budairi. Cukup banyak yang kaget dengan komposisi ini. Abdurrahman Wahid sendiri sampai berdiri dari tempat dudknya, tatkala nama Anwar Nurris - kemenakan Kiai As'ad - disebut sebagai sekjen. Menurut suatu sumber, komposisi yang diumumkan tersebut cukup banyak berbeda dengan "konsep" hasil rembukan antara Abdurrahman Wahid (mewakili kelompok Situbondo) dan Idham Chalid (Cipete). Konon, sebagai "imbalan" dimasukkannya sejumlah orang dekatnyalah yang menyebabkan Idham Chalid jauh hari sebelumnya bersedia membuat surat pada pimpinan wilayah agar menunjuk Kiai As'ad sebagai ahlul halli wal aqdi. Namun, Abdurrahman tidak berdaya, karena komposisi baru itu konon dirancang Kiai As'ad sendiri, bersama Kiai Masjkur dan Machrus Ali. Abdurrahman Wahid mengakui, susunan pengurus PB NU yang baru ini "jauh di bawah yang diduga sebelumnya". Tampaknya ia agak kecewa. "Tugas NU berat. NU harus mampu mengadakan modernisasi tuntas umat Islam. Harus mampu mengatasi dampak negatif untuk berfungsi integratif ke hadapan bangsa," katanya. Tugas itu tambah berat karena pengurus yang baru dianggapnya tidak mendukung untuk tugas itu. "Dalam pengurus baru ini terlalu banyak fragmen-fragmen. Tidak ada kelompok inti. Terlalu banyak pihak dan sangat heterogen," katanya. Sepintas lalu, dilihatnya "terlalu hanyak titipan individual yang masuk". Rencana pertama Abdurrahman Wahid adalah membentuk semacam badan otonom yang memegang kendali kegiatan. "Misalnya untuk pendidikan diserahkan kepada Ma'arif NU. Untuk pertanian, akan dibuat sebuah badan khusus yang mungkin sekali akan dipegang Imam Churmen, karena ia ahlinya dalam bidang itu. Pokoknya, akan dipilih orang-orang yang benar-benar mampu menggarap, bukan sekadar gombal-gombal yang bisa 'ngomong tok," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo