Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAGI hari, sekitar pukul 06.00, 30 November lalu, kesibukan di rumah di Jalan Ronggolawe, Surabaya, itu berlangsung seperti biasa. Mendadak tiga jip berhenti, lalu segerombolan orang berpakaian slpll dengan pistol di tangan menyerbu masuk. Seisi rumah geger dan panik. Rombongan itu ternyata petugas, yang langsung menyergap seorang pria yang sedang mencuci pakaian. Tuan rumah, Zulkifli, 49, ikut juga diangkut "Dari tetangga, barulah saya tahu yang ditangkap Tashrif, yang mengebom kantor BCA. Yang kami tahu, dia bernama Pak Amat. Demi Tuhan, yang saya tahu Pak Amat itu warga Haruku yang mau pulang kampung," cerita Ny. Zulkifli kepada TEMPO. Haruku adalah sebuah pulau di dekat Ambon. Zulkifli berasal dari Haruku. "Rumah ini memang semacam terminal bagi warga se-Ambon," cerita Ny. Zulkifli. Maka, tatkala pertengahan November "Pak Amat", yang mengaku warga Haruku, ini minta izin menumpang, diterima baik. Mohammad Tashrif, 48, dituduh pemerintah sebagai pelaku utama peledakan di Jakarta 4 Oktober lalu, yang menewaskan dua orang dan melukai belasan lainnya. Para tersangka pelaku semua telah tertangkap. Yang terakhir Eddy Ramli, 43, tertangkap di Lebak, Banten, 13 November lalu. Tak banyak yang diketahui tentang Tashrif. Anak pertama dari enam bersaudara putra Haji Abdul Wahid ini berasal dari Ambon. Pada pertengahan 1960-an, tatkala menghadiri pembukaan PTDI (Pendidikan Tinggi Dakwah Islam) cabang Tasikmalaya, ia bertemu dengan Hayati. Beberapa bulan kemudian mereka menikah, dan kini mempunyai tujuh anak. Ada yang menyebut Tashrif bekas anggota DI/TII. Ia diketahui pernah terlibat dalam Gerakan 20 Maret 1978 yang dianggap mengacau Sidang Umum MPR, bersama Abdul Qadir Djaelani dan Rachmat Basoeki. Pria tinggi besar dan berewokan itu menjelang Pemilu 1982 mulai giat dalam Gerakan Pemuda Ka'bah (GPK). Ia kemudian dikenal sebagai ustad yang mengajarkan agama Islam dari rumah ke rumah, dan memberikan pengajian di masjid Al Falah, Rawasari, dan masjid di Kramat Raya 45, Jakarta. Sejumlah pelaku peledakan serta saksi mengungkapkan bahwa bom yang meledak di kantor BCA dan pertokoan Jembatan Metro, Glodok, mereka terima dari Tashrif. Belum jelas apakah bom itu dirakit sendiri oleh Tashrif. Tertangkapnya Tashrif, yang dianggap pencetus rencana peledakan BCA, diharapkan bisa tuntas mengungkap perkara peledakan tersebut. Namun, jadwal penyidangan perkara peledakan BCA tersebut tertunda. "Mestinya bisa disidangkan Desember, tapi tertangkapnya Tashrif menyebabkan semua berkas harus dirombak," kata suatu sumber di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Ancarancar sidang: Januari tahun depan. Tashrif kini ditahan di rumah tahanan negara Salemba, bersama antara lain Rachmat Basoeki, Sanusi, dan H.R. Dharsono. Tiga hari setelah Peristiwa Tanjung Priok pada 16 September, datanglah Tashrif ke rumah Rachmat Basoeki di daerah Cikini, Jakarta Pusat. Tashrif mengusulkan untuk meledakkan beberapa tempat di Jakarta, yaitu depot Pertamina di Plumpang, kantor Perumtel, dan Perusahaan Air Minum, untuk "membalas dendam" karena jatuhnya korban pada Peristiwa Tanjung Priok. Rachmat Basoeki menolak, karena semua bangunan itu milik rakyat. Diusulkannya sasaran lain: menghantam "milik Cina". Yang dipilih kantor BCA, yang sebagian sahamnya dimiliki pengusaha terkemuka Liem Sioe Liong. Lantas ia memberikan alamat sembilan kantor BCA di Jakarta berikut nomor teleponnya kepada Tashrif, dengan maksud setelah bom dipasang, kantor BCA ditelepon, hingga tidak menimbulkan korban jiwa. Tashrif menuturkan kepada Rachmat, ada sekelompok orang yang mau melakukan peledakan, dan ia meminta uang Rp 1 juta. Rachmat menyerahkan uang tersebut, Rp 500 ribu dari kantungnya sendiri, dan sisanya Juga uangnya sendiri, tapi diperolehnya dari Sanusi untuk membeli Vespa. Tapi Sanusi membantah. Ia memang telah lama mengenal Rachmat Basoeki, yang menjadi bendahara Badan Pembela Masjid alAqsa yang dipimpinnya. Sanusi mengaku cuma memberikan uang Rp 75 ribu dan Rp 45 ribu kepada Rachmat. Selain untuk membantu ekonomi Rachmat yang suram, juga untuk membiayai "proyek riset mencari kebenaran Peristiwa Tanjung Priok", karena banyaknya desas-desus yang berbeda-beda tentang jumlah korban yang tewas. Menurut Kejaksaan Agung, rencana pengeboman BCA itu juga dibicarakan dalam rapat gelap di rumah A.M. Fatwa, 18 September, yang juga dihadiri oleh Tashrif, Rachmat Basoeki, dan H.R. Dharsono. Rapat membicarakan pula rencana teror mental melalui telepon dan aksi turun ke jalan. Kehadiran H.R. Dharsono, yang datang atas undangan Fatwa, rupanya mendorong semangat para perencana pengeboman itu. Menurut suatu sumber, sekalipun dalam rapat tersebut dibicarakan rencana peledakan dan aksi antipemerintah lainnya, Dharsono "tidak mencoba meredakan suhu". "Padahal, diam bisa diartikan setuju. Dan sekalipun ia tahu ada rencana pengeboman, ia tidak melapor," kata sebuah sumber. Karena alasan itulah Dharsono ditahan Laksusda Jaya pada 8 November lalu. Namun sebuah sumber menjelaskan, "rapat gelap" 18 September itu sebetulnya diselenggarakan di musala Saiful Ulum, yang terletak bersebelahan dengan rumah Fatwa di Kramat Pulo Gundul, Jakarta Pusat. Malam itu Dharsono diundang untuk memberikan ceramah. Tashrif kemudian ternyata merekrut sejumlah kenalannya, kebanyakan anggota GPK, antara lain Eddy Ramli, untuk melaksanakan pengeboman. Pada 4 Oktober berangkatlah para tersangka pelaku itu: Tashrif, Eddy Ramli, dan Yunus menuju sasaran yang telah ditentukan. Eddy Ramli memasang sendiri bom itu di kantor BCA Jalan Gajah Mada, sedangkan Yunus berhasil menitipkan bom dalam tas pada suatu toko di pertokoan Metro, Glodok. Tashrif, yang mencangking sebuah bom, kabarnya bertemu dengan Jayadi, mahasiswa PTDI, di dekat Patung Pak Tani, Menteng. Belum jelas pertemuan itu direncanakan atau tidak. Tashrif kemudian menyerahkan bom kepadaJayadi, yang dengan taksi menuju kantor BCA di Pecenongan. Ketiga bom meledak. Cuma, bom yang dipasang Jayadi meledak begitu timer-nya disetel. Akibatnya, Jayadi sendiri menjadi korban, dan hingga kini masih dirawat di rumah sakit. Kembali ke rumahnya siang 4 Oktober itu Tashrif bersikap biasa. "Sorenya Ayah malah sempat membaca Sinar Harapan yang memberitakan peledakan bom," cerita Ade, anak kedua Tashrif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo