Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Puluhan Peraturan Zonasi Wilayah Pesisir Dipersoalkan

Reklamasi dan penambangan di kawasan pesisir menyebabkan banjir dan tanah longsor di 12 ribu desa pesisir.

24 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Nelayan yang tergabung dalam Nelayan Tradisional Teluk Jakarta dan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta melakukan unjuk rasa di depan gedung DPRD

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Puluhan peraturan daerah mengenai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) dianggap bermasalah. Penyusunan aturan tersebut disinyalir tidak melibatkan masyarakat nelayan dan kepulauan kecil sehingga porsi kawasan yang dialokasikan untuk kepentingan mereka sangat kecil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Peraturan daerah itu memberi porsi besar kepada kepentingan industri, infrastruktur, bahkan pertambangan. Sedangkan nelayan kecil justru diabaikan," ujar Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati, Kamis lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mengamanatkan semua pemerintah daerah menyusun Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Saat ini, sebanyak 21 provinsi telah mengesahkan peraturan daerah mengenai rencana zonasi tersebut.

Menurut Susan, isi rencana zonasi wilayah pesisir yang disahkan sejumlah daerah itu justru meminggirkan masyarakat pesisir, bahkan berpotensi merusak lingkungan. Pemerintah daerah memberi porsi kawasan yang terlalu besar untuk industri dan pertambangan.

Di Provinsi Lampung, misalnya. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Lampung Tahun 2018-2038 mengalokasikan 23.911 hektare atau 58 persen kawasan pesisir dan kepulauan sebagai zona wisata alam bentang laut. Selain itu, 12.585 hektare dan 2.549 hektare dialokasikan untuk zona pertambangan dan industri. "Sedangkan permukiman nelayan hanya dialokasikan 11,66 hektare (0,03 persen) saja," ujar Susan.

Begitu pula dengan Provinsi Kalimantan Selatan. Peraturan daerah mengenai rencana zonasi wilayah pesisir di provinsi itu hanya mengalokasikan 37 hektare (0,1 persen) untuk zona permukiman nelayan. Sebaliknya, zona pertambangan mendapat alokasi 100.086 hektare, zona kawasan latihan militer 187.946 hektare, dan zona kawasan pelabuhan 188.495 hektare.

Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di Kalimantan Utara. Zona pertambangan dan pelabuhan masing-masing mendapat alokasi 8.909 hektare dan 36.049 hektare. Sedangkan zona permukiman nelayan hanya 106 hektare.

"Kajian kami membuktikan bahwa penataan ruang laut melalui peraturan daerah tentang zonasi ini tidak diperuntukkan untuk masa depan kehidupan nelayan dan ekosistem pesisir serta laut. Sebaliknya diperuntukkan bagi komersialisasi sumber daya pesisir," kata Susan.

Peraturan daerah tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan proyek reklamasi pantai untuk pusat bisnis dan permukiman elite bakal makin marak. Kiara mencatat, pada 2018 terdapat 42 lokasi reklamasi yang menyebabkan lebih dari 700 ribu keluarga nelayan terusir. Reklamasi juga memicu maraknya penambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Pada tahun yang sama, Kiara mencatat 1.890 izin usaha pertambangan di kawasan pesisir terbit. Masifnya penambangan di pesisir telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang luar biasa, yakni sebanyak 12 ribu desa pesisir mengalamin tanah longsor dan banjir.

Senior Advisor Indonesian Human Rights Committee for Social Justice, Gunawan, mengatakan penyusunan peraturan daerah mengenai rencana zonasi kawasan pesisir seharusnya memperhatikan isi keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010. Keputusan Mahkamah yang membatalkan 14 pasal dalam Undang-UndangNomor 27 Tahun 2007 yang berkaitan dengan hak penguasaan perairan pesisir itu memandatkan perlindungan terhadap hak masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Dari hak mereka untuk melintas dan mengakses laut, hak mendapat perairan yang bersih dan sehat, hak mendapat manfaat dari sumber daya kelautan dan perikanan, hingga hak mempraktikkan adat istiadat dalam mengelola laut yang telah dilakukan secara turun-temurun.

"Bila peraturan daerah tersebut ternyata justru melanggar hak masyarakat pesisir dan nelayan, aturan itu bisa digugat," ujar Gunawan, yang juga anggota Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria Kantor Staf Presiden RI.

Adapun Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim, Muhamad Karim, meminta 13 pemerintah daerah lain yang sedang membahas peraturan daerah tentang rencana zonasi daerah pesisir melibatkan masyarakat dan nelayan dalam pembahasan peraturan tersebut. "Pemerintah harus memastikan peraturan tentang zonasi ini menjamin keberlanjutan sumber mata pencaharian hidup masyarakat pesisir sekaligus mencegah dan mengendalikan degradasi sumber alam," ujarnya.

AGUNG SEDAYU

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus