Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ahli Hukum: KPK Tak Akan Berani Ambil Alih Kasus

Peraturan Presiden tentang supervisi dinilai tak akan dijalankan KPK secara optimal.

2 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua KPK, Firli Bahuri saat mengumumkandua orang tersangka di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 12 Juni 2020. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pegiat antikorupsi dan ahli hukum acara pidana memprediksi para pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi tidak cukup memiliki taji untuk menjalankan supervisi.

  • Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 tersebut pada 20 Oktober lalu.

  • Posisi Ketua KPK Firli Bahuri yang masih polisi aktif sangat mempengaruhi efektivitas pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Pegiat antikorupsi dan ahli hukum acara pidana memprediksi para pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi tidak cukup memiliki taji untuk menjalankan supervisi. Pakar hukum pidana  dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, misalnya, menyatakan pemimpin KPK tak akan memiliki keberanian menjalankan aturan supervisi secara optimal akibat konflik kepentingan dengan lembaga penegak hukum lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Fickar, posisi Ketua KPK Firli Bahuri yang masih polisi aktif sangat mempengaruhi efektivitas pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Supervisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Fickar mengatakan Firli memiliki loyalitas ganda, antara institusi asal dia di Kepolisian RI dan jabatan sebagai ketua lembaga antirasuah.

Menurut Fickar, Firli berpotensi tidak akan mengambil kasus-kasus korupsi yang ditangani kepolisian yang hingga kini masih mandek. Firli, kata dia, memiliki konflik kepentingan. “Padahal KPK seharusnya melakukan supervisi dan mengambil alih secara independen jika menemukan kasus yang mandek,” kata dia kepada Tempo, kemarin.

Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden Nomor 102 Tahun 2020 tersebut pada 20 Oktober lalu. Peraturan itu dibuat sebagai aturan teknis KPK untuk melakukan fungsi supervisi terhadap penegakan tindak pidana korupsi di kejaksaan dan kepolisian. KPK memiliki kewenangan koordinasi, supervisi, monitoring, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di pengadilan.

Secara prinsip, Fickar menganggap aturan ini bakal memperkuat kewenangan KPK dalam mengintervensi penegakan hukum di lembaga lain. Apalagi lembaga antirasuah berwenang mengambil alih kasus secara penuh. Artinya, aturan tersebut merupakan turunan dari amanat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Masalahnya, ia ragu akan kesungguhan komisioner KPK saat ini dalam mengimplementasikan aturan itu. Apalagi secara prinsip, KPK sudah bukan lagi lembaga independen atau telah berada di bawah eksekutif sama seperti kejaksaan dan kepolisian. "KPK sudah di bawah kewenangan eksekutif atau secara yuridis di bawah presiden, dan ini punya konsekuensi tidak seindependen dibandingkan dengan KPK lama,” kata Fickar.

Pelaksana tugas juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, Ali Fikri, menyatakan pimpinan KPK justru akan semakin intensif melakukan supervisi sesuai dengan amanat undang-undang dan peraturan presiden tersebut. "Tentu akan dilakukan (supervisi) dengan mengikuti ketentuan teknisnya. Ada di perpres tersebut," kata Ali, kemarin.

Menurut dia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 memberi tugas pokok bagi KPK untuk melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi, yakni kejaksaan dan kepolisian. Ali mengatakan KPK justru menyambut baik penerbitan peraturan teknis yang merinci tentang kewenangan supervisi tersebut. "KPK berharap, ke depan, koordinasi dan supervisi dengan aparat penegak hukum yang lainnya semakin kuat dan bersinergi bersama-sama dalam memberantas korupsi,” kata dia.

Peraturan presiden itu secara jelas mengatur kewenangan KPK dalam melakukan supervisi. Bahkan ada beberapa poin yang lebih detail secara teknis dibanding Undang-Undang KPK. Salah satu di antaranya mengenai mekanisme gelar perkara kasus yang ditangani penegak hukum yang lain bersama KPK. Meski begitu, semua ketentuan tidak ada yang bertentangan dengan Undang-Undang KPK.

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, menyatakan KPK sejak dulu memang membutuhkan peraturan tersebut untuk memperkuat kewenangan lembaga antirasuah dalam melakukan supervisi. Ini menjadi cikal-bakal agar KPK menangani kasus-kasus besar yang dicurigai tak diungkap secara tuntas. "Dengan adanya aturan ini, KPK berwenang mengambil alih kasus korupsi Jaksa Pinangki Sirna Malasari," ucap dia.

Menurut Kurnia, selama ini KPK tidak berani mengambil alih kasus suap yang melibatkan Jaksa Pinangki dalam skandal upaya pembebasan terpidana Joko Soegiarto Tjandra. KPK hanya dilibatkan dalam gelar perkara, tapi tidak mengambil alih kasus. Padahal, kata dia, hal itu dimungkinkan dalam undang-undang ketika ada upaya melindungi kejahatan dalam penanganan kasus.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Nawawi Pomolango mengatakan ia telah lama menantikan penerbitan peraturan presiden itu. Menurut dia, KPK bakal mengedepankan langkah supervisi. "Jadi, kami masih mengedepankan supervisi. Ambil alih kasus akan menjadi pertimbangan terakhir," ucap Nawawi.

ANDITA RAHMA | AVIT HIDAYAT


20

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus