Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tepat hari ini, 72 tahun silam, 1 Maret 1949 pasukan Indonesia yang terdiri dari militer dan rakyat sipil melakukan serangan ke Yogyakarta yang diduduki Belanda. Serangan ini merupakan pembuktian di mata internasional bahwa Indonesia masih ada. Lalu, seperti apa rencana pasukan TNI Indonesia dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, untuk membalikkan propaganda Belanda yang menyebut Indonesia sudah musnah?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Belanda belum mengakui kedaulatan negara bekas jajahan mereka ini. Belanda masih berupaya menguasai Indonesia dengan melakukan upaya Agresi Militer hingga dua kali. Agresi militer pertama pada 21 Juli 1947, dan agresi militer kedua pada 19 hingga 20 Desember 1948.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kurang lebih satu bulan seusai Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada Desember 1948, Tentara Nasional Indonesia mulai menyusun strategi untuk melakukan serangan balik.
Mereka secara bergerilya melakukan sabotase dengan memutuskan telepon, merusak jalan Kereta api, menyerang pasukan Belanda, serta tindakan lainnya. Hal ini membuat Belanda menjadi waspada dan mendirikan posko-posko, yang justru membuat tentara mereka menjadi terpencar.
Rapat-rapat Sebelum Serangan Umum 1 Maret 1949
Pada 18 Februari 1949, Jenderal Soedirman mengadakan rapat Pimpinan Tertinggi Militer dan Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Kol. Bambang Sugeng, Letkol Wiliater Hutagalung, dan Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini Martodiharjo, hadir juga Gubernur Sipil Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, serta Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking, dan Bupati Sangidi.
Dalam rapat tersebut dibahas tentang strategi penyerangan pendudukan Belanda di Yogyakarta untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada. Untuk itu, perlu direncanakan pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Strateginya adalah akan dicari sejumlah pemuda berbadan tinggi dan tegap, lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis dan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi.
Sebelum peristiwa penyerangan, pemuda yang menyamar sebagai perwira TNI ini harus siap berada di dalam kota. Bukan untuk berperang, keberadaan mereka dimaksudkan untuk menunjukkan diri kepada wartawan-wartawan asing bahwa TNI masih ada. Oleh karena itu mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut.
Selain menunjukkan kepada wartawan asing bahwa TNI masih ada, strategi lainnya adalah dunia harus mengetahui adanya serangan yang dilakukan tentara Indonesia terhadap Belanda yang menduduki Yogyakarta. Untuk itu, dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional, Kol. T.B. Simatupang yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, Desa Banjarsari, menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan setelah serangan dilancarkan.
Setelah memperkirakan kemungkinan Belanda akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah setelah mendapat serangan, yang diperkirakan bantuan akan datang dalam kurun waktu 6 sampai 7 jam, kemudian disepakati pendudukan hanya berlangsung selama 6 jam.
Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga bantuan Belanda dari kota lain dapat dihambat, atau paling tidak dapat diperlambat.
Kemudian, pimpinan pemerintahan sipil ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Saat bergerilya, para pejuang harus selalu pindah tempat, sehingga sangat bergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan.
Selama perang gerilya, Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan dan memasok perbekalan bagi para gerilyawan tersebut. Sementara untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada Palang Merah Indonesia (PMI).
Setelah semua persiapan matang, baru kemudian keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari, bahwa serangan akan dilancarkan pada 1 Maret 1949, pukul 06.00 pagi. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait. Puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.