Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Khairul Fahmi tak terkejut atas langkah pemerintahan Presiden Joko Widodo yang ingin memuluskan penempatan prajurit TNI-Polri aktif di jabatan sipil lewat peraturan pemerintah. Dalam catatan co-founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) itu, pemerintahan Jokowi sudah berulang kali menempatkan anggota TNI-Polri aktif di jabatan sipil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengamat militer ini mencontohkan pengangkatan Brigadir Jenderal TNI Ario Prawiseso sebagai Staf Khusus Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Bidang Pengamanan Destinasi Wisata dan Isu-isu Strategis. Khairul menilai jabatan staf khusus itu sama sekali tidak berhubungan dengan kompetensi Ario di militer. “Itu jelas tak ada hubungannya,” kata Khairul, Jumat, 15 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan, pada era pemerintahan Jokowi, banyak prajurit TNI aktif yang justru ditempatkan di kementerian dan lembaga yang tak memiliki fungsi pertahanan. Di samping Ario di Kementerian Pariwisata, ada Laksamana Muda Adin Nurwaluddin yang menjabat Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Adin menjabat di Kementerian Kelautan sejak 2021.
Khairul menilai penempatan prajurit aktif di kementerian tersebut bertentangan dengan Undang-Undang TNI. Pasal 47 ayat 2 UU TNI mengatur bahwa prajurit TNI aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional, dewan pertahanan nasional, search and rescue (SAR) nasional, narkotika nasional, serta Mahkamah Agung. Semua lembaga ini, kata Khairul, masih memiliki fungsi pertahanan yang relevan dengan fungsi TNI.
“Kalau mau, seharusnya mereka pensiun dulu,” kata Khairul.
Ia melanjutkan, selain prajurit TNI aktif, banyak anggota Polri aktif yang menduduki jabatan sipil. Padahal posisi mereka di jabatan sipil itu di luar fungsi Polri untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum.
Khairul Fahmi, pengamat militer dan co-founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS). Dok. Pribadi
Khairul berpendapat, meski Polri termasuk kategori lembaga sipil, mereka tidak otomatis dapat menduduki semua jabatan sipil di luar kepolisian. Pasal 28 ayat 3 UU Kepolisian RI mengatur bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Khairul menjelaskan, sesungguhnya banyak juga anggota TNI-Polri aktif yang menduduki jabatan sipil pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014). Tapi pemerintahan SBY membuat mekanisme jelas yang wajib diikuti, yaitu seorang prajurit aktif yang pindah ke kementerian lain wajib pensiun atau beralih status menjadi aparatur sipil negara.
“Contohnya Achmad Yurianto. Ketika pindah ke Kementerian Kesehatan, ia alih status menjadi pegawai negeri,” katanya.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat setidaknya 10 perwira menengah dan tinggi TNI merangkap di jabatan sipil pada 2018. Lalu Setara Institute mencatat Kementerian Badan Usaha Milik Negara mengangkat dua prajurit TNI aktif dan tiga perwira Polri aktif menjadi komisaris BUMN pada 2020.
Staf Khusus III Menteri BUMN Arya Mahendra Sinulingga mengakui terdapat 22 anggota aktif TNI-Polri yang menjabat komisaris di perusahaan pelat merah pada 2020.
Pada era pemerintahan Jokowi, sejumlah prajurit TNI-Polri aktif juga diangkat menjadi penjabat kepala daerah. Misalnya Kementerian Dalam Negeri mengangkat Komisaris Jenderal Mochamad Iriawan menjadi penjabat Gubernur Jawa Barat pada 2018.
Kementerian Dalam Negeri juga mengangkat Komisaris Jenderal Paulus Waterpauw menjadi penjabat Gubernur Papua Barat pada 2022. Pada saat yang sama, Kementerian mengangkat Brigadir Jenderal TNI Andi Chandra As’aduddin menjadi penjabat Bupati Seram Bagian Barat, Maluku.
Atas laporan masyarakat sipil, Ombudsman RI menelusuri pengangkatan perwira TNI-Polri aktif itu menjadi penjabat kepala daerah. Ombudsman menyimpulkan bahwa terdapat maladministrasi dalam pengangkatan prajurit aktif itu menjadi penjabat kepala daerah.
Upaya melebarkan ruang lingkup jabatan sipil yang dapat ditempati perwira TNI-Polri aktif sesungguhnya gencar dilakukan pada era pemerintahan Jokowi. Misalnya, dalam draf usulan revisi UU TNI yang disusun pemerintah pada 2023, ada keinginan untuk mengubah ketentuan Pasal 47 ayat 2 UU TNI. Mereka hendak menambah jumlah lembaga dan kementerian yang dapat ditempati anggota TNI aktif. Di antaranya Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Staf Kepresidenan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, serta Kejaksaan Agung. Tapi rencana itu mendapat penolakan berbagai kalangan.
Baca juga:
Pada saat yang sama, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat justru merevisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. Pasal 19 UU ASN terbaru dengan gamblang membolehkan jabatan ASN tertentu diisi oleh prajurit TNI ataupun anggota Polri. Undang-undang ini juga mengatur mekanisme pengisian jabatan tertentu itu lewat peraturan pemerintah. Saat ini pemerintah tengah menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen ASN, yang isinya mengatur penempatan anggota TNI-Polri aktif di jabatan sipil.
Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto Putra mengatakan keberadaan UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN itu justru menghidupkan kembali dwifungsi ABRI/TNI. Imparsial dan sejumlah lembaga masyarakat sipil sempat menentang revisi UU ASN tersebut, tapi pemerintah dan DPR bergeming.
“Proses perumusan UU ASN tersebut cepat dan tidak melibatkan partisipasi publik,” kata Ardi.
Ia berpendapat, langkah pemerintah menggodok rancangan peraturan pemerintah yang mengatur penempatan prajurit TNI di jabatan sipil merupakan bentuk kemunduran terhadap reformasi.
Ardi menilai selama ini pemerintahan Jokowi berusaha membangun kekuatan politik dengan menggandeng TNI dan Polri. Kedua institusi itu diduga kuat ditugaskan untuk mengamankan seluruh agenda Jokowi. Dugaan itu tergambar dalam pemilihan presiden 2024.
“Sebagai contoh, Jokowi menugasi TNI-Polri mengatasi residu politik pasca-Pemilu 2024, yang sebetulnya bukan tugas mereka,” ujar Ardi.
Bambang Rukminto. ANTARA
Pengamat kepolisian dari ISESS, Bambang Rukminto, menduga tujuan penempatan sejumlah anggota Polri dan TNI aktif di jabatan sipil adalah demi kepentingan politik pragmatis. Sebab, kedua institusi itu memiliki infrastruktur lengkap dan kewenangan besar.
“Menarik mereka dalam birokrasi sipil salah satunya adalah praktik bagi-bagi kekuasaan,” kata Bambang.
Peneliti Kontras, Rozy Brilian Sodik, mengatakan ada fenomena bottleneck atau leher botol—ketidakmampuan dalam mengelola sumber daya—di kalangan perwira menengah TNI-Polri. Karena itu, kedua lembaga tersebut mengambil jalan pintas untuk menempatkan prajurit aktif di jabatan sipil. “Ini menjadi pola yang terus berulang di semua kepemimpinan Panglima TNI,” kata Rozy.
Rozy menilai penempatan TNI-Polri aktif di jabatan sipil juga berhubungan dengan pengamanan investasi. Jadi pemerintah cenderung mengerahkan anggota TNI-Polri untuk mengamankan proyek-proyek strategis nasional.
“Contohnya keamanan obyek vital di pertambangan nikel di Pulau Obi, Halmahera Selatan,” kata Rozy. “Dampaknya, masyarakat menjadi korban. Ruang hidup mereka dirampas.”
Rozy Brilian Sodik, Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Dok. Pribadi
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho belum merespons permintaan konfirmasi Tempo soal ini. Kepala Biro Data, Komunikasi, dan Informasi Publik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Mohammad Averrouce juga belum mengirim jawaban konfirmasi yang ia janjikan.
Adapun Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengatakan selama ini TNI sudah terlibat dalam sejumlah program pemerintah, seperti penanganan stunting, ketahanan pangan, dan penanggulangan bencana. “Dari berbagai masalah itu, ada pertanyaan ‘apakah perlu di kementerian?’,” kata Agus seusai rapat koordinasi di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, kemarin.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan TNI-Polri diperlukan dalam jabatan sipil, tapi tetap perlu dibatasi. “Tidak lagi terjadi adanya kemungkinan munculnya dwifungsi TNI atau dwifungsi ABRI seperti dulu itu, tapi hanya karena adanya kebutuhan-kebutuhan,” katanya di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, kemarin.
HENDRIK YAPUTRA | DANIEL A. FAJRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo