Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Berenang terkadang menjadi salah satu kegiatan yang dapat menimbulkan trauma bagi tunanetra, terutama yang baru pertama melakukannya. Musababnya, saat berenang, telinga yang digunakan untuk mengakses keadaan lingkungan di sekitar berada di dalam air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua National Paralympic Comittee Kota Depok, Jawa Barat, yang juga atlet renang tunanetra, Asep Widijaya mengatakan jika belum terbiasa dan sampai panik, maka tunanetra akan mengalami disorientasi saat berenang. "Orientasi arah menjadi kacau karena panik dan dapat memicu kelelahan saat berenang, meski tepi kolam sudah dekat," ujar Asep Widijaya saat diwawancara, Sabtu, 4 Juli 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebab itu, menurut dia, tunanetra kerap mengalami trauma atau fobia terhadap air. Namun bukan berarti tunanetra tidak boleh berenang. Menurut Asep Widijaya, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi trauma atau fobia air bagi tunanetra.
Pertama, terapi air yang diberikan harus berdasarkan jenis ketunanetraannya. Penyandang disabilitas netra yang mengalami ketunanetraan dari lahir memiliki konsep berbeda mengenai kolam renang dengan mereka yang kehilangan kemampuan penglihatan saat dewasa.
Ilustrasi anak berenang. Shutterstock
"Tunanetra yang belum tahu konsep kolam renang harus dibawa dulu ke kolam dangkal untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya," kata Asep Widijaya. Setelah melakukan penyesuaian selama beberapa minggu, barulah tunanetra tersebut dikenalkan dengan kolam yang lebih dalam.
Supaya tidak terkejut dengan kolam renang dalam, tunanetra kembali diajak menyesuaikan pendengaran dan kulit di dalam air. Bila sudah tidak takut dengan rendaman air setinggi dada atau leher, baru diajarkan mengambang.
Konsep pengenalan air ini berlaku bagi tunanetra dewasa. Perbedaannya, menurut Asep Widijaya, terletak pada kemampuan mengantisipasi keadaan ketika pendengaran terendam air. Bagi orang yang baru kehilangan penglihatan, berenang di kolam seperti berada di lautan. "Kolam terasa seperti tidak ada ujungnya," kata Widi.
Untuk mengantisipasi keadaan tersebut, tunanetra harus selalu ditemani pendamping ketika berenang. Setelah memahami kondisi kolam melalui kegiatan orientasi renang, fobia atau trauma air secara perlahan akan hilang.
Selain didampingi, untuk menjaga keselamatan, tunanetra sebaiknya berenang di pinggir kolam. Coba dulu berenang di sepanjang tepi kolam untuk membiasakan diri berada di dalam air sekaligus menghindari tunanetra tertabrak perenang lain.