Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sederet Fakta MK Hapus Ambang Batas Calon Presiden 20 Persen

Dua hakim menyatakan berbeda pendapat atas putusan MK yang menghapus ketentuan ambang batas pencalonan 20 persen. Salah satunya Anwar Usman.

3 Januari 2025 | 06.29 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo (tengah) dan jajarannya mendengarkan keterangan ahli saat memimpin sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 11 Desember 2024. ANTARA/Indrianto Eko Suwarso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi menghapus ketentuan presidential treshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 20 persen. Hal itu tertuang dalam Putusan MK dalam perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, yang dibacakan pada Kamis, 2 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta pada Kamis, 2 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berikut sejumlah fakta yang dirangkum Tempo menyoal putusan MK tersebut.

1. Pertimbangan Hakim MK

Ketua MK Suhartoyo mengatakan norma yang terdapat di Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Suhartoyo juga menilai aturan ambang batas 20 persen tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Hakim konstitusi yang lain, Saldi Isra menyebutkan bahwa penentuan ambang batas 20 persen untuk pencalonan presiden dan wakil presiden ini mempunyai pelanggaran di sejumlah aspek. Di antaranya melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang secara nyata bertentangan dengan UUD NRI 1945. 

Kondisi itu, ujar Saldi, menjadi alasan bagi MK untuk menggeser dari pendirian putusan sebelumnya. “Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyengkut besaran atau angka presentasi ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar Saldi.

Dia mengatakan ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ini juga bertentangan dengan beberapa pasal. Salah satunya pasal 6A ayat 2 UUD NRI 1945.

2. Seluruh Partai Politik Dapat Ajukan Calon

Penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ini membuat setiap partai politik yang ada dapat mengajukan calon tanpa harus membuat koalisi partai. Hal ini dipastikan MK dalam pembacaan putusan penghapusan ketentuan ambang batas 20 persen itu.

Saldi Isra memberi contoh pengusungan calon oleh setiap partai politik. Dia mengatakan, misalnya terdapat 30 partai politik yang mengikuti Pemilu, maka total pasangan capres maupun wapres harus terdapat 30 pasangan yang diusulkan oleh seluruh partai politik tersebut.

Selain itu, MK menyatakan pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau koalisi peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat atau perolehan suara sah secara nasional.

Artinya, setiap partai politik atau koalisi dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden tanpa harus memenuhi syarat persentase ambang batas. Menurut MK, upaya ini untuk menghilangkan dominasi partai politik.

Saldi mengungkapkan, adanya dominasi partai politik di Pemilu ini telah menyebabkan terbatasnya pengusungan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Selain itu, hal tersebut juga mengakibatkan para pemilih mengalami keterbatasan dalam memilih calon.

3. Diajukan Mahasiswa 

Permohonan gugatan untuk menghapus ketentuan presidential treshold 20 persen ini diajukan oleh empat mahasiswa dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Mereka di antaranya Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.

Ketua Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Gugun El Guyanie memastikan bahwa permohonan gugatan yang diajukan mahasiswanya tak bermuatan politis. Dia menilai, inisiatif itu datang karena mahasiswa merasa aturan soal presidential threshold memang perlu dikritisi kembali.

"Saya kira mahasiswa ini obyektif, mereka hanya bagian dari masyarakat yang berharap adanya ruang demokrasi yang terbuka luas dan tidak dikendalikan kekuatan politik tertentu. Para mahasiswa ini tidak memiliki kepentingan kekuasaan," ujarnya.

4. Dua Hakim Dissenting Opinion 

Dua hakim konstitusi, Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh menyatakan berbeda pendapat atas putusan MK yang menghapus ketentuan ambang batas pencalonan 20 persen. Hal ini diungkapkan oleh Ketua MK Suhartoyo saat pembacaan putusan.

"Terhadap putusan Mahkamah, terdapat dua hakim yang berpendapat berbeda, yaitu Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh," katanya.

Anwar Usman dan Daniel Yusmic berpendapat bahwa permohonan yang diajukan dalam perkara ini tidak memiliki kedudukan hukum. Mereka menilai semestinya permohonan tersebut tidak dapat diterima.

Kedua hakim konstitusi yang dissenting opinion itu menyatakan pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk menguji norma pasal soal Pemilu hanyalah partai politik, koalisi, serta perorangan yang punya hak dipilih untuk mencalonkan ataupun dicalonkan di Pilpres. Mereka mengungkapkan, pengkategorian tersebut telah menjadi pedoman MK dalam memutus lebih dari 30 perkara serupa, sehingga keduanya memutuskan tetap berpedoman pada kategori itu.

M. Raihan Muzzaki berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus