SUATU saat kelak, bisa jadi tak ada sejengkal tanah pun di Asia Timur yang bakal luput dari gempita investasi, termasuk di Republik Sosialis Vietnam. Negeri yang tadinya gemar mengganyang kaum kapitalis, seperti halnya Republik Rakyat Cina, ini sudah sejak beberapa tahun lalu melakukan gerakan banting setir ke kanan. Itu diperkuat dengan pernyataan Perdana Menteri Vo Van Kiet, 6 Desember lalu: "Yang paling ditakutkan oleh Vietnam adalah merosotnya pertumbuhan ekonomi." Gerakan banting setir itu cepat berbuah. Dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan investasinya mengesankan. Tahun 1993 ini diperkirakan bakal masuk 285 proyek modal asing senilai US$ 3 miliar, tumbuh hampir 60% dibandingkan dengan angka tahun sebelumnya yang US$ 1,9 miliar. Angka-angka ini mungkin masih terbilang teri. Untuk tahun 1992, misalnya, investasi asing di Indonesia mencapai US$ 10,3 miliar. Tapi perlu diingat, proses merayu investor agar datang ke Vietnam baru dimulai tujuh tahun lalu. Tahun 1986, Kongres Partai Komunis VI mencanangkan Doi Moi alias Renovasi Ekonomi, yang bertujuan melonggarkan kontrol negara terhadap ekonomi. Dan bahwa sekarang Vietnam sudah berhasil menggaet investasi US$ 3 miliar dalam setahun, ini sungguh fantastis. Bayangkan, pada tahun 1987, di era deregulasi, Indonesia hanya berhasil menarik investasi asing US$ 1,5 miliar. Prestasi gemilang Vietnam bukan jatuh dari langit. Mereka membuat undang-undang investasi, diluncurkan Desember 1987, yang dinilai paling liberal di Asia. Soal kepemilikan, misalnya, negeri Ho Chi Minh ini telah mengumbar kesempatan bagi pihak asing untuk menguasai 100% saham. Meski model ini, secara diam-diam, sebenarnya tak terlalu dianjurkan. Yang dipromosikan besar-besaran adalah pembentukan sebuah joint venture antara pemodal asing dan mitra lokal. Namun, jika investor asing tetap ragu, mereka bisa memilih sebuah kontrak bisnis dengan mitra Vietnam. Dalam kontrak semacam ini, segala persyaratan yang diinginkan bisa dengan leluasa dirundingkan. Untuk pelaksanaannya, kedua pihak tak perlu mendirikan perusahaan baru. Seluruh operasi bisnis dijalankan atas dasar kesepakatan bersama. Dalam hal pajak, pemerintah Vietnam memasang tarif yang paling murah dibandingkan dengan para tetangganya di Asia. Ada masa bebas pajak (tax holiday) antara dua dan empat tahun, terhitung saat pertama kali perusahaan mencetak laba. Setelah itu, tarif yang dikenakan antara 10% dan 25%. Untuk industri yang berorientasi ekspor, pajaknya malah hanya 5%. Di Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, maupun Cina, pajak pendapatan atas perusahaan bisa mencapai 35%. Pokoknya, "Kami selalu berusaha menciptakan peraturan yang paling menyenangkan investor," kata Nguyen Chi Zdung, Kepala Departemen Monitoring Proyek di State Committee for Cooperation and Investment (SCCI), yang fungsinya sama dengan BKPM. Sebuah kuis kecil di koran Vietnam News bisa menjadi petunjuk apa yang menjadi anutan baru negeri itu. Pertanyaannya, siapakah tiga ahli yang dianggap sebagai pilar ilmu ekonomi? Jawaban yang diberikan bukan lagi Hegel, Marx, dan Lenin, melainkan para dedengkot paham kapitalis: Adam Smith, David Ricardo, dan Thomas Robert Malthus. Vietnam yang kini menganut paham liberal itu didukung pula oleh sumber alam yang melimpah. Tak mengherankan jika investasi di sektor minyak dan gas menjadi primadona karena bisnis ini relatif masih belum tersentuh. Di sektor itu saja sudah diteken kontrak penanaman modal US$ 1,3 miliar. Salah satu perusahan Indonesia, PT Astra Petronusa, ikut menggarap satu blok bekas konsesi milik AS, Agip Oil. Perusahaan Indonesia yang lain adalah PT Prima Comexindo. Tahun depan, setelah enam tahun berdagang dengan Vietnam, per- usahaan milik Hashim Djojohadikusumo ini akan membangun pabrik pengantongan pupuk di pelabuhan Saigon, dan pabrik pengolahan teh di Provinsi Lam Dong. Ada pula kelompok Sungai Budi, milik konglomerat Widarto, yang sedang menjajaki pembangunan pabrik kantong semen di Vietnam. "Prospek bisnis di Vietnam sangat bagus," tutur Adi Saksono Sukardjo, General Chief Officer Prima Comexindo. Masa depan yang cerah ini juga didukung oleh sumber daya manusia yang murah. Negeri berpenghuni 70 juta jiwa ini menetapkan upah minimum US$ 35 per bulan, masih di bawah gaji minimum di Jakarta yang Rp 103 ribu sebulan. Memang 70 juta rakyat Vietnam masih serbamiskin. Pendapatan per kapita rakyat Vietnam saat ini diperkirakan hanya US$ 200 setahun, sepertiga dari Indonesia yang mencapai US$ 610. Namun, daya beli mereka perlahan-lahan merangkak naik. Kuncinya adalah reformasi agraria yang dimulai berbarengan dengan diluncurkannya Doi Moi. Setiap petani tanpa terkecuali mendapat tanah yang dibagi secara adil dan merata di desa mereka masing-masing. Pemerintah juga membebaskan petani menjual hasil panen ke pasar bebas. Hasilnya adalah kaum petani yang terangsang berproduksi sebanyak-banyaknya. Di pedesaan, rumah baru dari batu bata bermunculan. Gejala ini mudah dilihat karena di desa-desa Vietnam, terutama di Utara, orang mencantumkan tahun pembangunan rumahnya di atas atap. Sebagian besar rumah tampak bertahun 19901993. Hampir di setiap atap rumah, gubuk, maupun rumah batu bertengger antena televisi. "Sekarang saya jauh lebih senang," tutur Vu Van Tam, petani di luar Hanoi. Dari tiga petak sawahnya, seluas 0,15 hektare, ia memanen 800 kilo padi. Setelah dipotong pupuk, pestisida, dan sebagainya, 650 ribu dong atau sekitar Rp 130 ribu bisa dikantongi Tam dalam satu musim panen. Kelihatannya memang kecil, tapi itu pendapatan bersih. Tam juga memelihara beberapa puluh ekor ayam dan beberapa ekor babi. Lagi pula, taraf harga di Vietnam jauh di bawah Indonesia. Untuk sekali makan siang memakai telur dan daging, hanya perlu 600 perak di Hanoi. Kondisi ini bertolak belakang dengan masa sebelum 1987, yang masih menganut sistem pertanian kolektif, yang serba-diatur oleh pemerintah. Betapa tinggi produktivitas kaum petani juga terlihat dari total produksi beras yang mencapai 24,5 juta ton untuk tahun 1993. Indonesia, yang sistem irigasinya jauh lebih maju dan dengan intensifikasi pupuk, untuk musim tanam 19921993 diperhitungkan baru menghasilkan 30,7 juta ton. Padahal, di Vietnam, cerita tentang petani yang masih miskin modal sehingga tak bisa membeli pupuk masih sering terdengar. Seperti Giao, yang bertani di dekat Ho Chi Minh City. Sawah empat hektare miliknya hanya menghasilkan padi 6 ton. "Saya tak mau utang untuk membeli pupuk," katanya. Surplus di sektor pertanian ini akhirnya berperan sebagai motor penggerak ekonomi. Karena petani punya cukup uang, daya beli mereka mengatrol permintaan. Pasar di Ho Chi Minh City maupun di Hanoi ramai menjual aneka macam barang: dari pakaian, televisi, sepeda motor mutakhir Jepang, barang elektronik, sampai boneka. Ada barangkali puluhan ribu pengusaha kelas gurem muncul membuka kios rokok, biskuit, beras, dan barang kelontong di muka rumah masing-masing. Tak mengherankan jika para pakar menaksir, dalam kurun 19911993, ekonomi Vietnam akan tumbuh rata-rata 7,2% setahun. Kondisi yang menguntungkan ini juga diimbangi dengan manajemen makro-ekonomi yang cukup baik. Bagi investor, tak ada hal yang lebih indah untuk melakukan investasi selain harga- harga yang stabil dan nilai tukar yang terpercaya. Vietnam ter- nyata berhasil menciptakan kondisi ideal ini dengan laju inflasi yang terkendali. Sementara pada tahun 1986 inflasi meroket hingga 587% mirip dengan kondisi Indonesia 27 tahun silam dari Januari hingga November 1993 inflasi mampu mereka pencet hingga 4% saja. Hasilnya, kurs dong juga menjadi stabil. Pasar gelap, yang biasanya subur di negara komunis, menjadi tak berarti. Bahkan, dolar Amerika dan dong digunakan secara bersama-sama. Hampir setiap rekening mencantumkan nilai dong dan ekuivalennya dalam dolar. Mulai kios kecil hingga hotel berbintang mau menerima dong dengan variasi yang tak berbeda jauh, satu dolar untuk 10.800 dong. Tapi harap orang tidak salah paham dan menganggap Vietnam sekarang bak surga bagi investor. Masih banyak jalan yang rusak. Fasilitas pelabuhan juga kurang. Hanya dua pelabuhan, Ho Chi Minh City dan Haiphong, yang memiliki fasilitas untuk menangani peti kemas. Itu pun dengan kapasitas yang amat terbatas. Di Haiphong, yang melayani wilayah Utara karena dekat dengan Hanoi, hanya kapal seukuran 6.000 DWT ke bawah yang bisa merapat. Sementara itu, Pelabuhan Ho Chi Minh City sudah terancam macet saking besarnya volume barang yang mesti ditangani. Untungnya, bantuan dari berbagai organisasi internasional mulai mengalir masuk. Bank Dunia sudah menjanjikan bantuan untuk memperbaiki jalan raya antara Ho Chi Minh City dan Hanoi. Jepang dan Taiwan bakal membantu pembangunan jalan antara Hanoi dan Haiphong. Dari Paris Club sudah ada komitmen bantuan sebesar US$ 1,9 miliar untuk perbaikan pelabuhan, jalan, dan rel kereta api. IMF, ADB, dan juga Bank Dunia sudah pula bersedia masing-masing memberikan utang US$ 1 miliar. Sebuah jaringan transmisi listrik 500 kilovolt juga akan dibangun untuk menyuplai kawasan Selatan yang kekurangan listrik karena investasi di situ tumbuh lebih cepat. Ketimpangan antara Selatan dan Utara memang kentara sekali. Selatan, yang sudah mengenal akrab paham kapitalisme, lebih dulu berkembang. Para investor tampaknya lebih suka mempertaruhkan uangnya di sana. Satu contoh, hampir semua per- usahaan asing bermarkas di Ho Chi Minh City, sedangkan yang di Hanoi paling hanya cabang atau kantor perwakilan. Suasana bisnis di Selatan jadinya jauh lebih marak. Dua pertiga produksi mobil Vietnam Motors Corporation, salah satu dari dua pabrik perakitan mobil di Vietnam, terjual di Ho Chi Minh City dan sekitarnya. "Daya beli di sini memang jauh lebih kuat," tutur Tran Quang Thanh, Direktur Vietnam Motors. Bank Indovina, bekas milik Summa yang sekarang sebagian sahamnya dikuasai kelompok Gajah Tunggal, juga punya pengalaman sama. Dua pertiga bisnisnya ada di Selatan. Perbedaan ini juga tampak di wajah Hanoi dan Ho Chi Minh City. Hanoi adalah kota cantik yang sarat bangunan kuno ber- arsitektur Prancis, dikelilingi puluhan danau. Tapi keindahan ini kusam. Semua tembok gedung, dari tembok penjara Hanoi Hilton tempat disekapnya pilot Amerika yang tertembak di masa perang sampai Gedung Konser dan Istana Presiden, warnanya sama: kuning tua khas negara sosialis. Sebaliknya, Ho Chi Minh City semarak warna-warni. Kehidupan malam luar biasa ramainya. Karaoke dan lantai disko terlihat hampir di setiap pojok. Jumlah kamar hotel berbintang tiga ke atas di Ho Chi Minh City mencapai 7.400 buah. Di Hanoi? Hanya 600. Ketimpangan seperti ini dengan gampang bisa menyulut kecemburuan. Bahkan, di Hanoi ada analisa yang menyebutkan bahwa investasi ke Selatan adalah strategi yang disengaja oleh negara-negara kapitalis untuk memojokkan Vietnam. Tapi pemerintah Vietnam berusaha realistis dan berkepala dingin dalam memecahkan masalah. "Kami menawarkan insentif untuk mereka yang mau menanam modal di Utara," kata Zdung dari SCCI. Insentif itu bisa berupa pajak yang lebih murah hingga 10%. Selain itu, air dan listrik yang melimpah jauh lebih murah di Utara daripada di Selatan. Langkah itu membawa hasil. Untuk tahun 1993, menurut Zdung, jumlah investasi di Utara sedikit lebih besar dibandingkan dengan Selatan. Sekalipun demikian, dampak membaiknya perimbangan ini baru akan terasa dalam waktu beberapa tahun mendatang. Masalah lain yang lebih langsung berkaitan dengan pemodal asing adalah sistem perbankan yang masih apa adanya. Maklum, ketika perang berakhir pada tahun 1975, pemerintah Vietnam membubarkan seluruh praktek perbankan yang diwariskan Amerika. Di tengah gemuruh perkembangan ekonomi saat ini, mulai terasa betapa kelirunya tindakan gegabah 18 tahun silam itu. Yang paling terasa bagi para investor adalah buruknya reputasi L/C yang dibuka oleh bank-bank Vietnam untuk membayar transaksi perdagangan internasional. Sering pembayaran untuk L/C itu tertunda-tunda. Tapi, sejalan dengan membaiknya neraca perdagangan, "Situasi sekarang sudah jauh lebih baik dibandingkan dengan sebelum tahun 1991," kata Robert Lie, Direktur Indovina Bank. Sekarang lalu lintas moneter mulai lancar. Bahkan, Indovina mengklaim bisa mentransfer uang dari Vietnam ke Indonesia hanya dalam sehari, asalkan dilakukan lewat BDNI di Indonesia. "Jika uangnya legal, tak ada masalah. Hanya, untuk mentransfer keuntungan ke luar Vietnam, kita harus membayar pajak sesuai dengan tarif yang berlaku," ujar Robert. Lalu, sistem hukum dan perundang-undangan di Vietnam membuat pusing kepala para calon investor. Lebih kacau-balau lagi. Untuk soal kepemilikan tanah, misalnya, peraturan yang ada amat tidak jelas. Resminya, orang hanya bisa memperjualbelikan hak penggunaan atas tanah karena semua tanah milik negara. Orang asing hanya diizinkan menyewa selama masa proyek investasinya berlaku. Dan semua itu mesti berlangsung di bawah peraturan yang tak jelas. Hebatnya, sekalipun susana masih kacau-balau begini, spekulasi tanah cukup hangat. Sebuah rumah sederhana dengan tanah seluas 120 meter persegi di Hanoi, yang tiga tahun lalu paling banter berharga US$ 9.000, sekarang sudah membubung jadi US$ 30.000. Investor yang sudah akrab dengan Vietnam tentu tak kaget mendengar peraturan yang berubah-ubah terus dalam waktu yang amat singkat. "Umur hukum di sini bisa hanya semalam," kata Warren N. Bontigao, Manajer Penjualan Vietnam Motors, yang asli Filipina. Juga, tak jarang yurisdiksi organisasi pemerintah tidak terumuskan dengan baik. Bontigao punya pengalaman saat mendaftarkan mobil yang berhasil dijualnya ke polisi ekonomi yang memang berwenang. Pada saat yang sama, ternyata beberapa institusi lain tiba-tiba merasa berhak mengurusi pendaftaran itu. Urusan berlarut-larut dan pembeli harus menunggu lebih da- ri dua bulan sebelum bisa mengendarai mobilnya. "Mereka itu sangat lamban," keluhnya. Di tengah benang kusut seperti ini, korupsi pun marak. Tak kurang dari Perdana Menteri Vo Van Kiet turun tangan langsung memimpin tim anti korupsi. Sepanjang Oktober lalu, 11 kasus korupsi dituntaskan ke pengadilan. Di luar itu, masih ada 57 kasus korupsi dan 26 perkara penyelundupan yang masih diproses. Akar dari korupsi ini apa lagi kalau bukan gaji yang rendah. Pemerintah Vietnam bukannya tak awas. Sidang parlemen yang dimulai awal Desember lalu mulai membahas kenaikan gaji pegawai negeri antara 20% dan 30%. Tapi tidak mudah membuat keputusan. Dalam anggaran tahun 1993, sudah tercatat defisit sebesar Rp 1,8 triliun. Sebagai ganjal, pemerintah Vietnam diinjeksi utang dari luar negeri sebesar Rp 1,5 triliun. Sisanya ditutup dari sumber dalam negeri. Dan itu, kabarnya, bisa saja dilakukan dengan mencetak uang. Bahayanya, tingkat inflasi, yang sudah dapat ditekan, bisa saja melaju lagi. Tak semua kabar membuat orang muram. Masih ada beberapa peluang untuk melecut pembangunan Vietnam menjadi lebih cepat. Saat ini gerak ekonomi Vietnam sebenarnya amat terbatas. Amerika Serikat secara resmi masih gemar memberlakukan embargo ekonomi. Akibatnya, tak satu pun perusahaan yang diizinkan berdagang, apalagi berinvestasi, ke Vietnam (lihat Ganjalan Kerak-Kerak Perang). Jika embargo ini dicabut, bisa jadi ekonomi Vietnam bakal berlari lebih kencang. Selain itu, Vietnam juga punya Viet Kieu, para pengungsi yang sekarang sudah mapan di tanah air yang baru. Orang-orang yang terbuang ini kini menjadi potensi ekonomi yang lumayan. Dana dari mereka diperkirakan ikut menggerakkan spekulasi tanah yang cukup ramai dua tahun ini. Saat ini ada sekitar 2,5 juta Viet Kieu, termasuk generasi kedua yang lahir di negeri baru. Jika nanti birokrasi yang berbelit sudah kalah oleh desakan menarik dana sebesar-besarnya, boleh jadi para Viet Kieu bakal menjadi tamu rutin untuk Vietnam dan, sudah tentu, membawa pulang duit dalam jumlah yang lebih dari lumayan. Sudah selayaknya Vietnam segera meniru strategi RRC yang tumbuh cepat dengan dukungan dana dari para perantauan. Kalau ini semua bisa diwujudkan, dan berbagai kekurangan di dalam negeri bisa diatasi, bukan tak mungkin slogan "Vietnam Permata dari Asia" tak lagi tinggal sebagai semboyan.Yopie Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini