BUKU Sejarah Nasional Indonesia jilid VI akan direvisi. "Sebab, buku itu sering mendapat kritik dari pelaku sejarah yang masih hidup," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan, mengumumkan rencana itu awal Agustus lalu. Langkah memperbaiki buku sejarah yang disusun Nugroho Notosusanto, yang menjadi Menteri P dan K tahun 1983-1985, telah dimulai sejak setahun silam. Sebuah tim ahli sejarah di bawah Direktorat Sejarah telah membantu Menteri Fuad Hassan untuk merevisinya. "Draftnya sudah selesai disusun, tinggal dicetak," kata Dr. Budhisantoso, Direktur Sejarah yang memimpin tim itu. Kritik atas SNI jilid VI itu memang sudah terdengar sejak buku itu terbit tahun 1975. Sejarawan LIPI Taufik Abdullah mencatat beberapa kelemahan di sana. Pada bagian yang mengulas perang kemerdekaan, misalnya, soal PDRI (Pemerintah Darurat RI), yang lahir setelah Belanda menduduki Yogya 19 Desember 1948, hanya disinggung sepintas, seolah tak punya makna sejarah. "Padahal, PDRI melakukan perjuangan politik besar," katanya. Sejarawan LIPI ini juga menyatakan ketidakpuasannya atas penulisan periode Republik Indonesia Serikat (RIS). "Tak ada penjelasan bagaimana negara-negara federal itu lahir," katanya. Pergolakan dan perjuangan rakyat Indonesia Timur pun kurang mendapatkan porsi yang cukup. Penulisannya, kata Taufik, kelewat berkiblat ke pusat, Jakarta. Orientasi ke Ibu Kota itu mengakibatkan rentetan sejarah yang diliput lebih memberat ke pusat. Masalah peralihan kekuasaan dan berbagai gangguan atas kedudukan penguasa pada periode pasca proklamasi kemerdekaan mendapat porsi sangat besar. Walhasil, peran militer pun tampak begitu menonjol. Buku setebal 392 halaman itu juga dikritik karena kurang memberikan porsi yang memadai persiapan politis menjelang kemerdekaan. Persidangan penyusunan UUD 45 hanya disinggung ringkas, tak lebih dari separuh halaman. Demikian pula sejarah kelahiran Pancasila dan berbagai gebrakan kaum politikus menyiapkan proklamasi kemerdekaan. Beberapa sejarawan memang menilai buku sejarah jilid VI itu mengandung kelemahan pada kerangka acuannya. Sejarawan LIPI yang lain, Abdurrachman Surjomihardjo, menilai ada kelemahan lain di samping sekadar kerangka acuan. "Di buku itu bukan sejarah politik yang ditulis, tapi politik dipakai untuk meninjau proses sejarah," katanya. Sejarah Indonesia kontemporer dari masa pendudukan Jepang sampai peristiwa G30S PKI itu, menurut Prof. Sartono Kartodirdjo, telah melenceng dari kerangka acuannya. Nama sejarawan dari Universitas Gadjah Mada itu memang tertera sebagai penyusun bersama Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Namun, pensiunan guru besar itu mengaku tak ikut menulisnya. "Saya cuma memberikan kerangka acuannya," ujarnya. Sayang, kerangka acuan itu tak diindahkan oleh para penulisnya. Sejarawan senior itu memang terlibat pada proyek buku sejarah sebanyak enam jilid. Panitia penulisan buku itu dibentuk tahun 1970. Dalam panitia itu, Sartono menjadi ketua umum, dengan ketua I dan II masing-masing Marwati dan Nugroho. Panitia ini dibentuk berdasarkan amanat Seminar Sejarah Nasional. Alasannya, Indonesia memerlukan buku sejarah yang berdasarkan persepsi orang Indonesia sendiri. Bertolak dari kesepakatan dalam panitia, buku sejarah itu terbagi dalam enam periode: periode prasejarah, zaman sejarah kuno, Islam, zaman 1860-1900, 1900-1942, dan jilid VI 1942-1960-an yang disebut sejarah kontemporer. Setiap periode sejarah ditangani oleh seksi yang berbeda. Nugroho mendapat jatah jilid VI. Dari keenam jilid yang terbit 1975, Sartono cuma ikut menyumbang tulisan mengenai tanam paksa dalam jilid IV dan keadaan sosial tahun 1930an untuk jilid V. Bahwa jilid VI itu mengundang kritik, Sartono memakluminya. Penulis mana pun, kata Sartono, akan menghadapi masalah yang sama dengan sejarah kontemporer. "Mereka sulit membuat jarak terhadap zaman, situasi, dan tokoh-tokohnya yang masih hidup," katanya. Ia memastikan tak ada pesan "dari atas" kepada panitia. "Tapi memang seksi-seksi itu mencari jalan sendiri-sendiri," ujarnya. Berbagai kritik itu bukannya tak membuahkan hasil. Dalam edisi revisi nanti, menurut Budhisantoso, pergerakan di luar Jawa mendapat bagian lebih besar ketimbang edisi lama. Begitu pula tentang peranan kaum wanita. Sejumlah saksi sejarah diwawancarai untuk menguatkan interpretasi ahli yang merevisi itu. Porsi masa Jepang diciutkan, dan ditambah di belakang sampai periode 1980an, termasuk proses integrasi Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia. Namun, bagi Abdurrachman Surjomihardjo, sekadar tambal sulam saja tak cukup untuk buku itu. "Karena persepsi kesejarahannya cuma jalan di tempat," ujarnya. Abdurrachman menginginkan buku itu dibongkar atau dibuat buku yang sama sekali baru. Kemungkinan itu sempat terpikir oleh Budhisantoso. Buku baru dengan pendekatan yang berbeda, kata Budhi, bukan hal tabu. "Tapi itu butuh waktu panjang," katanya. Lagi pula, menurut Budhi, dengan pendekatan yang ada sekarang pun, buku itu sah menurut kaidah ilmiah. Tapi, bagi Taufik Abdullah, buku baru yang obyektif memang mendesak. Sebab, dalam 20 tahun terakhir banyak perkembangan dalam ilmu sejarah, dan masyarakat makin kritis. "Sekarang kita butuh sejarah untuk bekal memasuki dunia baru," ujar Taufik, yang bersama Abdurrachman kemudian mundur dari tim buku itu. Putut Trihusodo, Nunik Iswardhani (Jakarta), dan R. Fadjri (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini