KEDENGARANNYA romantis. Berseragam putih-biru, 36 anak di bawah
pohon rindang, di tepi hutan di pantai Sungai Kahayan, sedang
belajar. Masing-masing memegang buku pelajaran -- tapi bila
dilihat-lihat, buku itu tidak semacam. Mereka memang tak sekelas
-- tapi dari 6 kelas. Dan memang hanya itulah jumlah murid
sekolah dasar yang hanya satu-satunya di Desa Henda di
Kalimantan Tengah tersebut.
SD itu disebut SD Kecil -- kemudian populer dengan mana Sekolah
Kecil (SK). Jenis ini baru ada di Kal-Teng, beberapa buah dan
masih dalam tahap percobaan.
Kisahnya agak panjang. "Awal Pelita I, dilaporkan jumlah putus
sekolah anak-anak SD mencapai 60%," cerita Drs. Soemitro
Soemantri, Kepala Pusat Inovasi dan Teknologi Pendidikan
(disingkat Inotek), penanggung jawab program percobaan SK itu.
Kemudian diperoleh data ternyata "ada hubungan antara persentase
putus sekolah dengan tingkat sosial ekonomi masyarakatnya."
Sementara itu pemerintah terus berusaha menampung peledakan anak
usia sekolah dasar -- antara lain dengan proyek SD Inpres, 1973.
Tetapi sekitar pertengahan 70-an, diketahui bahwa SD Inpres tak
sepenuhnya berhasil. "Ada gedung, ada guru, tapi murid tak
masuk. Atau prasarana dan sarana sekolah itu tak maksimal
terpakai," lanjut Soemitro. Kesimpulan: tak semua daerah
membutuhkan SD "seperti yang biasa". Diperlukan bentuk sekolah
yang sesuai dengan lingkungan setempat.
Dari BP3K (Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Dan
Kebudayaan) Dep P & K, 1975 dilaksanakan gagasan Sekolah PAMONG
(Pendidikan Anak oleh Masyarakat, Orangtua dan Guru) antara lain
di Karanganyar, Sala. Ide pokoknya: bukan murid yang datang
untuk belajar, tapi bahan pelajaran yang bisa dibawa si murid
dan bisa digunakan di mana saja. Karena di waktu-waktu tertentu,
si murid harus membantu orangtuanya. Paket pelajaran yang
dikenal dengan nama self instructional itu, populer disebut
modul.
Antara lain mengambil pengalaman sekolah PAMONG itulah, masalah
putus sekolah dan sekolah yang kosong dipecahkan. Untuk
eksperimen kemudian dipilih daerah Kal-Teng. Pilihan itu
didasarkan pada, menurut Ketua BP3K, kecuali menonjolnya masalah
yang telah disebut itu, juga kadar perhatian Pemda setempat
terhadap pendidikan (TEMPO, 12 Januari 1980).
Sejumlah data tentang pendidikan di Kal-Teng memang
memprihatinkan. Dari 1.108 desa, sekitar 380-nya belum memiliki
SD -- karena anak usia sekolah memang sedikit. Dari SD yang ada,
sekitar 1.300 buah tak kurang dari 450 yang hanya dikelola oleh
1 sampai 3 guru saja. Jumlah muridnya pun masing-masing kurang
dari 100, malahan banyak yang kurang dari 50 (normal, jumlah
murid sebuah SD 180). Maklum Kalimantan, penduduknya sangat
jarang. Dan itu semua menyebabkan semangat belajar menurun,
kualitas pun idem.
Maka dibentuklah kerja sama antara Pusat Inotek (satu bagian
dari BP3K), SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Negeri Palangkaraya,
dan Universitas Negeri Palangkaraya -- untuk memecahkan masalah
itu. Hasilnya Oktober 1979 ditentukan 8 SD sebagai percobaan
tahap pertama SK. (Dan awal tahun ajaran di bulan Juli depan ini
7 SD lagi). Ternyata mendapat sambutan masyarakat. Dan itu
menyebabkan guru yang masih bertahan bergairah kembali. Untuk 8
SK itu kemudian disediakan 20 orang guru, dengan jumlah
keseluruhan murid sekitar 300 orang. "Kami yakin," kata Liferdy,
Kepala SK Henda kepada pembantu TEMPO Rooseno Said Umar,
"sekolah kecil ini modal, dan juga model, agar anak-anak tak
telantar pendidikannya."
Enan Ganti, 40 tahun, Kepala Desa Henda, juga senang. "Rasanya
desa saya semakin maju," katanya bangga. Ia pun bercerita:
"Termasuk juga bayi yang baru lahir, penduduk Henda hanya 251
jiwa." Pendidikan mereka hampir semuanya hanya SD -- kalau umur
mereka di bawah 50. Di atas itu, "tentu buta huruf." Pak Enan
sendiri punya dua anak yang duduk di SK kelas II dan IV. Di SK
Henda itu, murid kelas II hanya 11 dan kelas IV-nya 6 orang.
Cita-cita Anak
"Anak-anak menjadi rajin belajar dan orangtua ikut campur," kata
Krestian Mader, 49 tahun, seorang penduduk Henda yang 3 anaknya
duduk di SK. "Kami diminta membantu anak-anak belajar kapan saja
dan di mana saja."
Lho, apa dulu inisiatif macam itu tak terpikirkan? Misalnya
untuk mata pelajaran olahraga, kesenian, agama dan ketrampilan
(yang memang diharapkan pengajarannya dari masyarakat sendiri,
sebagai salah satu ide melibatkan masyarakat dalam SK) yang
sekarang ini bermunculan tenaga sukarelanya dari orang-orang tua
setempat? Jawab yang diperoleh oleh Soemitro, Kepala Pusat
Inotek itu: "Kami dulu tidak diminta, Pak." Dan memang kurikulum
waktu itu tak membuka kesempatan macam ini.
Putus sekolah kemudian memang bisa dicegah. Sebab waktu belajar
dan waktu bekerja (membantu orang tua) bisa diatur anak-anak
sendiri. Setahun yang lalu misalnya, agak janggal menanyai
anak-anak tentang cita-cita mereka. Kini jawaban bisa mereka
berikan. Bahkan seorang anak perempuan, 8 tahun, yang namanya
sama dengan nama anak Bung Karno, Sukrnawati, bertanya kepada
TEMPO "Apa ada wartawan wanita, Pak? Saya ingin."
SK lain yang nampaknya juga berhasil merebut perhatian
lingkungannya, terletak di Garong, 10 km dari Henda. Dibanding
Henda, SK Garong lebih besar: ada 63 siswa. Cuma gurunya hanya
dua orang (di Henda tiga orang). Laporan yang ada di Pusat
Inotek (dibuat awal tahun ini) menyebutkan: "Ada kenaikan
prestasi belajar, meski belum memuaskan."
Agaknya letak daerah memang juga menentukan cepat lambatnya
kemajuan. Henda dan Garong termasuk gampang dicapai SK yang di
udik S. Kahayan: SK Tumbangrungan, Tanjung Sengalang dan Penda
Barnia, juga yang di hilir: SK Sungai Baru, Badirih dan Teliyu,
untuk mencapainya (dari ibukota Kal-Teng Palangkaraya
dibutuhkan waktu berhari-hari di sungai.
Optimisme
Toh, para pengelola di Pusat Inotek nampak optimistis. Antara
lain juga karena banyak ahli pendidikan luar negeri meninjau --
dan memuji, ehm -- sedang sejumlah daerah lain ingin pula
melaksanakan model ini (yang sedang direncanakan: di Sulawesi
Tenggara, Madura dan Jambi). Optimisme juga terbukti dari minat
Pemda Kal-Teng sendiri. "Modul yang selama ini dicetak di
Universitas Sebelas Maret, Sala, diminta mereka untuk dicetak di
Palangkaraya sendiri," kala Soemitro, 47 tahun, lulusan IKIP
Malang itu. Modul yang dipakai memang mengambil model dari modul
sekolah PAMONG di Karanganyar, Sala.
Tak berarti kesulitan telah bisa diatasi sepenuhnya. Disebutkan
antara lain bahan pelajaran belum sepenuhnya diajarkan. Kurang
alat peraga. Sebagian murid masih tergantung guru. Yang telah
bisa diatasi ialah ketrampilan para guru. "Dulu, karena waktu di
SPG dipersiapkan hanya untuk mengajar satu kelas, guru-guru itu
susah juga mengajar di satu ruang terdiri dari beberapa kelas
sekaligus," tutur Kepala Pusat Inotek itu. Tapi setelah ada
penataran, alhamdulillah.
Untuk kelanjutannya, sementara ini persoalan agaknya masih
diserahkan kepada orangtua dan murid sendiri. Dengan penanaman
minat sejak kecil, diharapkan anak-anak itu nanti mempunyai
semangat belajar besar -- misalnya sanggup menempuh sungai untuk
belajar di sekolah menengah di ibukota kabupaten. "Kalau mereka
sudah besar 'kan orangtuanya akan tega melepas anaknya," kata
Soemitro.
Masalah guru, dalam pada itu tcntu ada suka-dukanya sendiri.
Pusat Inotek sudah memutuskan, minimal guru yang ditugaskan di
SK dua orang per sekolah. Sebab, seperti kata Soemitro dengan
serius: "Saya menemukan, mengapa guru SD Inpres yang ditugaskan
di Kal-Teng tak kerasan. Ialah karena kesepian."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini