Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sekolah Kecil, Jauh Dan Sepi

Sebuah cara supaya pendidikan dasar berlangsung di daerah terpencil. sd biasa tak bisa jalan, muridnya sering tidak masuk karena harus membantu orang tua.

29 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEDENGARANNYA romantis. Berseragam putih-biru, 36 anak di bawah pohon rindang, di tepi hutan di pantai Sungai Kahayan, sedang belajar. Masing-masing memegang buku pelajaran -- tapi bila dilihat-lihat, buku itu tidak semacam. Mereka memang tak sekelas -- tapi dari 6 kelas. Dan memang hanya itulah jumlah murid sekolah dasar yang hanya satu-satunya di Desa Henda di Kalimantan Tengah tersebut. SD itu disebut SD Kecil -- kemudian populer dengan mana Sekolah Kecil (SK). Jenis ini baru ada di Kal-Teng, beberapa buah dan masih dalam tahap percobaan. Kisahnya agak panjang. "Awal Pelita I, dilaporkan jumlah putus sekolah anak-anak SD mencapai 60%," cerita Drs. Soemitro Soemantri, Kepala Pusat Inovasi dan Teknologi Pendidikan (disingkat Inotek), penanggung jawab program percobaan SK itu. Kemudian diperoleh data ternyata "ada hubungan antara persentase putus sekolah dengan tingkat sosial ekonomi masyarakatnya." Sementara itu pemerintah terus berusaha menampung peledakan anak usia sekolah dasar -- antara lain dengan proyek SD Inpres, 1973. Tetapi sekitar pertengahan 70-an, diketahui bahwa SD Inpres tak sepenuhnya berhasil. "Ada gedung, ada guru, tapi murid tak masuk. Atau prasarana dan sarana sekolah itu tak maksimal terpakai," lanjut Soemitro. Kesimpulan: tak semua daerah membutuhkan SD "seperti yang biasa". Diperlukan bentuk sekolah yang sesuai dengan lingkungan setempat. Dari BP3K (Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Dan Kebudayaan) Dep P & K, 1975 dilaksanakan gagasan Sekolah PAMONG (Pendidikan Anak oleh Masyarakat, Orangtua dan Guru) antara lain di Karanganyar, Sala. Ide pokoknya: bukan murid yang datang untuk belajar, tapi bahan pelajaran yang bisa dibawa si murid dan bisa digunakan di mana saja. Karena di waktu-waktu tertentu, si murid harus membantu orangtuanya. Paket pelajaran yang dikenal dengan nama self instructional itu, populer disebut modul. Antara lain mengambil pengalaman sekolah PAMONG itulah, masalah putus sekolah dan sekolah yang kosong dipecahkan. Untuk eksperimen kemudian dipilih daerah Kal-Teng. Pilihan itu didasarkan pada, menurut Ketua BP3K, kecuali menonjolnya masalah yang telah disebut itu, juga kadar perhatian Pemda setempat terhadap pendidikan (TEMPO, 12 Januari 1980). Sejumlah data tentang pendidikan di Kal-Teng memang memprihatinkan. Dari 1.108 desa, sekitar 380-nya belum memiliki SD -- karena anak usia sekolah memang sedikit. Dari SD yang ada, sekitar 1.300 buah tak kurang dari 450 yang hanya dikelola oleh 1 sampai 3 guru saja. Jumlah muridnya pun masing-masing kurang dari 100, malahan banyak yang kurang dari 50 (normal, jumlah murid sebuah SD 180). Maklum Kalimantan, penduduknya sangat jarang. Dan itu semua menyebabkan semangat belajar menurun, kualitas pun idem. Maka dibentuklah kerja sama antara Pusat Inotek (satu bagian dari BP3K), SPG (Sekolah Pendidikan Guru) Negeri Palangkaraya, dan Universitas Negeri Palangkaraya -- untuk memecahkan masalah itu. Hasilnya Oktober 1979 ditentukan 8 SD sebagai percobaan tahap pertama SK. (Dan awal tahun ajaran di bulan Juli depan ini 7 SD lagi). Ternyata mendapat sambutan masyarakat. Dan itu menyebabkan guru yang masih bertahan bergairah kembali. Untuk 8 SK itu kemudian disediakan 20 orang guru, dengan jumlah keseluruhan murid sekitar 300 orang. "Kami yakin," kata Liferdy, Kepala SK Henda kepada pembantu TEMPO Rooseno Said Umar, "sekolah kecil ini modal, dan juga model, agar anak-anak tak telantar pendidikannya." Enan Ganti, 40 tahun, Kepala Desa Henda, juga senang. "Rasanya desa saya semakin maju," katanya bangga. Ia pun bercerita: "Termasuk juga bayi yang baru lahir, penduduk Henda hanya 251 jiwa." Pendidikan mereka hampir semuanya hanya SD -- kalau umur mereka di bawah 50. Di atas itu, "tentu buta huruf." Pak Enan sendiri punya dua anak yang duduk di SK kelas II dan IV. Di SK Henda itu, murid kelas II hanya 11 dan kelas IV-nya 6 orang. Cita-cita Anak "Anak-anak menjadi rajin belajar dan orangtua ikut campur," kata Krestian Mader, 49 tahun, seorang penduduk Henda yang 3 anaknya duduk di SK. "Kami diminta membantu anak-anak belajar kapan saja dan di mana saja." Lho, apa dulu inisiatif macam itu tak terpikirkan? Misalnya untuk mata pelajaran olahraga, kesenian, agama dan ketrampilan (yang memang diharapkan pengajarannya dari masyarakat sendiri, sebagai salah satu ide melibatkan masyarakat dalam SK) yang sekarang ini bermunculan tenaga sukarelanya dari orang-orang tua setempat? Jawab yang diperoleh oleh Soemitro, Kepala Pusat Inotek itu: "Kami dulu tidak diminta, Pak." Dan memang kurikulum waktu itu tak membuka kesempatan macam ini. Putus sekolah kemudian memang bisa dicegah. Sebab waktu belajar dan waktu bekerja (membantu orang tua) bisa diatur anak-anak sendiri. Setahun yang lalu misalnya, agak janggal menanyai anak-anak tentang cita-cita mereka. Kini jawaban bisa mereka berikan. Bahkan seorang anak perempuan, 8 tahun, yang namanya sama dengan nama anak Bung Karno, Sukrnawati, bertanya kepada TEMPO "Apa ada wartawan wanita, Pak? Saya ingin." SK lain yang nampaknya juga berhasil merebut perhatian lingkungannya, terletak di Garong, 10 km dari Henda. Dibanding Henda, SK Garong lebih besar: ada 63 siswa. Cuma gurunya hanya dua orang (di Henda tiga orang). Laporan yang ada di Pusat Inotek (dibuat awal tahun ini) menyebutkan: "Ada kenaikan prestasi belajar, meski belum memuaskan." Agaknya letak daerah memang juga menentukan cepat lambatnya kemajuan. Henda dan Garong termasuk gampang dicapai SK yang di udik S. Kahayan: SK Tumbangrungan, Tanjung Sengalang dan Penda Barnia, juga yang di hilir: SK Sungai Baru, Badirih dan Teliyu, untuk mencapainya (dari ibukota Kal-Teng Palangkaraya dibutuhkan waktu berhari-hari di sungai. Optimisme Toh, para pengelola di Pusat Inotek nampak optimistis. Antara lain juga karena banyak ahli pendidikan luar negeri meninjau -- dan memuji, ehm -- sedang sejumlah daerah lain ingin pula melaksanakan model ini (yang sedang direncanakan: di Sulawesi Tenggara, Madura dan Jambi). Optimisme juga terbukti dari minat Pemda Kal-Teng sendiri. "Modul yang selama ini dicetak di Universitas Sebelas Maret, Sala, diminta mereka untuk dicetak di Palangkaraya sendiri," kala Soemitro, 47 tahun, lulusan IKIP Malang itu. Modul yang dipakai memang mengambil model dari modul sekolah PAMONG di Karanganyar, Sala. Tak berarti kesulitan telah bisa diatasi sepenuhnya. Disebutkan antara lain bahan pelajaran belum sepenuhnya diajarkan. Kurang alat peraga. Sebagian murid masih tergantung guru. Yang telah bisa diatasi ialah ketrampilan para guru. "Dulu, karena waktu di SPG dipersiapkan hanya untuk mengajar satu kelas, guru-guru itu susah juga mengajar di satu ruang terdiri dari beberapa kelas sekaligus," tutur Kepala Pusat Inotek itu. Tapi setelah ada penataran, alhamdulillah. Untuk kelanjutannya, sementara ini persoalan agaknya masih diserahkan kepada orangtua dan murid sendiri. Dengan penanaman minat sejak kecil, diharapkan anak-anak itu nanti mempunyai semangat belajar besar -- misalnya sanggup menempuh sungai untuk belajar di sekolah menengah di ibukota kabupaten. "Kalau mereka sudah besar 'kan orangtuanya akan tega melepas anaknya," kata Soemitro. Masalah guru, dalam pada itu tcntu ada suka-dukanya sendiri. Pusat Inotek sudah memutuskan, minimal guru yang ditugaskan di SK dua orang per sekolah. Sebab, seperti kata Soemitro dengan serius: "Saya menemukan, mengapa guru SD Inpres yang ditugaskan di Kal-Teng tak kerasan. Ialah karena kesepian."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus