Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah berbentuk memanjang seukuran lapangan basket di Jalan Kayu Ambon 85, Lembang, Kabupaten Bandung, itu seperti tak terurus. Catnya sudah memudar dan terkelupas di sana-sini. Di teras depan hanya ada bangku panjang kayu reyot. Bangunan di tengah perkampungan penduduk di Lembang yang sejuk itu sepi.
Begitulah kondisi Gereja Advent Hari Ketujuh, yang sejak Januari 2007 menghentikan kegiatan setelah diprotes warga karena tidak memiliki izin. Menurut Pendeta Jimmy Dolot, kegiatan ibadah akhirnya dilakukan di rumah jemaat secara bergantian. Bahkan, di awal gereja ditutup, kebaktian sempat dilakukan di aula Sespim Polri, Bandung. ”Tentu saja kami merasa tidak nyaman. Tapi, apa boleh buat, ibadah kan bisa dilaksanakan di mana saja,” katanya.
Jimmy mengakui gerejanya beraktivitas walau belum mengantongi izin. Alasannya, selain birokrasi berbelit, pengurusan izin perlu biaya mahal, bisa sampai Rp 30 juta. ”Kami tidak mampu mengurus izin semahal itu,” katanya.
Perusakan dan tekanan masyarakat atau kelompok massa terhadap gereja terus terjadi. Menurut catatan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dalam tiga tahun terakhir terjadi 103 peristiwa pembatasan ibadah, perusakan, dan penutupan gereja.
Forum Komunikasi Kristiani Jakarta bahkan menyebutkan, sejak 1969 sampai 2006, terdapat seribu lebih kasus. Ini yang membuat PGI dan KWI mengadukannya kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Tindakan ini diikuti pula anggota Himpunan Warga Gereja Indonesia, yang menemui Komnas HAM, Senin pekan lalu. Oleh Komnas HAM, persoalan ini sudah dibawa ke Wakil Presiden Jusuf Kalla.
”Pemerintah seperti tidak berdaya menghadapi kelompok anarkis yang melakukan teror dan pelanggaran hak asasi manusia serta melarang orang-orang Kristen atau umat beragama lainnya beribadah, padahal dijamin oleh UUD 1945,” kata Sekretaris Umum PGI Pendeta Richard Daulay.
Biasanya, perusakan dipicu keberatan warga atas kehadiran gereja di lingkungan mereka. Nana Unjani, 30 tahun, salah seorang warga di Jalan Kayu Ambon, Lembang, misalnya, mengatakan masyarakat di situ menolak kehadiran gereja karena berdekatan dengan masjid. ”Ini kan di kampung, masyarakatnya masih fanatik,” katanya.
Berdasarkan peraturan pemerintah, baik yang keluaran 1969 maupun 2006, dukungan warga sekitar menjadi syarat mutlak pendirian tempat ibadah. Bukan perkara mudah untuk mendapatkan dukungan dari 60 anggota masyarakat setempat, di samping harus ada 90 calon anggota jemaat di wilayah itu. Richard Daulay mengakui adanya kesulitan itu. ”Dari dulu sulit, sampai sekarang juga masih sulit,” katanya.
Susahnya mendapat izin ini lalu mendorong sejumlah kelompok memilih membuka gereja di mal, gedung perkantoran, atau kompleks rumah toko. Dengan demikian, izin dari warga sekitar tidak diperlukan lagi.
Gereja Tiberias Indonesia termasuk pelopor gereja di mal. Mereka memiliki lebih dari 30 tempat ibadah di gedung perkantoran dan mal, bahkan di gedung bioskop, seperti di Studio 21 Supermal Karawaci, Tangerang, yang dipakai untuk kebaktian di Minggu pagi. Gereja Duta Injil Sola Gracia membuka gereja di Mal Ambasador, Graha BIP, keduanya di Jakarta Selatan, dan di Wisma Pelangi, Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat.
Bukan hanya di Jakarta, tren mengelar kebaktian di mal juga marak di kota besar lain, seperti Surabaya. Gereja Tiberias mengambil tempat di lantai 1 Supermall Pakuwon Trade Center, berbaur dengan toko yang menjual berbagai produk. Juga di Mega Galaxy, Jalan Raya Kertajaya Indah Timur; BG Junction, kawasan Bubutan; Graha Pena di daerah elite Jalan Ahmad Yani; dan Graha SA, Gubeng—semuanya di pusat kota.
Menurut Koordinator Hubungan Antarlembaga Badan Musyawarah Antargereja Surabaya, Sonny Saragih, tren beribadah di mal yang muncul sejak 1990-an itu diawali alasan keamanan. Ketika itu, kaum Nasrani merasa ketakutan karena maraknya kasus perusakan gereja di sejumlah tempat. Pangkalnya apa lagi kalau bukan karena gereja-gereja itu dianggap tidak memiliki izin.
Pemerintah tampaknya perlu meninjau kembali aturan pembangunan rumah ibadah yang terkesan diskriminatif itu. Tapi yang lebih penting sebenarnya mengajarkan kepada masyarakat untuk bisa menerima perbedaan.
Yudono Yanuar, Ign. Widi Nugroho, Kukuh Wibowo (Surabaya), Rinny Srihartini (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo