UMBUL-umbul kain merah, bersimbol kepala banteng hitam, berkibar meriah di sekitar asrama haji Pangkalan Mansyur, Medan. Ratusan jumlahnya. Denyut keramaian kian meruak Senin lalu oleh kedatangan ratusan perutusan.Mereka adalah peserta Kongres Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang bakal berlangsung 21-25 Juli pekan ini dan dibuka Presiden Soeharto. Sekretaris PDI Sumatera Utara Buttu Hutapea, pelaksana lapangan untuk kongres itu, sibuk bukan main. Tapi ia tampak senang. ''Inilah kongres partai politik yang pertama kalinya di Medan,'' katanya bersemangat. Ia seperti lupa bahwa biaya Kong- res yang diperkirakan Rp 500 juta belum sepenuhnya masukterkumpul. Kongres IV PDI kali ini mengundang sekitar 800 peserta. Sebagian besar dari pemimpin tingkat kabupaten (303 cabang), jumlahnya 606 orang. Lantas, pengurus27 provinsi, sebanyak 135 orang. Selebihnya adalah pengurus pusat, badan litbang, dan wakil Fraksi PDI di DPR dan MPR. Kongres ini, seperti biasanya, mengagendakan pembicaraan sejumlah hal. Ada soal program, sikap politik partai, ada pula evaluasi kepengurusan. Di antara sederet acara itu, puncaknya adalah pencalonan ketua umum. Sanggupkah Soerjadi melaksanakan niatnya mempertahankan kursi ketua umum untuk lima tahun lagi? Menjelang Kongres dibuka, hantaman buat Soerjadi semakin kencang. Ada yang menudingnya sebagai biang perpecahan partai, otoriter, sampai soal janji kampanye tentang ''perubahan dan pembaruan'' yang tak ditepatinya, dan lain-lain. Ada pula kelompok penentangnya yang mementaskan aksi demo di kantor pusat PDI, Jalan Diponegoro, Jakarta. Sampai, Soerjadi memboyong kegiatankantor pusat PDI ke rumah dinasnya di kompleks pejabat tinggi Kuningan, Jakarta Selatan. Yang juga menyulitkan Soerjadi, menjelang Kongres, ia dipojokkan oleh panggilan pengadilan di Jakarta Selatan. Ia diminta hadir sebagai saksi atas persidangan Ketua PDI Jakarta, Alex Asmasoebrata, yang menjadi tersangka kasus penculikan dua aktivis PDI yang menentang kepemimpinan Soerjadi. Ketua Umum PDI itu tak bisa datang Sabtu lalu karena terserang flu dan kepayahanmempersiapkan Kongres. Dalam kondisi payah itu Soerjadi menghadapi sejumlah saingan yang memperebutkan kursi ketua umum. Ada Aberson Marle Sihaloho, Budi Hardjono, dan Soetardjo Soerjogoeritno. Ketiganya dikenal sebagai anggota Fraksi PDI di DPR yang kritis dan vokal. Lalu, ada Tarto Soediro, arsitek perkapalan lulusan Jerman, pengusaha yang cukup makmur, yang kini juga aktif di Fraksi PDI Senayan. Di luar itu ada Ismunandar, Wakil Ketua PDI Jakarta. Ismu boleh dibilang kuda hitam. Namanya tak pernah muncul di pentas nasional, tapi tiba-tiba ia tampil dengan dukungan dari beberapa daerah, termasuk daerah yang sulit ditembus: Jawa Timur. Sampai akhir Juni silam, Soerjadi boleh menganggap enteng pesaingnya. Ketika itu, menurut taksiran di atas kertas, 80% suara peserta Kongres sudah di tangannya. Tapi suasana politik cepat berubah. Tiba-tiba dukungan itu kempis. Ketua PDI Jakarta Alex Asmasoebrata, misalnya, yang selama ini dikenal sebagai pendukung berat Soerjadi, terang-terangan menariknya. ''Kami hanyamenyokong tokoh yang bisa bekerja sama dengan Pemerintah dan mampu mengakhiri pertikaian di tubuh partai,'' ujar Alex, yang juga dikenal sebagai pereli nasional. Untuk menghindari pertikaian lebih jauh, Alex minta Soerjadi menarikdiri dari pencalonan. Dukungan untuk Soerjadi dari daerah asalnya, Jawa Timur, juga tampak mengendur. Rombongan pengurus dari 14 cabang mendatangi kantor PWI Jawa Timur, di Surabaya, dua pekan silam. Mereka mengatakan menolak pencalonan Soerjadi,pria kelahiran Ponorogo itu. ''Soerjadi telah terbukti tak mampu menyatukan semua potensi PDI,'' ujar R.O. Hidayat dari Gresik, yang menjadi juru bicararombongan itu. Latief Pujosakti, Ketua PDI Ja-Tim, pendukun fanatik Soerjadi, mula-mula mengutuk aksi Hidayat dkk. Aksi itu dikatakannya tak mencerminkan aspirasi daerah. Belakangan sikap Latief bergeser. ''Dukungan kami untuk Soerjadi luwesn sifatnya. Artinya, kami mempertimbangkan pula calon-calon lain,'' ujarnya.Padahal, sepekan sebelumnya, Latief memprakarsai kebulatan tekad pengurus PDI Ja-Tim melambungkan nama Soerjadi.Dari Jawa Tengah pun Soerjadi keteter. Pengurus PDI Ja-Teng, yang selama ini dikenal sebagai penyangga kekuatan Soerjadi, suaranya cenderung mulai ''ABS'' alias ''asal bukan Soerjadi''. ''Soerjadi sudah tak dikehendaki Pemerintah. Kami kan hanya bisa nurut,'' kata seorang tokoh PDI di sana. Benarkah ia sudah tak disukai Pemerintah dan ABRI? Kesan itu memang sulit dihindarkan. Suara Alex yang ''ABS'' muncul setelah rapat pengurus PDI Jakarta mendengar pidato pembekalan dari Panglima Kodam Jaya Mayjen A.M. Hendropriyono. Latief dari Ja-Tim menjadi ragu mendukung Soerjadi setelah bertemu Gubernur Soelarso. Dan suara PDI Ja-Teng gembos setelah pengurusnya mendapat pengarahan dari Panglima Kodam Diponegoro, Mayjen Soejono. Sinyal dari Mayjen Soejono kepada pengurus PDI Ja-Teng mudah dibaca: jangan pilih calon ketua yang cacat hukum. Pernyataan itu sepertinya mengarah kepada Soerjadi. Sebab, perkembangan persidangan penculikan di pengadilan Jakarta Selatan kini menyudutkan sang ketua umum.Ada indikasi Soerjadi terlibat (lihat Saksi-saksi yang berubah). Bahkan, salah-salah ia juga bisa dituduh memberikan keterangan palsu. Ceramah pembekalan Mayjen Hendroprijono juga senada. Kepada fungsionaris PDI yang akan berangkat ke Medan, Hendro pun berpesan jangan memilih yang cacat hukum. Lantas apa syaratnya? ''Jangan pilih yang suka bikin perpecahan, jangan yang menimbulkan demonstrasi,'' ujar Hendro sembari tertawa. Isyarat makin jelas ketika Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung berbicara kepada pers, Senin pekan ini, seusai bertemu Presiden Soeharto di Jalan Cendana. Jenderal Tanjung kembali memberi penekanan agar Kongres PDI takmemilih ketua yang cacat hukum. Cacat hukum seperti apa? ''Misalnya tiba-tiba yang bersangkutan terlibat tuduhan penculikan,'' ujarnya. Tak salah lagi, Soerjadi yang dituju. Tak cuma dari kalangan ABRI isyarat penolakan terhadap Soerjadi bisa dibaca. Seorang menteri yang sekaligus tokoh Golkar bahkan menuding Ketua PDI itu tak tahu diri. ''Dia seperti kacang lupa akan kulitnya,'' ujarnya. Soerjadi, katanya, bisa menjadi ketua umum karena dukungan Pemerintah di Kongres III, April 1986. ''Tapi, setelah itu, Pemerintah dikatain habis-habisan di kampanye pemilu,'' ujarnya kesal (lihat Pasang Surut Sesosok Wayang). Dan Soerjadi, konon, sempat membuat sejumlah pembantu Presiden itu gusar. Tahun lalu, dua kali ia mengirim surat ke Presiden, memprotes kecu- rangan pemilu. Tapi pengamat politik semacam Abdurrahman Wahid sulit menerima ucapan menteri itu sebagai sikap Pemerintah secara keseluruhan. Ia menganggap Soerjadi justru berjasa membendung arus intern partai yang menginginkan PDI mencalonkan selain Soeharto di MPR Maret lalu. Walhasil, sidang menggelinding mulus, dan Soerjadi yang menjadi bulan-bulanan karena ''memaksa'' PDI mencalonkan kembali Pak Harto. ''Kenyataan itu harus dicatat,'' kata Ketua Tanfidziyah NU itu. Lantas, apa dosa Soerjadi? Seorang pengamat politik punya sebuah spekulasi: kalaupun sejumlah menteri risi dengan sikapnya yang kadang terkesan berlebihan, itu bukan alasan utama untuk menyingkirkan Soerjadi. Dengan pembawaannya yang keras kepala, tahan banting, ndableg dalam istilah Gus Dur,Ketua Umum PDI ini dianggap punya kemampuan menggalang kekuatan. Di bawah Soerjadi, kekuatan bisa menjadi besar, dan sulit dikendalikan. ''Ini mengusik kemapanan Golkar sebagai single majority,'' tutur seorang pengamat.Namun, skenario itu ditampik oleh seorang perwira tinggi dari Markas Besar ABRI. Paling tidak, menurut perwira ini, ABRI tak berniat mencekal PDI tumbuh besar. Perubahan sikap ABRI, dalam pandangan perwira itu, semata-mata bersumber dari perkembangan peradilan kasus penculikan itu. Ia melihat kemungkinan Soerjadi bisa terseret sebagai tersangka. Rekayasa di panggung pengadilan? ''Kalau direkayasa, apa sulitnya hari ini juga menjadikan Soerjadi tersangka,'' katanya. Bila membiarkan Soerjadi terpilih, ada risiko di kemudian hari.Diduga, gabungan orang kecewa itu akan terus menggoyangnya. Dan yang agaknya dikhawatirkan Jenderal Feisal Tanjung: demonstrasi makin marak dan disusuldesakan untuk kongres luar biasa. ''Itu membuang-buang biaya,'' tuturnya. Maka, ABRI cenderung menyukai calon yang mampu meredam kemungkinan kerawanan itu. Dari Mabes ABRI Cilangkap memang tak terdengar dukungan secara terbuka untuk salah satu calon. Namun, Kepala Staf Sosial dan Politik ABRI Letjen Haryoto P.S. mengakui ada tiga kandidat yang menemuinya: Budi Hardjono, Ismunandar, dan Tarto Soediro. Siapa yang menjadi jagonya, Haryoto tak mau menyebutnya.Tapi seorang perwira tinggi yang dekat dengannya berbisik kepada TEMPO: Budi Hardjono. ''Dibandingkan denganyang lain, Budi paling capable-acceptable,'' tuturnya. Seorang menteri kepada TEMPO mengaku ikut pula menjagoi Budi Hardjono. ''Sebagai politikus, dia matang. Sebagai parlementarian, dia kritis, dan pernyataannya di koran simpatik,'' ujarnya. Ia mengatakan sejumlah menteri, antara lain Moerdiono dan Ginandjar, ikut pula mendukung eksponen 66 dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia itu. Budi, putra seorang lurah di Pacitan yang sempat menjadi tempat mengina Panglima Besar Jenderal Sudirman ketika bergerilya itu, kini menjadi calon unggulan. Namun, ia bersikap rendah hati. ''Saya ini sebetulnya cuma ban serep,'' ujarnya. Ia mengaku satu kubu dengan Soerjadi di PDI. Ban utamanya, Soerjadi sendiri. Bila selama ini ogah mencalonkan diri menandingi Soerjadi,itu karena Budi khawatir akan timbulnya perpecahan di kubunya. Ia baru tampil setelah yakin Pemerintah menginginkannya tampil. ''Sebagai ban serep, saya harus siap dipasang, karena ban utamanya kempis di jalan,'' ujarnya. Budi pun tak mengelak melakukan lobi ke beberapa tokoh di Pemerintahan atau Mabes ABRI ''Saya realistis saja,'' ujarnya. Tidak hanya Budi yang mencaricantolan ke suprastruktur. Ismunandar, Soetardjo, dan Tarto melakukan hal yang sama. Tarto misalnya, selain minta restu ke Kassospol Letjen Haryoto, juga mencoba merangkul Menteri Habibie, seniornya ketika menjadi mahasiswa di Jerman. Begitu pentingnya Habibie, sampai ia mengorbankan kesempatan kampanyenya di depan wartawan DPR Kamis pekan lalu, untuk bertemu Habibie. Bahkan ia perlu mengantar Habibie ke Bandara Soekarno-Hatta. Cuma Aberson M. Sihaloho yang mengesampingkan cantolan. ''Tidak ada sponsor-sponsoran. Saya percaya Kongres bisa berjalan murni,'' katanya. Akibatnya memang terasa. Dukungannya sepi-sepi saja. Soerjadi sendiri sampai Sabtu pekan lalu masih belum berniat mundur dari bursa pencalonan, kendati sudah tak punya cantolan dan kehilangan banyak pendukung. Dan ia mengaku tak berpikir soal menang-kalah. ''Sejak semula saya cuma mengatakan siap dicalonkan dan mencalonkan diri,'' ujarnya. Tentangbisikan- bisikan itu, Soerjadi memang tampak kecewa (lihat Ketua Umum Bukan Tujuan Akhir). Kendati kepepet, Soerjadi bukannya tak memiliki dukungan. Taslim Hakki, KetuaPDI Sumatera Selatan, mengaku masih setia pada Soerjadi. ''Dia masih cocok memimpin PDI,'' ujarnya kepada Hasan Syukur dari TEMPO. Dukungan serupa terdengar pula dari Wayan Sarwa Kabiana, Wakil Sekretaris PDI Bali. ''Soerjadi tentu ada kurangnya,'' katanya kepada koresponden TEMPO Putu Wirata. Beberapacabang PDI yang dihubungi TEMPO juga masih me- ngatakan sikap mendukung Soerjadi. Bila dukungan itu tetap bulat sampai di Medan, proses pemilihan ketua umum bakal ramai. Rombongan anti-Soerjadi berniat nimbrung berkongres kendati tanpa undangan. Dan tak mustahil menjadi ruwet, lalu macet dan mengundang Pemerintah turun tangan. Tapi mengapa Soerjadi mesti digembosi? Putut Trihusodo, Sarluhut Napitupulu, Irwan E. Siregar (Medan), Iwan Q. Himawan, Linda Djalil, Wahyu Muryadi (Jakarta), dan Zed Abidien (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini