Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Solo bukan hanya tempat pulang kampung bagi Joko Widodo. Dia memilih kota ini sebagai lokasi untuk mengirimkan sinyal penting: pembatalan pelantikan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tak ada seremoni khusus, seperti yang ditunggu wartawan sepanjang Jumat pekan lalu. Berdiri di pintu keluar Diamond Convention Center, setelah menghadiri Musyawarah Nasional Partai Hanura, Jokowi melayani wartawan yang mencegatnya. Ketika ditanya benarkah Budi Gunawan tak dilantik, Jokowi menjawab dengan menggoyang-goyangkan badan tiga kali.
Sebelumnya, di hadapan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Hanura Wiranto, dan ketua umum partai koalisi penyokong pemerintahannya-Surya Paloh dari NasDem, Muhaimin Iskandar dari Partai Kebangkitan Bangsa, serta Sutiyoso dari Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia-Jokowi berpidato soal bagaimana ia memutuskan perkara pelik itu. Ia mengaku selalu bertanya kepada hati nuraninya setiap kali akan mengambil keputusan.
"Ini karena hati nurani adalah sumber kemuliaan. Jadi, kalau hati saya ngomong benar, pasti akan saya putuskan," ujar Jokowi. Malam itu, beberapa politikus partai koalisi yang hadir dengan wajah tertekuk ikut larut dalam tepuk tangan. Presiden menganggukkan kepala, tersenyum.
Bukan perkara mudah bagi Jokowi untuk mengumumkan sikap. Siangnya, kepada wartawan yang menemuinya di Istana Bogor, selepas bertemu dengan para bupati dari Pulau Jawa dan Maluku, Jokowi mengaku perlu hati-hati dalam memutuskan perkara Kapolri. "Ada risiko politik dan hukum yang harus dipikirkan," kata Jokowi, yang didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Boleh jadi karena beratnya hitungan, Presiden Jokowi memilih berhati-hati-meskipun keputusan membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri sudah diambil lebih dari sepekan. Tekad itu sudah disampaikan Jokowi saat berbicara dengan Ketua Tim 9 Syafii Maarif pada Selasa dua pekan lalu. Menurut Buya Syafii, saat itu Presiden Jokowi menegaskan keputusannya tak akan melantik Kepala Lembaga Pendidikan Polri Budi Gunawan sebagai Kapolri menyusul statusnya sebagai tersangka korupsi.
Presiden, menurut satu orang dekatnya, memutuskan tak menunggu sidang praperadilan Budi Gunawan selesai setelah melihat perkembangan situasi. Proses hukum soal praperadilan perlu waktu lama, sementara kondisi Kepolisian kian jauh dari solid jika Kapolri tak segera definitif. "Proses hukum akan tetap makan waktu meski Budi menang di praperadilan," ujar petinggi Istana itu.
Hitungan itu merujuk pada proses hukum yang diajukan Komisi Pemberantasan Korupsi jika Budi Gunawan memenangi praperadilan. Misalnya, mengajukan permohonan peninjauan kembali di Mahkamah Agung butuh lebih dari satu bulan. Demikian pula sebaliknya. Lagi pula, gugatan praperadilan tak akan mengubah status bekas ajudan Megawati Soekarnoputri tersebut sebagai tersangka. "Presiden lebih melihat dari sisi institusi Polri," katanya.
Petinggi Istana lainnya menuturkan Presiden sengaja mengumumkan keputusannya tentang Budi Gunawan setelah Sidang Paripurna Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan selesai. Ini penting karena revisi APBN 2015 di Dewan Perwakilan Rakyat dijadikan amunisi untuk tawar-menawar sejumlah kubu, termasuk di PDI Perjuangan, buat mendesak pelantikan Budi Gunawan.
Menurut orang dekat Jokowi di Istana ini, PDIP melakukan upaya terakhir agar Jokowi mau melantik Budi Gunawan. Namun, dalam perkembangan terakhir, PDIP akhirnya menyerah. Ini setelah NasDem, PKB, Hanura, bahkan Partai Persatuan Pembangunan relatif menerima keputusan Jokowi membatalkan pelantikan. "Meski ditekan saat pertemuan pun, Presiden sudah tegas dan kukuh tidak akan melantik," ujarnya.
Karena itu, setelah sepuluh jam bersidang, rapat paripurna ditutup dengan kesimpulan DPR menyetujui rancangan APBN Perubahan versi pemerintah. Pemerintah pun girang, karena akhirnya Jokowi tak memakai anggaran lama, mengikuti postur pemerintahan sebelumnya.
NADA suara Joko Widodo terdengar riang ketika menjelaskan sudah ada nama-nama calon Kepala Polri sebagaimana diusulkan Komisi Kepolisian Nasional. Jumat malam pekan lalu itu, Jokowi menyebutkan ada enam nama yang sudah dipantaunya, terutama dari media. Namun ia belum segera memutuskan siapa yang akan diajukannya.
Berkas nama-nama calon Kapolri itu sesungguhnya sudah sampai di meja Presiden pada Kamis pekan lalu. Bahkan Jokowi tak hanya mencoreti berkas-berkas soal rekam jejak enam calon Kapolri pengganti, tapi juga meminta Menteri Sekretaris Negara Pratikno membuat kajian hukum dan politik tentang Kapolri pengganti.
Menurut anggota Komisi Kepolisian, Muhammad Nasser, dalam rekomendasi terbaru, Presiden diserahi lebih banyak opsi kandidat Kapolri. Beberapa nama merupakan nama yang sebelumnya diajukan, yaitu Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti, Inspektur Jenderal Pengawasan Umum Dwi Priyatno, Kepala Badan Reserse Kriminal Budi Waseso, Kepala Badan Narkotika Nasional Anang Iskandar, dan Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Putut Eko Bayuseno.
Nama baru yang diajukan adalah bekas Kepala Badan Reserse Kriminal Suhardi Alius, Gubernur Akademi Kepolisian Pudji Hartanto Iskandar (angkatan 1983), Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan Anton Setiadji (angkatan 1983), Kapolda Jawa Timur Anas Yusuf (angkatan 1984), dan bekas Kapolda Bali Arif Wachjunadi (angkatan 1984). Nasser mengatakan beberapa calon dari angkatan yang lebih muda ikut disertakan agar memberi lebih banyak opsi bagi Presiden. "Kami beri masukan dari angkatan muda agar Presiden punya pilihan lebih banyak," ujarnya.
Salah satu petinggi Istana mencatat, dari enam nama yang diajukan Komisi Kepolisian, tinggal dua yang tertinggal, yaitu Badrodin Haiti dan Dwi Priyatno. Presiden mempertimbangkan Badrodin lantaran loyalitasnya. Pelaksana tugas Kapolri ini bersedia pasang badan saat Badan Reserse Kriminal akan menahan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Juga ketika polisi akan menggeledah KPK saat Jokowi sedang melawat ke sejumlah negara ASEAN. Jumat dua pekan lalu, Badrodin datang ke Istana Negara menemui Menteri Sekretaris Negara Pratikno serta Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto dan menegaskan tak akan terjadi penggeledahan.
Adapun Dwi Priyatno dianggap memenuhi syarat karena sudah dua kali menjadi kapolda di daerah tipe A. Selain itu, dalam rekomendasi yang diajukan Komisi Kepolisian, ia dinilai tak hanya punya pemahaman global tentang persoalan kepolisian, tapi juga memiliki kemampuan taktis operasional. "Dia dua kali pernah menjadi kapolda dan sebelumnya staf ahli," kata Nasser.
Badrodin dan Dwi dikenal sebagai kandidat yang punya jejaring politik. Badrodin diketahui dekat dengan Surya Paloh. Adapun Dwi dikenal dekat dengan Gubernur Jawa Tengah yang juga politikus PDIP, Ganjar Pranowo, juga dengan mantan Kepala Badan Intelijen Negara Hendropriyono.
Badrodin menanggapi dengan santai soal namanya yang berpeluang menjadi Kapolri. "Kita serahkan semua kepada Presiden," ujarnya di Istana pekan lalu. Dwi Priyatno juga menolak berkomentar tentang pencalonannya sebagai Kapolri. "Saya belum tahu. Tunggu keputusan dan proses hukum yang berjalan," katanya.
Sebaliknya, nama Budi Waseso, kandidat yang digadang kubu Budi Gunawan, terpinggirkan. Padahal, dalam sepekan terakhir, Presiden Jokowi dikabarkan sempat terpikat oleh gaya Kepala Badan Reserse Kriminal yang baru itu. Budi dinilai sebagai perwira yang berani dan tegas menyeret polisi yang menyimpang. "Keberanian seperti ini tidak banyak kita temukan pada perwira Polri yang lain. Dia berani menyeret orang yang salah. Semua takut sama dia," ujar Nasser.
Namun Presiden mempertimbangkan masukan lain tentang Budi Waseso, soal cara berkomunikasinya yang buruk. Salah satunya cara berkomunikasi di media dan ia menyebut bagian dari Polri sebagai pengkhianat. "Orang tegas seperti dia tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Dia tidak memiliki pencitraan. Ini kelemahannya," kata salah satu orang dekat Presiden.
Kartu Budi Waseso agaknya buram di tangan Presiden. Ini setelah Presiden mencermati kriminalisasi yang dilakukan penyidik Badan Reserse Kriminal di bawah pimpinan Budi Waseso. Salah satunya cara tim Budi Waseso menangkap dan menetapkan Bambang Widjojanto sebagai tersangka. Sosok Budi Waseso juga sering dikaitkan dengan orang dekat Budi Gunawan.
Siapa pun yang dipilih Presiden sebagai calon Kepala Polri pengganti, menurut petinggi Istana, Jokowi tak akan buru-buru mengumumkannya. Boleh jadi menunggu masa reses DPR, yang akan dimulai Kamis pekan ini, berakhir. "Supaya masih ada waktu cukup bagi Presiden untuk menguji calon Kapolri yang diinginkan," ujar petinggi Istana itu.
Jika sudah diumumkan tapi belum diproses, menurut dia, dikhawatirkan calon yang diajukan akan menghadapi tekanan dari pihak-pihak yang masih tak puas karena Budi Gunawan batal dilantik. Maka Presiden memilih mengumumkan nama pengganti Budi Gunawan setelah masa reses berakhir.
Jokowi masih enggan berkomentar tentang kandidat Kapolri. Ketika dimintai konfirmasi, ia hanya menjawab singkat, "Secepatnya."
Ananda Teresia, Ahmad Rafiq, Agustina Widiarsi, Jayadi Supriadin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo