Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Sejumlah kalangan menemukan beragam dugaan kecurangan dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Salah satu penyebabnya disebut-sebut adalah jomplangnya daya tampung sekolah di kota dan di desa.
Sejumlah usulan dan solusi ditawarkan agar dugaan kecurangan dalam PPDB saban tahun bisa diminimalkan.
KARTIKA masih ingat saat grasah-grusuh mencari sekolah buat anaknya saat pembukaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dibuka pada Mei 2024. Kartika—bukan nama asli seperti permintaannya untuk publikasi liputan ini—mencari orang yang bisa membantu putrinya masuk ke sekolah menengah atas negeri di Kota Depok, Jawa Barat. Sejak September 2023, ia menghubungi beberapa koleganya. “Sudah tiga orang saya hubungi,” ujar Kartika saat dihubungi Tempo pada akhir pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kartika menuturkan kabar datang pada Juni 2024. Dia dihubungi oleh dua dari tiga temannya. Mereka menawarkan jalur belakang untuk memasukkan anaknya ke maktab negeri. Saat itu anak pertama Kartika duduk di kelas IX sekolah menengah pertama swasta di Mekar Jaya, Kecamatan Sukmajaya, Kota Depok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah seorang temannya itu menjanjikan anaknya bisa masuk SMA Negeri 2 Kota Depok dalam PPDB 2024/2025 asalkan membayar Rp 19 juta. Pada PPDB tahun ajaran ini, koleganya itu mengklaim telah memasukkan dua siswa ke SMA tersebut.
Kolega yang lain menyebutkan telah memasukkan satu siswa lagi dengan membanderol Rp 23 juta untuk masuk ke SMA Negeri 3 Depok. “Mereka bilang bisa masuk lewat jalur prestasi non-akademik atau zonasi,” kata Kartika menirukan ucapan temannya itu. “Ada orang dalam dari sekolah yang bisa membantu.”
Unjuk rasa memprotes sistem PPDB zonasi dan afirmasi di depan gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, 24 Juni 2024. TEMPO/Prima Mulia
Kartika merupakan satu dari lima pelapor yang mengadukan dugaan pelanggaran PPDB ke kanal aduan Tempo. Dia tak mengatakan telah menerima atau menolak tawaran dari koleganya tersebut. Dia juga tidak menyebutkan di sekolah mana putrinya bersekolah.
Wakil Hubungan Masyarakat SMAN 2 Depok Asep Panji Lesmana saat dimintai konfirmasi mengatakan tidak ada siswa yang masuk dengan cara membayar seperti itu di sekolahnya. “Kalau ada, siapa namanya? Nanti kami cek,” kata Asep. Dia menegaskan, “Tidak ada kecurangan dalam PPDB" di sekolahnya.
Adapun Kepala SMAN 3 Depok tidak bisa ditemui saat Tempo datang ke sekolah itu. Para guru hanya mengarahkan wartawan koran ini ke bagian tata usaha dan meminta Tempo meninggalkan nomor telepon. “Nanti kami yang menghubungi,” ujar anggota staf bagian tata usaha SMAN 3 Depok.
Peristiwa serupa dialami Annisa—juga bukan nama sebenarnya. Dia berusaha memasukkan anaknya ke SMA negeri yang tergolong favorit di Kota Depok, Jawa Barat, pada PPDB tahun ajaran 2024/2025. Saat PPDB berlangsung, Annisa bertemu dengan seorang guru di sekolah anaknya.
Putra Annisa bersekolah di SMP Negeri 19 Depok. Dalam pertemuan itu, guru di SMPN 19 menyatakan nilai rapor anaknya rendah sehingga sulit bisa masuk ke SMA negeri di Depok. Namun guru tersebut menawari Annisa cara curang agar anaknya tetap bisa diterima di SMA negeri.
“Anak saya ditawari masuk dari jalur prestasi. Nilai rapor anak saya dinaikkan, tapi membayar Rp 8 juta untuk mengatrolnya,” kata Annisa kepada Tempo. “Tapi saya tolak karena khawatir bermasalah di kemudian hari.”
Belakangan, praktik lancung guru di SMPN 19 itu terbongkar Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada PPDB tahap II. Guru di SMPN 19 Depok itu ditengarai mengatrol nilai 51 siswanya untuk bisa masuk ke SMA negeri.
Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek menemukan nilai 51 calon peserta didik itu digelembungkan hingga 20 persen dari nilai asli yang tercatat di e-rapor. Tujuannya agar mereka bisa lolos ke SMA negeri lewat jalur prestasi akademik. Setelah kecurangan sekolah terbongkar, penerimaan semua anak tersebut di SMA negeri dianulir.
Kepala SMPN 19 Depok Nenden Eveline Agustina mengakui adanya katrol nilai rapor agar siswa mereka bisa masuk SMA negeri lewat jalur prestasi akademik. Sekolah, kata dia, siap menerima konsekuensinya. "Kami siap sesuai dengan aturan yang berlaku," tutur Eveline saat dimintai konfirmasi.
Adapun Kepala Dinas Pendidikan Kota Depok Siti Chaerijah Aurijah, Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Depok Sutarno, serta Kepala SMAN 1 Depok Usep Kasman belum bisa dimintai konfirmasi. Ketiga pejabat tersebut tidak merespons saat Tempo berupaya menanyakan proses PPDB di Kota Depok.
•••
KELOMPOK wali murid yang menamakan diri Perkumpulan Wali Murid Koloni 8113 menelusuri berbagai masalah di semua jalur PPDB Jakarta tahun ajaran 2024/2025. Penelusuran dilakukan secara manual dengan melihat dugaan kejanggalan dalam data calon peserta didik baru (CPDB) yang bisa diakses di www.ppdb.jakarta.go.id.
Hasil penelusuran sementara, Koloni 8113 menemukan 30 kasus yang ditengarai janggal di setiap jalur PPDB dari prestasi akademik dan nonakademik, zonasi, pindah tugas orang tua (PTO), serta jalur prestasi tahap II.
Anggota Koloni 8113, Kusman Sulaeman, mengatakan temuan 30 kasus itu hanya sampel masalah PPDB di Jakarta. Menurut dia, bila ditelusuri lebih jauh, akan terungkap ratusan masalah. “Sejumlah temuan ini memperkuat dugaan kecurangan dalam PPDB 2024/2025,” ujar Kusman di gedung Tempo pada Kamis, 19 September 2024.
Di jalur prestasi, kata Kusman, Koloni 8113 menemukan empat kejanggalan dengan modus hampir sama, yaitu dugaan pemalsuan sertifikat lomba dan sertifikat organisasi sebagai syarat masuk SMA negeri memakai jalur prestasi. Salah satu temuan kejanggalan itu ada di SMA Negeri 8 Jakarta Selatan.
Dia mengatakan calon siswa asal SMP Negeri 11 Jakarta itu mulanya mendaftar melalui jalur prestasi nonakademik untuk bisa menjadi murid di SMAN 8 Jakarta Selatan. Siswa tersebut dinyatakan lolos. Penyumbang bobot terbesar adalah sertifikat Juara 1 Tingkat Internasional Tidak Berjenjang, Festival Online Competition, dan Mexican Festival Diploma Monolit Festivals Nomination Folk Music.
Posko pra-pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2024 di Jakarta, 5 Juni 2024. TEMPO/Subekti.
Menurut Kusman, sertifikat tersebut tidak memenuhi syarat yang diatur dalam Surat Edaran Nomor 7/SE/2024 tentang input nilai rapor dan prestasi pada aplikasi Sistem Pendataan Nilai Rapor (Sidanira). SE itu dikeluarkan pada 23 Februari 2024 dan diteken pelaksana tugas Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Purwosusilo.
Dalam surat itu, Dinas Pendidikan Jakarta meminta setiap sekolah di Jakarta mendata nilai rapor prestasi akademik dan nonakademik untuk persiapan pelaksanaan PPDB tahun ajaran 2024/2025 pada aplikasi Sidanira. Surat edaran itu menjelaskan salah satu lomba yang tidak bisa masuk kategori prestasi adalah lomba yang bersifat pemasalan, ekshibisi, undangan, dan festival yang bukan kejuaraan.
Kusman menilai Mexican Festival Diploma Monolit Festivals Nomination Folk Music hanya festival biasa, bukan kejuaraan. Apalagi festival itu dilaksanakan secara online. “Tapi dinas pendidikan menerima saja. Saya menduga tim verifikator dinas tidak bekerja memverifikasinya,” tuturnya.
Berdasarkan penelusuran Tempo, festival tersebut bisa diikuti siapa pun dengan membayar 35-65 euro (sekitar Rp 600 ribu sampai Rp 1,1 juta). Selain kategori musik rakyat, ada kategori seperti seni teater dalam festival tersebut. Peserta juga bisa mengirim video berdurasi 8-10 menit yang kemudian dinilai juri. Setiap kategori memiliki juara 1, 2, dan 3.
Wakil Kepala Bidang Kesiswaan SMAN 8 Jakarta Gatot Handoko mengatakan sekolah tidak punya wewenang apa pun dalam proses penerimaan CPDB. Sekolah juga tidak memverifikasi data siswa yang masuk. "Semua verifikasi data itu dilakukan oleh Dinas Pendidikan Jakarta," ujar Gatot saat ditemui pada Rabu, 2 Oktober 2024. “SMAN 8 tidak berwenang menerima atau menolak calon siswa.”
Wakil Kepala SMPN 11 Jakarta Samsudin mengatakan operator sekolah hanya memasukkan sertifikat yang diberikan para siswa. Ia tak mau berkomentar banyak. “Maaf, ya. Segitu saja,” ujar Samsudin saat ditemui pada Rabu, 2 Oktober 2024.
Koloni juga menemukan dugaan kecurangan PPDB lewat jalur zonasi di SMAN 81, Cipinang Melayu, Jakarta, pada tahun ajaran 2023/2024. Kala itu SMAN 81 menerima 40 CPDB yang berasal dari satu rukun tetangga.
Dua pekan lalu, Tempo berkunjung ke SMAN 81 Jakarta untuk meminta penjelasan soal ini. Namun, Desy, anggota staf sekolah, meminta Tempo terlebih dahulu membuat surat permohonan wawancara dan melampirkan daftar pertanyaan. Setelah surat wawancara ia terima, pengurus sekolah SMAN 81 tak kunjung memberikan respons hingga berita ini diturunkan.
Adapun sekretaris RT 11 RW 6 Kelurahan Cipinang Melayu, Nasuha, mengatakan RT 11 ditempati oleh lebih dari 700 keluarga. Ia memperkirakan ada sekitar 1.800 warga di RT 11. Nasuha menilai wajar jika banyak anak diterima di SMAN 81 Jakarta. “Kami RT paling besar yang ada di Jakarta,” kata Nasuha saat ditemui pada Selasa, 15 Oktober 2024.
Tempo sudah menghubungi Lurah Cipinang Melayu Arroyantoro melalui akun media sosial Facebook dan Instagram beberapa waktu lalu. Namun ia belum merespons hingga berita ini terbit.
Selain di jalur zonasi, Koloni menemukan dugaan kejanggalan pada jalur pindah tugas orang tua (PTO). Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Jakarta, surat pindah tugas atau dokumen perpindahan tugas orang tua/wali dan CPDB bisa dibuat pada 10 Juni 2023 sampai 25 Juni 2024.
Namun Koloni 8113 menemukan ada 15 calon siswa yang diterima melalui jalur PTO dengan modus yang sama, yakni mengakali surat perpindahan domisili. Kusman menyebutkan salah satu kasus terjadi di SMPN 216 Jakarta, Salemba.
Calon siswa mulanya mendaftar PPDB melalui jalur prestasi untuk bisa mendaftar di SMP tersebut pada 10 Juni 2024. Kala itu calon siswa beralamat di Kelurahan Pasar Manggis, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan. Namun sekolah menolaknya karena nilai rapor calon siswa ini kalah bersaing dengan peserta lain.
Calon siswa itu lalu menempuh jalur PTO dengan alamat baru, yaitu di Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng, pada 13 Juni 2024. Jarak antara alamat lama dan baru hanya 4 kilometer. Walhasil, CPDB itu diterima dengan alamat baru.
Kusman menduga ada upaya untuk mengakali PPDB dengan membuat surat seolah-olah orang tua CPDB benar-benar pindah pekerjaan ke wilayah lain. Padahal, dalam kasus di SMPN 216 Jakarta, alamatnya masih di satu domisili yang sama.
Adapun Kepala SMPN 216 Jakarta Imam mengatakan sekolah tidak berwenang menyeleksi CPDB. Dia menjelaskan, CPDB diseleksi oleh tim verifikator Dinas Pendidikan Jakarta. “Kami sudah terima saja,” ucapnya saat ditemui pada Selasa, 15 Oktober 2024.
Ombudsman Republik Indonesia, yang setiap tahun memantau pelaksanaan PPDB di sejumlah provinsi, juga menemukan banyak kejanggalan. Pada PPDB 2024, lembaga negara pengawas penyelenggaraan pelayanan publik ini menemukan sejumlah dugaan maladministrasi.
Salah satunya penyimpangan prosedur pada jalur prestasi di Sumatera Selatan. Anggota Ombudsman, Indraza Marzuki Rais, mengatakan ada 911 CPDB di sejumlah SMA negeri di Sumatera Selatan yang tidak lolos, tapi tetap dinyatakan lolos. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Ombudsman menemukan manipulasi dokumen atau penitipan calon siswa melalui kartu keluarga pada jalur zonasi.
Secara keseluruhan, Ombudsman menerima aduan jalur prestasi sebanyak 467 laporan. Pada jalur prestasi, terdapat 141 laporan, jalur zonasi 138, tidak ada keterangan 130, jalur afirmasi 47, dan jalur perpindahan orang tua 11 aduan. Dari jumlah itu, sebanyak 14 persen merupakan kecurangan prosedur.
Indraza mengatakan salah satu modus baru dugaan kecurangan PPDB adalah penambahan jumlah rombongan belajar setelah penutupan PPDB. Dia mengungkapkan sejumlah sekolah tiba-tiba menambah kuota siswa setelah PPDB ditutup. Ternyata siswa yang mengisi kuota tersebut ditengarai titipan.
Modus kecurangan lain adalah mengikuti perlombaan digital untuk mendapatkan sertifikat yang akan digunakan untuk mendaftar PPDB lewat jalur prestasi. Indraza menyebutkan modus perlombaan ini biasanya digelar oleh panitia yang tidak jelas alias abal-abal. "Saat dicek, medali emasnya banyak, bukan hanya satu,” kata Indraza saat ditemui pada 6 September 2024.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan PPDB selama bertahun-tahun kerap mengalami masalah sama. Pemerintah juga belum optimal menyelesaikan masalah yang muncul. “PPDB akan terus bermasalah bila akar masalahnya belum diselesaikan,” ujar Ubaid saat dihubungi pada Jumat, 18 Oktober 2024.
Berdasarkan data JPPI per Juni 2024, terdapat 162 laporan masalah selama PPDB 2024. Masalah itu dari tipu-tipu nilai di jalur prestasi sebanyak 42 persen, manipulasi kartu keluarga di jalur zonasi 21 persen, mutasi 7 persen, ketidakpuasan orang tua di jalur afirmasi 11 persen, sampai dugaan gratifikasi 19 persen.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Almas Sjafrina, mengatakan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB menyebutkan PPDB harus berjalan tanpa diskriminasi. Namun, kata Almas, bila melihat sejumlah pasal, PPDB justru dilakukan secara diskriminatif. “Misalnya tidak ada penjelasan detail soal jalur seleksi,” ucap Almas saat berkunjung ke gedung Tempo pada Rabu, 18 September 2024.
Menurut Almas, masalah PPDB terus berulang karena pemerintah tidak efektif menyelesaikan akar masalah. Kegagalan pemerintah itu membuat masyarakat menjadi korban. “Warga dinilai curang. Padahal ini buah kegagalan pemerintah menyediakan fasilitas pendidikan yang tidak diskriminatif,” tutur Almas.
Koordinator Program dan Advokasi Seknas JPPI Ari Hardi mengatakan konstitusi mengatur setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pemerintah menyelenggarakan dan membiayai pendidikan dasar, menengah pertama, dan menengah atas untuk warga negara.
Namun, kata Ari, pemerintah justru melanggar konstitusi dengan menerapkan seleksi dalam sistem PPDB. Selama pemerintah masih memiliki perspektif seleksi, PPDB akan terus menjadi masalah. “Akibat sistem seleksi, akan ada banyak anak yang tak mendapatkan pendidikan,” kata Ari pada Rabu, 18 September 2024. Dia khawatir sistem PPDB akan mengakibatkan makin banyak anak tidak sekolah.
Badan Pusat Statistik pada 2023 mencatat anak tidak sekolah masih ditemukan setiap tahun. Anak yang seharusnya duduk di bangku SD, tapi tidak bersekolah sebanyak 0,67 persen. Di bangku SMP sebanyak 6,93 persen dan SMA/SMK 21,61 persen. Berdasarkan data itu, JPPI mengakumulasi terdapat lebih dari 3 juta anak yang tidak sekolah dan putus sekolah. Ari pun mengimbau pemerintah mengubah sistem PPDB.
Sejak bulan lalu, Tempo mencoba menghubungi Purwosusilo untuk wawancara. Namun dia selalu berdalih sibuk. “Saya masih rapat dengan DPRD Jakarta,” ucapnya saat dihubungi, Senin, 28 Oktober 2024.
Problem Daya Tampung Sekolah
Indraza Marzuki Rais mengatakan faktor utama orang tua siswa mengejar sekolah negeri bagi putra-putrinya adalah maktab milik pemerintah menawarkan pendidikan gratis. Sayangnya, tingginya minat masyarakat masuk sekolah negeri tidak sebanding dengan daya tampung.
Apalagi pemerintah menerapkan sistem zonasi PPDB. Salah satu prinsip agar sistem zonasi berjalan adalah adanya pemetaan rasio jumlah siswa yang melanjutkan jenjang pendidikan berikutnya dengan ketersediaan daya tampung sekolah. Sengkarut PPDB yang terjadi setiap tahun, kata Indraza, tidak akan selesai jika masalah utamanya tidak dibenahi, yakni daya tampung.
“Masalah PPDB akan terus terjadi jika permasalahan utamanya tidak diselesaikan,” ujar Indraza. “Petakan daya tampung sekolah dan berapa jumlah muridnya.”
Indraza menuturkan daya tampung sekolah negeri makin mengerucut jumlahnya di jenjang yang lebih tinggi. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan semester ganjil 2024/2025, jumlah SMP negeri mencapai 24.132 sekolah, sedangkan SMP swasta 19.305. Jumlah maktab di tingkat atasnya makin kecil, yakni 7.130 SMA negeri dan SMA swasta 7.648. Jumlah lulusan SMP 10.072.157 siswa, sedangkan lulusan SMA 5.377.846.
Kepala Badan Standar Nasional Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengatakan daya tampung sekolah negeri memang masih kurang. Mengutip kajian Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan pada 2024, Anindito menyebutkan ada 241 kabupaten/kota yang kekurangan daya tampung sekolah negeri pada jenjang SMP dan 345 kabupaten/kota pada jenjang SMA.
Menurut Anindito, daya tampung menjadi faktor penentu keberhasilan PPDB. Keterbatasan daya tampung dan sebaran sekolah negeri justru menimbulkan kompetisi dalam proses PPDB. “Orang akan memperebutkan akses ke sekolah. Kadang dengan cara yang tidak etis atau bahkan curang,” kata Anindito saat dihubungi pada Kamis, 24 Oktober 2024.
Salah satu strategi untuk mengatasi masalah daya tampung adalah skema PPDB bersama, yakni mengalihkan siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri untuk bersekolah swasta dan disubsidi penuh. Skema ini sudah dilakukan Provinsi Jakarta. Namun Anindito mengatakan tidak semua pemerintah daerah bisa menerapkan strategi ini karena keterbatasan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Pembangunan unit sekolah baru (USB) untuk mengatasi daya tampung juga tidak mudah. Sebelum membangun USB, kata Anindito, pemerintah daerah harus mempertimbangkan persebaran demografi penduduk dan pemetaan rasio siswa dengan ketersediaan sekolah. Menurut dia, pemerintah daerah memang bertanggung jawab menentukan daya tampung di tiap sekolah dan memutakhirkan data tiap tahun.
Anindito menyebutkan idealnya pemutakhiran data daya tampung oleh pemerintah daerah dilakukan sebelum PPDB dimulai. “Itu menjadi dasar untuk PPDB dan pembangunan kelas atau sekolah baru,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan masalah mengakar PPDB bukan sekadar kekurangan sekolah, melainkan juga distribusi sekolah negeri yang tidak merata. Menurut dia, sekolah di kota besar, seperti Jakarta atau Surabaya, akan mengalami krisis daya tampung karena jumlah peserta didik membeludak dibanding sekolah di daerah.
Satriwan mengatakan sekolah negeri di perdesaan atau kabupaten/kota di pelosok justru kekurangan murid. Menurut dia, hal itu terjadi karena sekolah negeri terkonsentrasi di satu titik. Bahkan ada SD negeri yang berdempetan.
Selain terkonsentrasi di satu lokasi, sekolah negeri sepi pendaftar karena jaraknya yang terlalu jauh dan akses transportasi umum yang sulit. Satriwan mengatakan pada akhirnya orang tua memilih menyekolahkan anaknya di sekolah swasta dekat rumah. “Jadi sebetulnya persoalan PPDB zonasi adalah ketidakmerataan sebaran sekolah,” tutur Satriwan.
Hendrik Yaputra, Ricky Juliansyah, dan Imam Hamdi berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Serial liputan ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support.