MUNGKIN tak banyak yang tahu bahwa Jenderal Nasution punya peran dalam Perang Vietnam. Setidaknya, buku Pokok-Pokok Gerilya yang diulisnya pernah diterjemahkan, dipelajari, dan diterapkan oleh tentara Vietcong. Sebaliknya, Amerika juga mengambil konsep yang sama untuk menghadapi Vietcong, dengan taktik: antigerilya.Tulisan Pokok-Pokok Gerilya yang disusun Jenderal Nasution itu bermula dari pengalamannya sebagai tentara yang, sejak Indonesia merdeka tahun 1945, selalu dibayang-bayangi oleh kembalinya penjajah Belanda. Dan memang Belanda mencoba kembali pada tahun 1947 (Clash I) dan 1948 (Clash II). Ketika itu, kualitas persenjataan tentara Belanda jauh lebih baik daripada tentara Indonesia yang dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman Februari 1948, Nasution diangkat menjadi Wakil Panglima Besar pada usia 30 tahun. Tentu saja tentara Indonesia, dengan persenjataan dan strategi yang konvensional, tak akan mampu menghadapi Belanda. Maka, Nasution menyodorkan konsep pengalamannya sebagai Panglima Divisi Siliwangi di Jawa Barat kepada Jenderal Soedirman. ''Untuk menghadapi serangan Belanda, perlu dibikin kantong-kantong gerilya dan menjalankan siasat bumi hangus semua kepentingan Belanda,'' demikian dituturkan kembali oleh Nasution suatu hari kepada TEMPO.Konsepnya itu diterima. Dibentuklah Wehrkreise untuk menghadapi tentara Belanda yang lebih kuat persenjataannya. Setiap unit Wehrkreise bisa bergerak secara terpisah (independen) dengan unit lainnya dalam melakukan penyerbuan ke benteng-benteng pertahanan Belanda. Nasution memperoleh pangkat jenderal empat bintang dalam usia 40 tahun pulalah yang kemudian mengembangkan konsep strategi Perang Teritorial. Pasukan yang disiapkan untuk operasi ini dilatih untuk membuat program kemasyarakatan, menyelenggarakan indoktrinasi untuk umum, dan menyelenggarakan kegiatan kebudayaan. Prajurit yang berlatar belakang dokter atau insinyur diterjunkan ke desa-desa. Malah, rombongan kesenian pun disertakan. Tujuannya: merebut hati dan pikiran rakyat. Hasil yang dicapai dengan strategi ini, menurut seorang pakar militer Indonesia asal Australia, Ulf Sundhaussen, memungkinkan terciptanya kondisi yang menguntungkan di kalangan rakyat bagi kepentingan militer untuk menghadapi musuh dari luar (Belanda) dan kaum pemberontak di dalam negeri (ketika tentara pusat secara efektif memadamkan perang saudara PRRI/Permesta dan DI/TII). Maka, sejak tahun 1960, TNI-AD menggunakan konsep Perang Teritorial ini sebagai doktrin pertahanan nasional. Belakangan, menurut Sundhaussen dalam bukunya yang berjudul Politik Militer Indonesia 1945-1967, doktrin itu ternyata juga sangat ampuh untuk membendung penyebaran politik PKI. Adalah Jenderal Nasution juga yang pertama-tama melemparkan gagasan konsep dwifungsi ABRI. Suatu hari di bulan November 1958, sebagai Kepala Staf TNI-AD, ia mengemukakan bahwa militer di Indonesia tak ingin menjiplak situasi di Amerika Latin (ketika itu, tentara punya kekuasan politik yang mutlak), tapi tak ingin pula meniru model Eropa Barat (tentara hanya tinggal di barak). Gagasannya itu kemudian dikenal dengan konsep Jalan Tengah (Middle Way). Nasution sendiri menamakannya sebagai ''Front Lebar''.Ketika Konstituante mengalami kemacetan untuk menyusun UUD yang baru, Nasution pun tampil. Ia mengusulkan dan bahkan ''mendesak'' Bung Karno agar kembali ke UUD '45. Menurut Adnan Buyung Nasution, yang menulis disertasi tentang Konstituante, Nasution dan tentara mendesak Pemerintah agar mengintervensi Konstituante untuk kembali ke UUD '45. Dengan UUD '45, agaknya tentara punya akses langsung ke presiden dan konsep dwifungsi bisa dijalankan. Sebab, dalam UUD '45 hanya ada tiga kelompok politik: partai politik, golongan fungsional, dan utusan daerah. Menurut pengamat militer Salim Said, Nasution melihat bahwa ABRI bisa masuk kelompok fungsional.Salim, seperti dalam bukunya The Genesis of Power, juga melihat bahwa Nasution melakukan penataan manajemen teritorial ABRI. Maksudnya, untuk memperkecil pengaruh partai politik dan memperbesar peranan kelompok karya dalam arena politik. Ia kemudian membentuk satuan-satuan teritorial komando daerah militer (kodam) di setiap provinsi, komando resor militer (korem) di tingkat keresidenan, komando distrik militer (kodim) untuk tingkat kabupaten, komando rayon militer (koramil) di tingkat kecamatan, dan badan pembina desa (babinsa) di tingkat desa. Aparat teritorial inilah yang kemudian sekaligus mengontrol pemerintahan sipil sukses dalam meredam pergolakan PRRI/Permesta di pengujung tahun 1950-an. Kemudian, satuan ini juga bekerja efektif mengimbangi PKI di awal tahun 1960-an. Maka, tak berlebihan kalau Ali Sadikin menjulukinya: ''Bapaknya TNI-AD''.Memang, sejarah mencatat, banyak hal pernah dibuat Nasution. Tak cuma diseputar ABRI. Banyak pula jabatan yang pernah disandangnya: Panglima Siliwangi (19461948), KSAD (19491952 dan 19551962), Menko Hankam/Kasab (19591966), dan Ketua MPRS (19661972) yang melantik Soeharto sebagai Presiden Indonesia (1968). Ia juga mendirikan partai IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia) pada tahun 1954.Kini, pada usianya yang 74 tahun, ada yang berkomentar, ia tak ubahnya seperti ''jenderal tanpa pasukan''. Dan kegiatan Pak Nas dalam Petisi 50 membuat dirinya bagaikan ''politikus tanpa partai''. Nasution, seperti digambarkan Sundhaussen, adalah orang yang berkepribadian kompleks. Tindakannya bermotivasi melampaui kepentingan pribadi dan golongan. Soekarno sendiri sering dibuat bingung. ''Sekalipun berbeda pendapat dengan Bung Karno, Nasution tetap loyal kepada pemimpinnya itu,'' tulisnya. Sikap serupa juga diperlihatkannya kepada Soeharto. ''Sebagai teman perjuangan, tak akan ada tantang-menantang. Itu bukan sifat saya,'' katanyakepada TEMPO. Ahmed Kurnia Soeriawidjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini