Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pendidikan merupakan salah satu pondasi dalam kemajuan suatu bangsa. Hal ini penting dibahas. Namun, isu pendidikan kerap kali tidak mendapat porsi yang besar di dalam pemberitaan di media massa. Isu pendidikan masih kalah dari isu politik, hukum, dan isu lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal tersebut disampaikan Frans Surdiasis, salah satu mentor dalam program Fellowship Jurnalisme Pendidikan Batch 3, yang digelar oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) bekerjasama dengan Paragon Technology and Innovation.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Semua orang secara normatif memang mengakui pendidikan itu penting, tetapi perlakuan terhadap pendidikan sebagai sebuah isu, tidak mendapat tempat yang seharusnya," ujar Frans, Kamis, 23 September 2021.
Untuk itu, ujar Frans, GWPP hadir dengan misi membawa isu pendidikan ke tengah. Dalam artian, pendidikan harus diperbincangkan dengan layak sebagai isu strategis melalui jurnalisme yang berkualitas.
Jurnalis senior The Jakarta Post itu menyebut, media dapat mengarusutamakan isu pendidikan melalui dua level. Pertama, di level mikro, dengan mengupayakan berita pendidikan mendapat perhatian dan tempat yang pantas dalam kebijakan editorial. Kedua, di level makro, media harus bisa membawa isu pendidikan menjadi perbincangan yang luas dan serius.
"Ada teman-teman wartawan dari daerah misalnya, mengeluhkan bahwa isu-isu pendidikan ini memang sering tidak dibaca. Nah, ini tantangan kita, bagaimana mengemas berita pendidikan ini dengan baik dan juga menarik melalui jurnalisme pendidikan yang berkualitas," ujar Frans.
Menurut dia, salah satu aspek yang harus diperhatikan agar isu pendidikan mendapat tempat di masyarakat adalah dengan menulis berita-berita yang relevan dengan kehidupan masyarakat dan mengangkat permasalahan yang sesuai dengan kepentingan pembaca.
"Kita seringkali melupakan dimensi-dimensi pembaca ini dalam produk jurnalistik kita. Saya kira, aspek inilah yang harus kita kembalikan. Kita harus berangkat lagi dari apa yang sebetulnya menjadi kepentingan pembaca," ujar lulusan S-2 Komunikasi Politik UI ini.
Sebagai kilas balik, Frans mengulas kembali munculnya gerakan public journalisme di Amerika Serikat pada tahun 90-an. Gerakan ini timbul dari kegelisahan media massa kala itu, yang merasa sudah bekerja keras menyampaikan informasi, namun tidak banyak hal yang berubah dalam kehidupan masyarakat. Lantas apa masalahnya?
"Salah satu masalah yang muncul dalam renungan wartawan masa itu adalah wartawan seringkali bergerak di tingkat elite. Mereka tidak berbicara dari sisi apa yang menjadi kepentingan pembaca. Misalnya, kalau meliput Pemilu, kita hanya meliput apa yang dibicarakan Jokowi, tapi kita sama sekali tidak meliput apa yang si Ujang atau si Udin inginkan dari Jokowi," ujarnya.
Frans menilai aspek relevansi dengan kepentingan masyarakat ini menjadi penting agar isu pendidikan mendapat tempat di hati pembaca. "Aspek lain yang juga patut diperhatikan adalah kebaruan serta berita yang dapat meningkatkan gairah pembaca. Misalnya dengan mengangkat kisah-kisah yang unik, dramatik, dan menarik," ujarnya.
Direktur Pelaksana GWPP, Nurcholis MA Basyari berharap, gerakan ini betul-betul dapat menumbuhkembangkan ekosistem pendidikan melalui pengarusutamaan isu-isu pendidikan,
baik lokal maupun nasional, ke dalam liputan/pemberitaan media massa.
"Kami mendorong peran media menjalankan fungsi penyebaran informasi, edukasi, dan kontrol yang
mengedepankan tanggung jawab sosial, budaya, dan politik dalam menggaungkan upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai nilai dan cita-cita bersama sesuai dengan amanat konstitusi UUD RI 1945," tuturnya.