Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tembok Rapuh di Tanjung Gusta

Kecilnya jumlah petugas membuat narapidana di Penjara Tanjung Gusta mudah kabur. Semudah nyolong mangga.

20 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Engsel besi itu menjerit saat pintu sel ditutup. Seorang petugas membenamkan anak kunci di lubangnya. Putaran penuh pergelangan tangannya mengurung belasan orang dalam sel lembap di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Deli Serdang, Sumatera Utara. Ritual yang sama dilakukan di setiap pintu pada setiap sore, setiap hari.

Semua pintu? Tidak juga. Sebuah pintu di blok D dilewati oleh petugas. Bahkan sipir itu sengaja membiarkannya terbuka. Menjelang tengah malam, 45 tahanan di sel itu berhamburan keluar. Bukannya kabur, mereka hanya pindah tidur di luar sel. Meski kesempatan terbuka lebar, para tahanan yang jinak itu memang tak pernah berniat lari.

Mustahil mengurung semua tahanan dalam sel. Kompleks Penjara Tanjung Gusta itu terdiri dari empat bagian. Ada tiga lembaga pemasyarakatan masing-masing untuk dewasa, anak-anak, dan wanita. Sementara satu lagi berupa rumah tahanan. Kompleks itu mestinya hanya bisa menampung 2.000 orang. Tetapi saat ini jumlah tahanan sekitar 4.150 orang. Akibatnya, sel-sel yang berukuran enam meter persegi diisi belasan tahanan.

Jumlah petugas pun sangat kurang. Kalau idealnya seorang petugas mengawasi tiga tahanan, di Tanjung Gusta seorang petugas menghadapi 20 tahanan. Akibatnya, petugas harus pandai-pandai berkawan dengan tahanan, agar nyawa mereka selamat.

Tak mengherankan jika 31 narapidana kabur dari Lembaga Pemasyarakatan Anak Tanjung Gusta, Jumat dua pekan lalu. Saat lolos, hanya ada empat petugas yang harus menjaga 13 pos. Para narapidana yang kabur itu adalah bagian dari 118 narapidana titipan Lembaga Pemasyarakatan Labuhan Deli. Karena sel yang sudah penuh, narapidana titipan ini dikumpulkan dalam aula yang tak terdapat jeruji besi. Mereka lolos dengan menjebol atap yang terbuat dari asbes. Hingga Selasa pekan lalu, polisi baru berhasil menangkap kembali 10 tahanan.

"Biasanya yang lari belum berkeluarga atau keluarganya hancur," kata Martin Pangaribuan, mantan tahanan LP Tanjung Gusta yang sudah bebas dua bulan lalu. Menurut pria yang divonis 18 tahun penjara karena terlibat kasus pembunuhan mahasiswa di Universitas HKBP Nomensen Medan ini, kabur hanya menyusahkan keluarga yang di rumah. Martin, yang memilih menjadi tahanan jinak, mendapat banyak remisi. Sehingga dia hanya menjalani tahanan separuh dari vonis hakim.

Selama dalam tahanan, Martin selalu menolak ajakan kabur. Meskipun dekat dengan petugas, rencana pelarian tak pernah bocor. Sebab, para tahanan mengenal satu hukum: jangan mengkhianati tahanan lain. Jika aturan main ini dilanggar, tak ada yang bisa menjamin keselamatan jiwanya.

Kabur juga membawa risiko jika tertangkap. Mereka bisa dipukuli petugas di depan tahanan lain, sebagai peringatan. Setelah itu masih ada hukuman dimasukkan ke sel khusus selama 12 hari. Kerugian lain, hak pembebasan bersyarat dan remisi satu tahun dicabut.

Menurut Martin, persahabatan antara tahanan dan sipir saling menguntungkan. Dia mengisahkan peristiwa pemberontakan tahanan dari Aceh, lima tahun lalu. Saat itu seorang petugas disandera belasan tahanan Aceh, sementara jumlah petugas bisa dihitung jari. "Siapa yang maju kalau bukan kami (tahanan lain)," kata Martin. Bantuan dari para narapidana itu dapat menggagalkan pemberontakan. Sebagai hadiah, mereka mendapat potongan masa tahanan selama dua bulan. Lumayan.

Meski bersahabat, penghuni lembaga pemasyarakatan tetap menjadi sapi perah bagi petugas. Saat keluarga menjenguk, di setiap pintu (ada dua pintu) yang dilewati mereka harus membayar Rp 3.000. Belum lagi tarif untuk memanggil tahanan yang besarnya bervariasi dari Rp 20 ribu hingga Rp 50 ribu.

Itu saja? Tunggu dulu, masih ada pungutan di dalam tahanan, dari uang kebersihan hingga uang keamanan bagi narapidana yang takut diganggu. Kalau mau mencicipi nasi bungkus dari luar penjara, ada lagi pungutan. "Kalau napinya foya-foya, sebulan bisa habis Rp 2 juta," kata Martin. Tetapi, bagi narapidana yang pandai-pandai berkawan, mereka tak banyak keluar uang.

Repotnya, jika petugas tahu ada tahanan yang ekonominya mapan, pungutan nyaris tak pernah berhenti, baik itu dilakukan petugas maupun sesama narapidana. Mereka ini biasanya dipenjara karena kasus korupsi, narkoba, atau narapidana dari warga keturunan. Biasanya para "sapi perah" itu membentuk kelompok agar bisa saling melindungi.

Kelompok narapidana berduit di Tanjung Gusta bahkan mendapat keistimewaan menempati blok tersendiri. Meski fasilitas di blok itu sama dengan blok lainnya, mereka baru dikunci setelah menjelang malam. Atau waktu besuknya lebih longgar.

Masalah tak hanya dihadapi narapidana berduit. Tahanan yang melarat pun harus mencari tambahan uang saku agar bisa bertahan. Jika badannya kekar, mereka bisa jadi preman penjara. Tetapi, bagi yang nyalinya kecil, terkadang mereka harus melacurkan diri. "Mereka mau disodomi karena butuh uang," kata Martin.

Kebutuhan biologis para narapidana meningkat setelah LP Tanjung Gusta melarang "kunjungan pribadi" suami atau istri sejak 1998. Alasannya, belum tentu yang diajak kencan itu istri resminya. Namun mereka tak kurang akal. Bila kondisi memungkinkan dan tentunya melupakan rasa malu, pacar atau istri ketika menjenguk sengaja berbaju seksi. Meski risiko dilihat orang lain, mereka terkadang nekat menunjukkan anggota badannya. "Bisa juga pegang-pegang sedikit, he-he-he...," kata Martin.

Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan, Mardjaman, mengakui bahwa 395 rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan yang ada di Indonesia saat ini kelebihan beban. Sekarang lembaganya mengurusi 86 ribu tahanan. Perbandingan jumlah petugas dan narapidana rata-rata 1 petugas mengawasi 60 narapidana. Bahkan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, seorang petugas menjaga 100 tahanan.

Selain itu, anggaran untuk setiap tahanan juga memprihatinkan. Di penjara yang penghuninya melebihi kapasitas, anggarannya hanya Rp 10 (ini angka benar, Anda tak salah baca) untuk setiap tahanan dalam sehari. Akibatnya, mereka harus pandai-pandai membagi anggaran. Anggaran pendidikan, olahraga, dan kesehatan, misalnya, terkadang habis untuk menutup biaya makan.

Membengkaknya jumlah tahanan juga diatasi dengan membangun lembaga pemasyarakatan yang berlantai dua. Mardjaman membandingkan, di negara maju keamanan penjara sudah memakai sistem elektronik. Petugas juga melakukan pendekatan keamanan terhadap tahanan. Pendekatan seperti itu mustahil dilakukan di Indonesia. Dengan jumlah petugas dan peralatan yang sangat kurang, bisa-bisa petugas hanya menjadi bulan-bulanan para narapidana.

"Hanya karena izin Tuhan, tak banyak tahanan yang kabur," kata Mardjaman sambil tersenyum. Trik paling jitu, sipir penjara harus melakukan pendekatan personal dengan tahanan. Mereka juga harus memperbanyak tahanan yang jinak sebagai kawan.

Beruntunglah narapidana di negeri ini tak banyak bertingkah. Sebagian besar pasrah dengan keadaan dan memilih tetap menempati sel-selnya meski harus berjubel. Padahal, untuk kabur dari lembaga pemasyarakatan, semudah anak-anak belasan tahun mencuri buah mangga di kebun tetangga.

Agung Rulianto, Bambang Soedjiartono dan Hambali Batubara (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus