Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Banyak pasien terduga Covid-19 tak mendapat perawatan semestinya sampai meninggal.
Ketua Umum Pengurus Besar IDI Daeng Mohammad Faqih mengatakan sebagian pasien terpaksa dirawat di rumah sakit non-rujukan.
Seorang dokter mengunggah video berisi permintaan kepada para pejabat daerah untuk membantu pasiennya mendapatkan ruang perawatan yang layak.
DOKTER Sagiran panik ketika mendapati kondisi tiga pasiennya memburuk pada akhir Maret lalu. Dua di antaranya menderita pneumonia, seorang lagi belum diperiksa tapi kondisinya sudah kritis. “Saya kontak rumah sakit rujukan Covid-19 satu per satu,” ujar pemilik Rumah Sakit Nur Hidayah di Desa Trimulyo, Jetis, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, itu pada Kamis, 16 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak satu pun dari 23 rumah sakit di sekitar Yogyakarta yang ia hubungi bersedia menerima pasiennya. Alasannya beragam, dari kamar penuh hingga meminta Sagiran menegakkan diagnosis bahwa pasien tersebut terindikasi menderita Covid-19. Sagiran puyeng karena kondisi pasiennya sudah darurat dan mesti ditangani secepatnya. Rumah sakitnya tak memiliki fasilitas mumpuni untuk merawat mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena tak tahu harus melarikan pasiennya ke mana, Sagiran mengunggah video berisi permintaan kepada para pejabat daerah agar membantu pasiennya mendapatkan ruang perawatan yang layak. Video itu viral. Ketua Ikatan Dokter Indonesia Cabang Yogyakarta Joko Murdiyanto langsung menelepon Kepala Intensive Care Unit Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, Yogyakarta. Ia meminta pasien Sagiran bisa dirawat di sana.
Dua pasien akhirnya bisa masuk RSUP Sardjito, satu dari 23 rumah sakit yang sebelumnya dikontak Sagiran. Seorang lagi dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sleman. Namun dua pasien yang dirujuk ke RSUP Sardjito meninggal beberapa jam setelah dipindahkan. “Sistem rujukannya berbelit-belit. Saya ngeri kalau mau merujuk pasien lagi,” ujar Ketua IDI Cabang Bantul itu.
Kepala Bagian Humas dan Hukum RSUP Dr Sardjito Banu Hermawan membantah jika rumah sakitnya disebut menolak pasien Sagiran. Ia beralasan, saat itu rumah sakit perlu menyiapkan sarana. “Jangan sampai pasien dirujuk tapi rumah sakit belum siap,” kata Banu.
Joko membenarkan kabar bahwa proses rujukan memang bermasalah. Setelah kejadian itu, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Daerah Istimewa Yogyakarta dan dinas kesehatan setempat bersepakat merapikan proses rujukan. “Sehingga tidak ada lagi pasien yang dirujuk menemukan masalah,” tuturnya.
Kejadian serupa menimpa dokter Bartholomeus Bayu Satrio Kukuh Wibowo di Bekasi, Jawa Barat. Ia terserang demam pada pertengahan Maret lalu. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan ia mengalami infeksi. Dokter yang memeriksa memasukkan Bayu ke kelompok orang dalam pengawasan dan memintanya diisolasi di rumah.
Hampir berselang sepekan, kondisinya memburuk. Napasnya makin berat. Ia dilarikan ke salah satu rumah sakit di Bekasi. Rekan sejawatnya berusaha mencarikan rumah sakit rujukan, tapi semuanya penuh. “Ia akhirnya meninggal tanpa sempat dirawat di rumah sakit rujukan,” ucap Ketua Umum Pengurus Besar IDI Daeng Mohammad Faqih. Bayu berpulang pada 26 Maret lalu. IDI mencatat Bayu sebagai satu dari 24 dokter yang meninggal karena Covid-19.
Sampai Jumat, 17 April lalu, jumlah penderita Covid-19 sudah mencapai 5.923 orang, 4.796 di antaranya dirawat. Data “Laporan Situasi Terkini Penanganan Covid-19” menyebutkan ada 439 rumah sakit rujukan di seluruh Indonesia. Berdasarkan data yang diambil pada 27 Maret lalu, kapasitas maksimal ruang isolasi yang tersedia hanya 2.062. Menurut Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Didik Budijanto, sebagian pasien dirawat di Rumah Sakit Darurat Penanganan Covid-19 Wisma Atlet. “Untuk perawatan pasien yang ringan,” katanya.
Menurut Faqih, dari laporan sejawatnya di daerah, sebagian pasien terpaksa dirawat di rumah sakit non-rujukan karena rumah sakit rujukan penuh. Banyak rumah sakit rujukan merawat pasien dengan gejala ringan. Semestinya, dia menjelaskan, rumah sakit rujukan hanya diperuntukkan bagi pasien bergejala berat dengan pneumonia. Yang bergejala ringan sampai sedang cukup dirawat di rumah sakit darurat seperti Wisma Atlet.
Namun Faqih dan koleganya tak bisa urun rembuk soal pengaturan itu karena pemerintah enggan membuka kondisi dan posisi pasien. “Kalau tahu posisi pasien dan kondisinya, kita tahu cara mengaturnya,” ujarnya.
Adapun Sagiran menilai kesulitan rujukan tersebut terjadi lantaran pemerintah daerah tak punya data sumber daya di rumah sakit rujukan, seperti jumlah dokter, ventilator, kamar unit perawatan intensif, dan ruang isolasi. Ia sudah berkali-kali mendorong Gugus Tugas daerah mendatanya. “Saya usulkan kumpulkan organisasi profesi IDI, perawat, apoteker. Enggak dipenuhi,” tuturnya.
Seorang anggota Gugus Tugas Covid-19 mengatakan salah satu penyebab penuhnya ruang perawatan adalah lamanya proses hasil pengecekan laboratorium untuk mengkonfirmasi pasien positif Covid-19. Hampir setiap hari pasien di rumah sakit rujukan menjalani tes usap (swab) untuk melihat adanya kuman yang menyebabkan penyakit itu. Jika kuman sudah tak ditemukan, mereka diizinkan pulang. Proses pengumuman itu memakan waktu sekitar lima hari, sehingga sebagian pasien yang mungkin sudah sembuh masih menempati kamar perawatan.
Kepala Pusat Pengendalian Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana Bambang Surya Putra mengatakan proses rujukan juga menjadi ribet lantaran belum semua rumah sakit menyetorkan data kondisi masing-masing setiap hari di situs rumah sakit yang dikembangkan Kementerian Kesehatan. Padahal, dia menerangkan, data tersebut diperlukan untuk mengetahui kondisi pasien dan ketersediaan sumber daya di setiap rumah sakit.
Data itu juga bisa digunakan para dokter untuk mencari lokasi rumah sakit rujukan yang masih punya kamar kosong. “Tapi, mungkin, karena sangat sibuk, mereka tak sempat mengisi,” ucapnya. Sampai pekan lalu, dari 2.899 rumah sakit di Tanah Air, baru sebagian yang melaporkan datanya.
Karena lambatnya pelaporan itu, Kementerian Kesehatan mengeluarkan maklumat bagi semua rumah sakit. Surat tertanggal 17 April 2020 meminta semua rumah sakit melaporkan data kondisi mereka. Sehari kemudian, sudah ada 2.456 rumah sakit yang menyetorkan data.
Pelaksana tugas Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB, Dody Ruswandi, juga menyebutkan Gugus Tugas sedang meminta data ke sebagian rumah sakit rujukan. Data tersebut antara lain mengenai kondisi pasien yang ditangani dan fasilitas yang dimiliki. Dari pemetaan itu, pemerintah berencana menentukan strategi jika terjadi lonjakan jumlah pasien. “Untuk mengantisipasi kasus ke depan,” ujarnya.
Menurut Ketua Asosiasi Rumah Sakit Swasta Susi Setiawati, langkah antisipasi lain yang diambil pemerintah untuk mengatasi ledakan kasus Covid-19 adalah meminta semua rumah sakit, termasuk yang bukan rujukan, bersiap menangani pasien corona.
Rumah sakit Sagiran salah satu yang sudah bersiap. Ia menyulap area tempat parkir rumah sakitnya menjadi ruang isolasi seadanya untuk pasien yang diduga terinfeksi corona. Ruangan berukuran 6 x 6 meter itu diisi tiga kasur dengan penyangga berkarat yang masing-masing dibatasi tirai plastik hijau dan dilengkapi tiga tabung oksigen, kursi roda, kipas angin, serta kursi plastik. Mereka kini menampung delapan pasien dalam pengawasan dan 49 orang dalam pengawasan. ODP ditempatkan di kamar rawat umum.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Brian Sriprahastuti mengatakan Gugus Tugas akan mulai membicarakan imbas pada layanan kesehatan lain pekan depan. Menurut dia, ada pelayanan kesehatan yang tidak bisa ditunda, di antaranya pemeriksaan kehamilan dan persalinan, imunisasi, serta pengobatan penyakit infeksi kronis. Juga pelayanan kesehatan khusus lain seperti hemodialisis dan transfusi darah. “Nantinya, layanan kesehatan yang bersifat emergensi tetap dijalankan,” kata anggota Gugus Tugas itu.
Sebagian rumah sakit swasta, Susi melanjutkan, juga sudah membatasi layanan sejak terjadi pandemi. Mereka meminta beberapa golongan pasien, seperti berusia lanjut, memiliki penyakit kronis, dan anak-anak berkebutuhan khusus, tak berobat ke rumah sakit kecuali dalam keadaan darurat. Mereka khawatir orang-orang dengan sistem kekebalan tubuh tak prima ini malah terkena Covid-19 di rumah sakit. “Sebagian pasien lain juga mungkin takut berobat karena sedang ada wabah,” tuturnya.
NUR ALFIYAH, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), YOGI (BATAM), ANWAR SISWADI (BANDUNG), NURHADI (SURABAYA), HUSSEIN ARBI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo