Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penggunaan ChatGPT dalam dunia pendidikan masih menjadi polemik dan menimbulkan kontroversi. Di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) chatbot artificial intelligence atau AI tersebut dimanfaatkan untuk memaksimalkan penelitian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itulah, Direktorat Inovasi Pemeringkatan dan Publikasi Ilmiah Unesa mengadakan workshop bertajuk AI for Education: Pemanfaatan ChatGPT untuk Menganalisa Kelayakan Penelitian (State of The Art)" pada Jumat, 20 Oktober 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai pemateri, penyelenggara menghadirkan Wisnu Jatmiko dari Universitas Indonesia. Guru besar Fakultas Ilmu Komputer itu menjelaskan, ChatGPT atau bisa disebut generative pre-training transformer merupakan kecerdasan buatan yang cara kerjanya memakai format percakapan.
Seseorang dapat memberi pertanyaan kepada jenis AI ini dan secara otomatis memperoleh jawaban dalam waktu singkat. "Pengembangan AI tidak langsung ada, tetapi memiliki perjalanannya yang dimulai dari tahun ke tahun dan tidak langsung berhasil bahkan justru banyak pengguna yang kecewa tentang ekspektasi dari pembuatan AI itu sendiri," terangnya dilansir dari situs Unesa pada Ahad, 22 Oktober.
Ada beberapa bahaya yang berasal dari AI seperti ChatGPT yang sedang marak akhir-akhir ini. Selain membuat malware, ChatGPT bisa jadi membuat email phising, dalam dunia kerja dapat mengelabui perekrut, hingga pada bidang pendidikan akan memberi jawaban yang kurang tepat.
Banyak fungsi yang didapat dari ChatGPT ini seperti membantu untuk membuat latar belakang teori pengertian, membantu pengguna dalam percakapan, seperti menjawab pertanyaan, memberikan informasi, bahkan mengajukan pertanyaan balikan.
Hal itu tentunya membuat ChatGPT memiliki sisi positif dalam membantu para pelajar dan mahasiswa untuk berdiskusi pada suatu topik. "Penggunaan AI tidak bisa disalahkan, pasalnya pada kampus yang bergengsi di luar negeri sana, ChatGPT merupakan keharusan mereka dalam belajar," katanya.
Dalam dunia pendidikan, sebelum menggunakan ChatGPT, ada beberapa yang perlu diperhatikan seperti memiliki pemahaman dasar yang kuat, yang dapat diperoleh melalui pembelajaran formal, seperti yang diajarkan di perguruan tinggi.
Dengan landasan tersebut, kata Wisnu, penggunaan ChatGPT dapat menjadi alternatif yang berpotensi untuk meningkatkan kemampuan akademik dan mengasah kemampuan berpikir yang lebih kritis.
ChatGPT dapat digunakan untuk menemukan ide, permasalahan, atau kesenjangan penelitian. Bisa untuk mencari kerangka penelitian dan kerangka penulisan. Pun bisa membantu memahami narasi atau terjemahan, hingga mengakhiri kutipan dan referensi.
Terkait poin terakhir ini, lanjutnya, tidak boleh sembarang, karena chatbot AI tidak dapat menemukan sumber tertutup seperti jurnal berbayar, karenanya perlu divalidasi lagi.
"Ada beberapa kekeliruan atau yang tidak boleh dilakukan orang kampus dengan ChatGPT yaitu tidak digunakan untuk penulisan draf pertama tulisan, tidak boleh juga untuk menulis surat untuk submit ke jurnal internasional," bebernya.
Di Indonesia, penyesuaian lain perlu dilakukan agar pemanfaatan ChatGPT dapat dioptimalkan dalam konteks pendidikan, dengan mempertimbangkan karakteristik dan kebutuhan dalam sistem pendidikan Indonesia.
Wakil Rektor Bidang Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat, Inovasi, Publikasi, dan Pemeringkatan Universitas, Junaidi Budi Prihanto, mengatakan penggunaan kecerdasan buatan seperti ChatGPT selalu menjadi sorotan khususnya dalam bidang pendidikan dan riset.
Keberadaan ChatGPT sering dijumpai pada pengguna bahkan pelajar dan mahasiswa dalam membantu menyelesaikan tugas yang diberikan.
"Tentu hal ini membawa sejumlah aspek positif dan negatif yang memegang peranan penting dalam perkembangannya sehingga setelah kegiatan ini berlangsung dapat menjadikan kecerdasan buatan bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin," terangnya.
Pilihan Editor: BMKG Ingatkan Dampak Perubahan Iklim Dialami Seluruh Dunia