MUNGKIN baru kali ini DPR agak leluasa bertanya-tanya soal
Pertamina. Menurut catatan seorang wartawan yang mengikuti
sidang-sidang DPR, dulu kalau para anggota ingin tahu soal
perusahaan minyak negara yang lagi gawat ini, biasanya
tanyajawab agak seret. Dulu sering pertanyaan harus dimajukan
tertulis. Kini Ibnu Sutowo sedang cuti sakit, berobat di AS.
Dalam serangkaian rapat kerja pekan lalu, DPR menghadapi para
Menteri. Jawaban nampaknya lancar. Sementara itu masalah hutang
Pertamina sudah dikemukakan terbuka oleh Presiden sendiri dalam
pidato RAPBN-nya. Maka tambah jelaslah segi-segi krisis
Pertamina itu, setelah pelbagai Komisi mendengar keterangan
Menteri Pertambangan Moh. Sadli, Gubernur Bank Indonesia Rachmat
Saleh, Menteri EKUIN Widjojo, dan -- lewat pleno-penjelasan
Menteri Keuangan Ali Wardhana. Beberapa hal yang bisa
dikemukakan:
Ada sejumlah AS $ 999,5 juta (Rp 415 milyar) uang yang belum
disetorkan Pertamina kepada Negara. Ini adalah pajak yang harus
dibayar Pertamina sendiri, plus pajak perusahaan minyak lain
yang dipercayakan lewat Pertamina. Angka tersebut kira-kira AS $
100 juta lebih tinggi dari yang dulu diketahui. Jumlah-itu masih
merupakan hutang Pertamina kepada Pemerintah. Sementara itu,
Pemerintah juga kasih pinjaman kepada Pertamina untuk membayar
hutang-hutangnya kepada luar negeri. Tahun lalu jumlahnya Rp 743
milyar. Tahun ini belum dikemukakan angkanya. Rachmat Saleh juga
tak mengemukakan berapa jumlah sisa hutang Pertamina di dalam
dan di luar negeri. Jumlah seluruh hutang Pertamina secara pasti
sampai sekarang nampaknya memang belum diketahui oleh pemerintah
sendiri. Rachmat Saleh menyatakan bahwa "neraca berdasarkan
prinsip akuntansi yang wajar masih perlu disusun untuk
Pertamina". Tak ada anggota DPR yang bertanya, apakah selama ini
Pertamina tak punya prinsip akuntansi yang wajar.
Ada penertiban personalia, dalam taraf permulaan. Awal minggu
yang lalu Menteri Pertambangan membebas-tugaskan seorang pejabat
sipil, menurut Menteri Sadli sendiri di depan Komisi Vl.
Sementara itu beberapa petugas Pertamina yang dikaryakan dari
ABRI sudah ditarik kembali. Maksudnya sudah tak di Pertamina
lagi, tentu. Tapi Menteri tak menyebutkan apakah itu sebagai
sanksi (hukuman). Yang jelas, sanksi terhadap personalia menurut
pengakuan Menteri sendiri "belum dilaksanakan". Sebab untuk itu
harus ada "keadilan dan bukti-bukti". Tapi menarik juga cerita
seorang anggota DPR -- dalam sidang Komisi X dengan Rachmat
Saleh tentang penjaga pameran lukian di Jepang yang membunuh
diri, gara-gara lukisan yang dijaganya hilang. Ia merasa
bertanggung-jawab atas hilangnya lukisan karya pelukis Perancis
tenar Henri de Toulouse Lautrec itu. Sang anggota lalu
membandingkan kejadian itu dengan krisis Pertamina. Tak jelas
apakah Rachmat Saleh, seorang gubernur Bank, terharu oleh contoh
penjaga lukisan yang secara dramatis melakukan seppuku atau
menbedah perut sendiri itu.
Menteri Pertambangan mengakui bahwa beberapa waktu yang lalu
ada beberapa kapal tanker Pertamina yang ditahan di luar negeri
karena Pertamina belum melunasi pembeliannya. Perkara ini,
menurut Sadli, sudah diselesaikan oleh Menteri Perdagangan
Radius Prawiro dan Menteri Penertiban Aparatur Negara Sumarlin.
Pertamina diakui banyak mengoperasikan kapal tanker besar dengan
sistim sewa-beli hire purchase). Akibat resesi ekonomi dunia,
dan penghematan minyak, operasi tanker itu menyebabkan Pertamina
rugi besar Sejak 1975, banyak tanker Pertamina menganggur karena
kurang muatan. Ini menyulitkan buat membayar angsuran
kapal-kapal besar itu. Dan tunggakan dalam sewabeli itu, menurut
Menteri, termasuk dalam jumlah hutang Pertamina. Tak disebutkan
dengan begitu jadi berapa itu hutang Pertamina -- sebab harga
tanker mahal sekali.
Lalu apa yang akan dilakukan dengan tanker-tanker yang tidak
punya kerja itu, yang ongkosnya besar'? Dijual, di masa seperti
ini, tak akan ada yang mau beli dengan harga pantas. Padahal
jumlahnya "terlalu banyak" (salah satu bernama "Ibnu"). Dan
nampaknya Pemerintah belum punya jalan keluar yang pasti untuk
itu.
Menarik ialah pertanyaan seorang anggota DPR: tidak mungkinkah
Pertamina kita "jatuh" karena ada modal asing, yang sengaja
berbuat supaya begitu? Jawab Menteri Sadli: Kurang indikasinya,
jadi tak bisa bilang apa-apa. Tapi "kita harus tetap waspada".
Di depan Komisi X Menteri Widjojo sementara itu rupanya
menghadapi pertanyaan yang serupa. Widjojo menyatakan "masih
perlu diteliti", apakah masalah Pertamina dan kesulitan ekonomi
yang kita alami ada hubungannya dengan kegiatan luar yang tidak
menghendaki keefektifan potensi minyak kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini