Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Yang Agak Baru Di DPR

DPR agak leluasa bertanya soal pertamina yang kondisinya goyah ketika Ibnu Sutowo berobat di AS. Presiden juga mengemukakan masalah hutang pertamina dalam pidato RAPBN.

21 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUNGKIN baru kali ini DPR agak leluasa bertanya-tanya soal Pertamina. Menurut catatan seorang wartawan yang mengikuti sidang-sidang DPR, dulu kalau para anggota ingin tahu soal perusahaan minyak negara yang lagi gawat ini, biasanya tanyajawab agak seret. Dulu sering pertanyaan harus dimajukan tertulis. Kini Ibnu Sutowo sedang cuti sakit, berobat di AS. Dalam serangkaian rapat kerja pekan lalu, DPR menghadapi para Menteri. Jawaban nampaknya lancar. Sementara itu masalah hutang Pertamina sudah dikemukakan terbuka oleh Presiden sendiri dalam pidato RAPBN-nya. Maka tambah jelaslah segi-segi krisis Pertamina itu, setelah pelbagai Komisi mendengar keterangan Menteri Pertambangan Moh. Sadli, Gubernur Bank Indonesia Rachmat Saleh, Menteri EKUIN Widjojo, dan -- lewat pleno-penjelasan Menteri Keuangan Ali Wardhana. Beberapa hal yang bisa dikemukakan:  Ada sejumlah AS $ 999,5 juta (Rp 415 milyar) uang yang belum disetorkan Pertamina kepada Negara. Ini adalah pajak yang harus dibayar Pertamina sendiri, plus pajak perusahaan minyak lain yang dipercayakan lewat Pertamina. Angka tersebut kira-kira AS $ 100 juta lebih tinggi dari yang dulu diketahui. Jumlah-itu masih merupakan hutang Pertamina kepada Pemerintah. Sementara itu, Pemerintah juga kasih pinjaman kepada Pertamina untuk membayar hutang-hutangnya kepada luar negeri. Tahun lalu jumlahnya Rp 743 milyar. Tahun ini belum dikemukakan angkanya. Rachmat Saleh juga tak mengemukakan berapa jumlah sisa hutang Pertamina di dalam dan di luar negeri. Jumlah seluruh hutang Pertamina secara pasti sampai sekarang nampaknya memang belum diketahui oleh pemerintah sendiri. Rachmat Saleh menyatakan bahwa "neraca berdasarkan prinsip akuntansi yang wajar masih perlu disusun untuk Pertamina". Tak ada anggota DPR yang bertanya, apakah selama ini Pertamina tak punya prinsip akuntansi yang wajar.  Ada penertiban personalia, dalam taraf permulaan. Awal minggu yang lalu Menteri Pertambangan membebas-tugaskan seorang pejabat sipil, menurut Menteri Sadli sendiri di depan Komisi Vl. Sementara itu beberapa petugas Pertamina yang dikaryakan dari ABRI sudah ditarik kembali. Maksudnya sudah tak di Pertamina lagi, tentu. Tapi Menteri tak menyebutkan apakah itu sebagai sanksi (hukuman). Yang jelas, sanksi terhadap personalia menurut pengakuan Menteri sendiri "belum dilaksanakan". Sebab untuk itu harus ada "keadilan dan bukti-bukti". Tapi menarik juga cerita seorang anggota DPR -- dalam sidang Komisi X dengan Rachmat Saleh tentang penjaga pameran lukian di Jepang yang membunuh diri, gara-gara lukisan yang dijaganya hilang. Ia merasa bertanggung-jawab atas hilangnya lukisan karya pelukis Perancis tenar Henri de Toulouse Lautrec itu. Sang anggota lalu membandingkan kejadian itu dengan krisis Pertamina. Tak jelas apakah Rachmat Saleh, seorang gubernur Bank, terharu oleh contoh penjaga lukisan yang secara dramatis melakukan seppuku atau menbedah perut sendiri itu.  Menteri Pertambangan mengakui bahwa beberapa waktu yang lalu ada beberapa kapal tanker Pertamina yang ditahan di luar negeri karena Pertamina belum melunasi pembeliannya. Perkara ini, menurut Sadli, sudah diselesaikan oleh Menteri Perdagangan Radius Prawiro dan Menteri Penertiban Aparatur Negara Sumarlin. Pertamina diakui banyak mengoperasikan kapal tanker besar dengan sistim sewa-beli hire purchase). Akibat resesi ekonomi dunia, dan penghematan minyak, operasi tanker itu menyebabkan Pertamina rugi besar Sejak 1975, banyak tanker Pertamina menganggur karena kurang muatan. Ini menyulitkan buat membayar angsuran kapal-kapal besar itu. Dan tunggakan dalam sewabeli itu, menurut Menteri, termasuk dalam jumlah hutang Pertamina. Tak disebutkan dengan begitu jadi berapa itu hutang Pertamina -- sebab harga tanker mahal sekali. Lalu apa yang akan dilakukan dengan tanker-tanker yang tidak punya kerja itu, yang ongkosnya besar'? Dijual, di masa seperti ini, tak akan ada yang mau beli dengan harga pantas. Padahal jumlahnya "terlalu banyak" (salah satu bernama "Ibnu"). Dan nampaknya Pemerintah belum punya jalan keluar yang pasti untuk itu.  Menarik ialah pertanyaan seorang anggota DPR: tidak mungkinkah Pertamina kita "jatuh" karena ada modal asing, yang sengaja berbuat supaya begitu? Jawab Menteri Sadli: Kurang indikasinya, jadi tak bisa bilang apa-apa. Tapi "kita harus tetap waspada". Di depan Komisi X Menteri Widjojo sementara itu rupanya menghadapi pertanyaan yang serupa. Widjojo menyatakan "masih perlu diteliti", apakah masalah Pertamina dan kesulitan ekonomi yang kita alami ada hubungannya dengan kegiatan luar yang tidak menghendaki keefektifan potensi minyak kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus