ULANG TAHUN, eh, Dies Natalis Universitas Indonesia ke-XXVI Sabtu pekan lalu agak istimewa. Kemeriahan ditaruh di Gelanggang Mahasiswa Kuffingan yang megah (tapi tak selamanya ramai) itu. Dan di hari itu pula, seorang Menteri Republik Indonesia yang memang orang lama dari Fakultas Ekonomi, Emil Salim, dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap. Menteri Perhubungan itu sudah sejak dua tahun lalu mendapat gelar Profesor tapi baru hari itu pidato pengukuhannya dibacakan. Setebal 37 halaman, pidato yang berjudul "Perencanaan Pembangunan & Perataan Pendapatan" itu menarik. Emil Salim, yang dulu banyak menulis, seperti biasa punya bahasa yang jernih. Tak ada slogan pemerintah. Dan perkara "perataan pendapatan" memang merupakan masalah yang aktuil dewasa ini. Suara seorang teknokrat pemerintah vang ikut menentukan perencanaan, dengan sendirinya ingin didengar. Selama ini lebih banyak yang bicara adalah orang luar. Hingga timbul kritik, seakan-akan para teknokrat di atas itu tak peduli soal perataan pendapatan. Apalagi mereka, tentang soal ini, rata-rata seperti susah bicara (lihat: Bung Hatta, Ibnu, Dan Kue, hal. 6). Maka apa yang dikatakan Prof. Emil Salim, Guru Besar tetap dalam Ekonomi Perencanaan di Fakultas Ekonomi U.I. ini? Ternyata Emil Salim tak mengulang semboyan -- yang antara lain dipakai pemerintah Brazilia dan kadang juga Indonesia -- bahwa "kue" pembangunan harus diperbesar dulu, baru kemudian dibagi. Ia bahkan mengatakan, para ahli ekonomi kini menolak angapan yang selama ini berlaku, bahwa proses pembangunan akan disusul oleh proses redistribusi pendapatan dan meningkatnya penyerapan tenaga kerja. Sebagaimana banyak ahli kini, Emil Salim mengemukakan "kekurangan pokok" proses pembangunan selama Dekade Pembangunan lampau. Begitu rupa kalimat-kalimatnya, hingga bisa kedengaran seperti sebuah oto-kritik dari seorang teknokrat perencana yang kecewa -- meskipun tentunya tak dimaksudkan begitu. "Kekurangan pokok..dalam proses pembangunan selama Dekade Pembangunan lampau adalah bahwa tidak jelas untuk siapa sesungguhnya pembangunan itu". Sasaran pembangunan untuk menaikkan tingkat pertumbuhan pendapatan nasional bruto -- GNP -- tidaklah cukup. Kata Emil Salim pula: "Pengalaman selama Dekade Pembangunan yang lampau menunjukkan keharusan untuk menjatuhkan pilihan bagi sasaran pembangunan ini terutama kepada mereka yang miskin". Sebab, "golongan miskin inilah yang menderita kemunduran dalam pembagian pendapatan selama proses pembangunan berlangsung". Tapi teknokrat ini menambahkan, bahwa masalah pembangunan dengan perataan pendapatan di negara berkembang adalah masalah baru. "Kita berada pada perbatasan wilayah ilmu pengetahuan yang baru dan muda. Padahal ketegangan sosial yang terselubung dalam permasalahan ini adalah cukup gawat". Maka ia pun menyerukan agar tugas untuk "menjelajah perbatasan baru ilmu ekonomi perencanaan ini" dilaksanakan. Terutama Fak. Ekonomi UI, yang punya "kewajiban moril yang relatif lebih besar di sini", sebab banyak anak didiknya terlibat dalam proses dan perkembangan pembangunan kini. Lalu kata Emil Salim, yang ditujukan kepada para mahasiswa: "Peranan cendekiawan di negara berkembang adalah lebih dari sekedar menjadi intelek yang menjual keahlian dan ilmunya kepada siapa yang menggajinya". Cendekiawan adalah "pemikir dan pembawa suara hati nurani masyarakat". Kata-kata itu tidak baru, tapi menyentuh hati juga di saat seperti sekarang. Atau tak lagi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini