TAMPAKNYA pencalonan presiden di Sidang Umum MPR tiga tahun mendatang tak akan riuh-rendah oleh apel kebulatan tekad atau semacamnya. Sebab, Golkar, sebagai kekuatan sosial politik terbesar, sudah menyatakan tekadnya untuk tidak merekayasa pernyataan kebulatan tekad atau dukung-mendukung seperti yang terjadi sebelumnya, menjelang pemilihan presiden nanti. Penegasan itu disampaikan Ketua DPP Golkar Jacob Tobing dalam acara sarasehan DPP Golkar dengan wartawan di kantor organisasi itu di Slipi, Jakarta, Selasa pekan lalu. "DPP Golkar tidak memikirkan adanya kebulatan tekad itu," kata Jacob. Lalu apakah pernyataan Golkar untuk mencalonkan Pak Harto kembali sebelum SU MPR 1988 yang lalu itu bukan rekayasa kebulatan tekad? Tampaknya bukan. Hal itu diperjelas oleh Ketua Umum Golkar Wahono kemudian dalam acara berbuka puasa di DPP Golkar 19 April yang lalu. Dalam pendapat Wahono, kebulatan tekad itu tak bisa diganggu-gugat bila itu benar-benar tumbuh dan berkembang dari bawah. "Kalau munculnya spontan, tak ada yang menyuruh dan mengatur, bagaimana mau dicegah?" ujar Wahono. Jadi, rekayasa kebulatan tekad baru tak sesuai dengan kebijaksanaan Golkar bila itu terjadi karena ada yang mengatur atau menyuruhnya. Maka, dalam menghadapi SU MPR nanti, Wahono menjamin: Golkar tak akan berusaha memobilisasikan gerakan kebulatan tekad. Bagi PDI, mengorganisasikan penggalangan dukungan bagi seorang calon justru diperlukan. Menurut Ketua Umum PDI Soerjadi, seorang calon pemimpin harus mencari dukungan dari orang yang dipimpinnya, sementara yang dipimpin harus berupaya mencari pemimpin yang terbaik buat dirinya. "Dari kedua sisi itu, penggalangan dukungan perlu diorganisasikan," katanya. Artinya, ada rekayasa di sini. Tapi itu mesti dilakukan dalam semangat demokratis. "Kalau diiringi manipulasi dan ancaman, itu namanya bukan kebulatan tekad," kata Soerjadi. Tampaknya, meskipun Sidang Umum MPR baru berlangsung pada 1993, dukungan terhadap Presiden Soeharto sudah terdengar. Pertengahan September 1989, misalnya, Wakil Ketua F-PDI di DPR Ipik Asmasubrata, atas nama pribadi, secara terbuka meminta kesediaan Presiden Soeharto untuk kembali dicalonkan sebagai presiden dalam SU MPR mendatang. Ipik sebetulnya tak sendirian. Awal Oktober 1989 itu, ternyata sejumlah tokoh dan ulama Islam diam-diam sudah pula membuat pernyataan tertulis yang isinya hampir sama. Surat itu ditandatangani atas nama pribadi oleh puluhan tokoh dan ulama seperti Hasan Basri, Prodjokusumo, dan Ibrahim Hosein (MUI), Lukman Harun (Muhammadiyah), K.H. Masjkur, Anwar Nuris, Aminuddin Azis (NU), bekas Menko Kesra Alamsyah Ratuperwiranegara, bekas pejabat tinggi Departemen Agama Anton Timur Djaelani, dan banyak lagi tokoh lainnya dari berbagai organisasi Islam seperti Al Wasliyah dan PITI. Malah ada yang menyebut, Mohammad Natsir, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan bekas tokoh utama Masyumi itu, turut pula menurunkan tanda tangan. Konon, surat pernyataan itu merupakan hasil dari beberapa kali pertemuan yang dihadiri sejumlah tokoh Islam itu di rumah K.H. Masjkur dan kantor Alamsyah di Kemang, Jakarta. Menurut salah seorang penandatangan pernyataan itu kepada TEMPO, dalam pertemuan itu dibahas berbagai langkah dan keberhasilan Pak Harto dalam menumpas PKI, memimpin Orde Baru, memimpin pelaksanaan pembangunan material dan spiritual yang mereka nilai berhasil, serta jasa Pak Harto membangun begitu banyak masjid melalui Yayasan Amal Bakti Muslimin Pancasila. Karena itu, mereka meminta agar Pak Harto menjadi presiden sekali lagi. "Penandatanganan surat itu sendiri dilakukan belakangan sehingga ada juga tokoh yang tak hadir kemudian ikut tanda tangan," kata sumber itu. Tapi beberapa nama yang disebut di atas membantah turut serta, seperti Ketua MUI Hasan Basri, Sekretaris MUI Prodjokusumo, dan Wakil Rais Am NU K.H. Ali Yafie. "Saya tidak tahu ada pertemuan seperti itu," kata Hasan Basri. "MUI tak pernah diajak dalam pertemuan begitu," kata Prodjokusumo. "Saya juga tak pernah hadir dalam pertemuan dan tak menandatangani pernyataan seperti itu," kata Ali Yafie. Anwar Haryono, salah seorang Ketua DDII, membantah Natsir turut dalam pernyataan itu. Anwar Haryono mengaku pernah hadir dalam suatu pertemuan di rumah K.H. Masjkur beberapa bulan yang lalu. Dalam kesempatan itu Alamsyah sempat mengungkapkan keberhasilan pembangunan di tangan Pak Harto. "Tapi sama sekali tak dibicarakan pernyataan dukungan itu," katanya. Memang tak semua nama itu membantah. "Tentu saya ikut menandatanganinya. Masa saya mau ketinggalan, ini kan termasuk jihad," ujar K.H. Ibrahim Hosein, Ketua Majelis Fatwa MUI. Apalagi, menurut dia, sejumlah tokoh MUI seperti Hasan Basri dan Prodjokusumo sudah menanda-tangani pernyataan itu lebih dulu. Sumber lain menyebutkan tanda tangan Hasan Basri ada pada urutan pertama di surat itu. Anwar Nuris, bekas Sekjen PB NU, juga mengaku ikut menandatangani pernyataan itu. "Yang penting sampai sekarang Pak Harto masih bugar, gagasan-gagasannya, yaitu pemerataan, saham koperasi, dan sebagainya, masih segar. Maka, bagi saya, pencalonan kembali Pak Harto tak ada masalah," kata Nuris. Nuris membantah bahwa pernyataan itu direkayasa, "Kebulatan tekad seperti itu kan tak melanggar peraturan. Kita tak boleh ditangkap karena mengeluarkan pendapat seperti itu, sebab ada jaminan dari UUD '45," katanya. Hanya saja, menurut Anwar Nuris, pernyataan itu memang tak disebarkan sekarang, karena dimaksudkan untuk SU MPR 1993 nanti. Amran Nasution, Ahmadie Thaha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini