SOAL Kedungombo kembali menarik perhatian. Bayangkan, sekitar 300 penduduk desa yang tergusur proyek pemerintah, mampir di gedung DPR RI, Kamis pekan lalu. Ada orang tua, dewasa, remaja, sampai anak-anak pun, termasuk perempuan, ikut boyong dari Kedungombo menumpang enam bis, dan tiba di kompleks Senayan, Jakarta, sekitar pukul 8 pagi. Sebagian dari rombongan yang unjuk rasa itu langsung duduk-duduk, dan ada pula yang rebahan di halaman rumput. Aparat keamanan yang sempat terkejut atas kedatangan rombongan tamu yang tak diundang, segera mendatangkan bantuan. Lima puluhan polisi bersenjata laras panjang segera berjaga-jaga. Syukur tak terjadi keributan. Sekitar 80 mahasiswa yang mengawal penduduk sejak dari Solo segera membentuk barisan pagar betis mengelilingi kaum demonstran. Tapi beberapa wakil rakyat segera menyambut: Wakil Ketua FKP Oka Mahendra, dan Wakil Sekretaris FKP Bomer Pasaribu serta Krissantono. Ketiganya segera menemui sembilan anggota warga Kedungombo, lima di antaranya mahasiswa, yang dianggap memimpin rombongan. Tapi ajakan tuan rumah agar para wakil delegasi berdialog di kantor FKP ternyata ditolak. "Kami ini datangnya bersama, kami juga ingin menghadap bersama. Tidak ada wakil-wakilan," kata Karno, 50 tahun, penduduk Desa San Miri, Kabupaten Sragen. Karena tak mungkin menampung 300 orang di kantor FKP, maka akhirnya Oka Mahendra memutuskan untuk berdialog di lapangan terbuka. "Kalau itu keinginan Bapak-Bapak, ayo kita ke sana," katanya sambil berjalan menuju halamam. Dan kedatangan para wakil rakyat itu rupanya disambut hangat. Pekikan "Hidup Rakyat" pun bersahut-sahutan dari mulut yang unjuk rasa. Persoalan rakyat -- dalam hal ini yang tanahnya tergusur oleh proyek pemerintah -- memang merupakan alasan kehadiran mereka. Masalahnya, para warga Kecamatan Miri dan Kecamatan Sumberlawang di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, ini merasa ganti rugi yang mereka terima sungguh tak memadai. Yaitu antara Rp 250 dan 730/m2 untuk tanah. Padahal, menurut mereka, harga tanah di sekitar wilayah itu kini bernilai lebih dari Rp 13.000/m2. Belum jelas benar berapa harga tanah di wilayah mereka itu tahun 1988/89, yaitu ketika mereka menerima uang ganti rugi dari pemerintah, karena harga tanah di Kedungombo memang melonjak drastis bersamaan dengan naiknya air di danau buatan itu, awal tahun lalu. Tentu saja tanah yang harganya naik daun adalah tanah yang di tepi danau, bukan yang terendam air. Yang jelas, pemerintah daerah Jawa Tengah menganggap soal ganti rugi ini sudah tuntas dengan diterimanya uang ganti rugi itu. "Persoalan sudah beres semua, kok timbul lagi. Heran," kata Didi Soehadi, Kepala Bagian Humas Pemda Sragen. "Tahun 1988-89 ganti rugi tanah di Sragen untuk kepentingan Kedungombo sudah tuntas," kata Gubernur Jawa Tengah H. Ismail. Tapi, sebagian penduduk tampaknya merasa belum tuntas. "Ganti rugi yang kami terima tidak wajar, terlalu murah. Dulu kami sepertinya ditekan," kata Marsono, penduduk Desa Suko, Kecamatan Miri. "Kalau kami menolak, kami bisa dicap PKI," kata Parti, 40 tahun, satu-satunya perempuan yang ikut bicara dengan para wakil rakyat. Dan masalah "tekanan" ini memang bisa dilihat dari cara penduduk berangkat ke DPR. Mereka berkumpul di Taman Juruk di tepi Sungai Bengawan Solo secara sembunyi-sembunyi. Sebelumnya mereka berjalan keluar rumah dalam kelompok tiga sampai lima orang, lalu menumpang kendaraan umum ke taman yang terletak 35 km dari desanya itu. Walhasil, mereka oleh petugas setempat disangka rombongan yang ingin berlebaran. Di Taman Juruk pun mereka berlagak seperti rombongan yang lagi bersantai. Bis yang mengangkut mereka juga diatur tak datang sekaligus, melainkan dalam selang sekitar 10 menit. Kendati demikian, tak semuanya berhasil lolos ke Jakarta. Harun, 53 tahun, dan Harno, 49 tahun, ternyata tercegat oleh petugas Koramil dan dimintai keterangan. "Saya ditahan sehari, cuma untuk ditanyai," kata Harun. Para petugas keamanan rupanya ingin mengetahui siapa yang "mendalangi" kegiatan ini. "Saya merasa curiga dengan kejadian pengaduan ke DPR ini," kata Gubernur Ismail. "Saya akan mengadakan pengecekan yang teliti dan akan menindak oknum yang mendalanginya," kata Ismail. Ada kemungkinan "dalang" itu justru aparat sendiri. Sebab, salah satu keluhan yang disampaikan warga kepada FKP adalah pembayaran pajak tanah yang sudah tak mereka kuasai lagi dan ongkos pembuatan sertifikat tanah baru mereka yang "antara 200 ribu dan 300 ribu sebuah" itu. Bahkan mereka juga mengadu karena masih dikenai biaya untuk pengeringan sawah senilai Rp 250/m2. Pungutan pungutan ini, tampaknya, yang memicu rasa kesal. Apalagi muncu inspirasi dari keberhasilan gerakan rakyat di Kabupaten Boyolali mendapatkan tanah pengganti dari hutan Perhutani. Maka, ajakan kelompok mahasiswa KSKPKO (Kelompok Solidaritas Korban Pembangunan Kedungombo) mengadu ke DPR pun bersambut kendati biayanya konon Rp 7.000 per orang. "Kami menampung aspirasi mereka dan menyalurkannya," kata Juli, anggota KSKPKO yang mengaku mulai aktif mengadakan aksinya sejak Februari lalu. Lantas, bagaimana hasilnya? "Kami akan mempelajarinya lebih dahulu, dan akan membicarakannya dengan Pemerintah," janji Oka Mahendra. Oka beranggapan beberapa tuntutan itu cukup realistis. "Tanah yang sudah menjadi proyek tak boleh ditarik pajak lagi, dong," katanya. Hanya saja mengenai soal tuntutan peninjauan ganti rugi, Oka kelihatannya mengelak. "Karena dulu mereka sudah menerima, ini menjadi persoalan tersendiri," katanya. "Kita perlu mengingat kemampuan keuangan negara, dan menyadari bahwa proyek ini menyangkut kepentingan masyarakat yang lebih luas," tambah Oka. Justru ini, tampaknya, yang menjadi inti persoalan -- tuntutan sebagian rakyat Kedungombo yang merasa tanahnya dibeli dengan harga dibanting. Kalau tidak, tak akan mereka berbondong-bondong datang ke DPR di bulan Ramadan, bukan? Herry M., Bambang Harymurti (Jakarta), Bandelan Amarudin, Kastoyo Ramelan (Jawa Tengah)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini