MENGEJUTKAN mungkin, tapi tak aneh: Aceh -- sering disebut "Serambi Mekah" -- memang wajar jadi tempat tumbuh aliran semacam Bantaqiyah. Ujung tombak peta Nusantara ini sejak di zaman Belanda selalu berada di posisi unik dan hampir tak diam. Orang di sana, campuran pelbagai ras, dengan sejarah yang panang, tampaknya selalu berulat dengan kemandiriannya. "Orang Aceh itu punya pandangan, apa saja boleh hilang, asal jangan identitasnya," kata Gubernur Ibrahim Hasan, putra Aceh asli. Dalam berkumpul sesama mereka, mereka merasa independen . Berakarnya watak independen begitu, menurut Gubernur, terkadang bisa merepotkan. Terutama dalam pertemuan, atau persinggungan, dengan kalangan serta pengaruh luar yang berbeda. Khususnya bagi mereka yang masih tak terbiasa dengan pusat-pusat informasi dan arusnya. Maka, tak usah heran jika meletup protes yang dilakukan Bantaqiyah dan pengikutnya di Sigli, Meulaboh, dan Kuala Batee di Kabupaten Aceh Selatan dua pekan lalu itu. Apalagi Aceh punya sejarah berbenturannya paham-paham Islam yang beragam. Hamzah Fansuri dan muridnya, Syamsuddin Samathrani (disebut juga Syamsuddin Pasai) pada abad ke- 16 itu pernah mengguncangkan Aceh. Ketika itu Sultan Iskandar Muda masih berkuasa. Ajaran mereka adalah ujudiyah. Menarik, bahwa ada yang menganggap kaitan ajaran ini dengan alaran Bantaqiyah. "Kalau dilihat cara-cara Bantaqiyah itu sama dengan Wujudiyah yang bersumber dari ajaran Fansuri. Ini sesat," kata Dr. Ismuha, Ketua Komisi Fatwa MUI Aceh . Fansuri sempat jadi penasihat Sultan Iskandar Muda. Sajak mistiknya yang terkenal Idalah: Hamzah Fansuri di dalam Mekkah/Mencari Tuhan di bait alka'bah/Di Barus, di Kudus, terlalu payah/Akhirnya dapat di dalam rumah. Fansuri memang banyak mengarang buku, antara lain, Syair Persahu, Syair Burung Pungguk, Asrar alArifin. Sedangkan Syamsuddin, yang masih jadi orang dalam di kerajaan, menulis Hikayat Aceh dan Hidayat al-Habib. Lawan mereka adalah Nurudin al-Raniry yang berasal dari Gujarat, kemudian jadi ulama kerajaan. Ajaran Fansuri dan Syamsuddin diserangnya dengan bukunya berjudul Asrar al-Insan fi Makrifat ar-Ruh ar-Rahman. Fansuri mendebat Raniry dengan sajaknya Aku melihat dengan mata Tuhan/Aku mendengar dengan telinga Tuhan/Aku merasa dengan lidah Tuhan/Akulah Tuhan. Gara-gara puisi itulah Al-Raniry menilai Fansuri telah menyimpang dan akldah dan menuduh dia "kafir" atau zindik. Buku-bukunya kemudian dibakar. Sedangkan Syeh Abdur-rauf Singkel atau Teungku Syiah Kuala yang berdiri di kubu Raniry, terlibat pula membasmi paham ittihad dalam ketuhanan itu. Fansuri tampaknya menyebarkan pahamnya mirip Al-Hallaj, sufi terkenal yang dihukum mati di Baghdad dimasa Khalifah Al-Muqtadir pada abad ke-10 Masehi. Seperti Syeh Siti Jenar di Jawa yang juga dihukum mati oleh para wali, Al-Hallal dipersalahkan karena telah mengajarkan pengertian-pengertian seperti fana'fillah alias "musnah dalam Allah" dan anal-Haq atau "akulah Tuhan". Fansuri yang lama di Mekah dan terpengaruh dengan filsafat mistik Muhyidin Ibn Arabi (165-1240) dari Spanyol yang terkenal dengan Turjumanul Asyaq (Tarjamah Rindu) memang tak jadi dihukum bakar. Dia kemudian diusir dari Aceh, dan kembali ke kampungnya, Barus, di Tapanuli Tengah. Tetapi, pergulatan sufiah model Fansuri kontra Al-Raniry, kemudian hampir tak pernah terdengar lagi di Aceh. Baru setelah kemerdekaan bisul-bisul aliran yang kadang dianggap "sungsang" itu muncul kembali. Menurut Ketua MUI K.H. Hasan Basri kepada Musthafa Helmy dari TEMPO, di Aceh memang masih banyak aliran tarekat. Tapi ajaran Bantaqiyah, setelah dikaji oleh MUI, termasuk kategori ajaran "sesat dan meresahkan masyarakat". Menurut Sejarawan Dr. Taufik Abdullah, kasus Bantaqiyah memang tidak mengherankan dalam sejarah Aceh. Ketika pada akhir abad ke-16 di Aceh terjadi pelemahan jiwa, lalu tampil seorang ulama seperti Abdur-Rauf Singkel dengan ajarannya yang "fundamentalis" - yang dapat memperkuat dan memperkukuh kembali jiwa mereka. Bantaqiyah disebut Taufik sebagai gerakan yang didorong semangat agama yang diperkuat struktur yang mengelilinginya. "MUI baru menilai ajarannya, tidak melihat struktur dan dialognya," kata Taufik. Kelompok Fisabillah Kebenaran Islam yang diajarkan Bantaqiyah itu berpusat di Beutong Ateuh, Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Menurut ajaran ini, jika sudah mencapai makrifat, maka yang namanya ibadat, seperti salat, puasa, kawin, cukup dilakukan "melalui batin" saja. Banta, 35 tahun, yang kata setengah orang suka main domino dan pernah membuka sebuah CV yang telah bangkrut itu, juga mengajarkan: istri yang diceraikan suaminya boleh langsung kawin dengan lelak lam, tanpa menunggu habis masa iddahnya (TEMPO, 23 Mei 1987). Gubernur Ibrahim Hasan pada Muhsin Lubis dari TEMPO menilai bahwa ajaran Bantaqiyah murni agama. "Hanya jeleknya, aliran ini menganggap orang lain itu kafir. Sedangkan salah satu syarat sebagai pengikut Bantaqiyah, ia harus membunuh orang kafir." Karena itu, pada 1984, Kejaksaan Tinggi Aceh melarang ajaran Bantaqiyah. Murid-muridnya yang berseragam jubah putih itu kemudian menghunus pedang di Sigli dan Meulaboh dengan mengafirkan sesama Islam. Karena bikin aksi dengan memakai senjata pedang, tombak, dan mengibarkan bendera, orang mengira pengikut Banta mirip dengan apa yang dilakukan murid-murid Ibrahim Lybia di Kedah. Ternyata, dugaan ini melenceng. Ibrahim, yang tewas bersama 13 pengikutnya dalam bentrokan 19 November 1985 dengan polisi di Baling itu, sangat kuat memegang akidah. Dia tak mengajarkan "ajaran menyimpang" pada pengikutnya. Tapi suasana di Baling yang nyaris terisolasi di perbatasan Muangthai dan miskin itu (mirip dengan di Beutong Ateuh) memungkinkan Ibrahim menghimpunkan pengikutnya. Polisi menuduh orang yang pernah bekerja di kantor Perdana Menteri Malaysia ini sebagai penjenaya alias penjahat. Ini gara-gara di antara pengikutnya ada 34 buron yang terlibat kriminalitas. Dan Ibrahim melindungi mereka di rumahnya. Ketika digerebek, Ibrahim dan pengikutnya melempar bom molotov yang menewaskan empat polisi Malaysia. Ibrahim sendiri tewas.. Nasib Banta lain. Ia kini. sedang diuber yang berwajib. Tetapi ia dengan mudah menhilang ke dalam hutan yang masih perawan.Dan kalau ajarannya masih merebak ke masyarakat seperti meletup di Sigli dan Meulaboh, itu karena dia punya murid-murid. Tetapi, bagaimana Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lembaga Pakem di kejaksaan memutuskan suatu ajaran "sesat" atau tidak? "Kita cukup melihat dari sudut agama, bagaimana ajarannya dan bagaimana ritualnya," ujar K.H. Hasan Basri. "Tetapi, tarekat yang benar tak menampakkan diri di luaran. Arti tarekat itu adalah mendekatkan diri kepada Allah. Kalau sudah shoe of force, itu bukan lagi tarekat namanya. Itu sudah menyimpang," tutur Ketua MUI itu lagi. Hingga 1980, Pakem/Kejaksaan Tinggi Aceh telah melarang enam ajaran "sesat". Misalnya, Tarekat Makrifatullah yang dipimpin Ilman Lubis di Sinabang. Ajaran ini menyebut kiblat itu ada empat: tubuh, hati, nyawa, air. Selain itu, katanya, eksistensi Nabi Muhammad menjadi raib, dan "tinggallah zat Allah dalam tubuh si pengikut." Menyusul pada 1983 ajaran Abdul Majid Abdullah di Kota Kualasimpang dilarang beredar. "Ajaran ini menuduh bahwa mazhab yang ada itu sesat, sedangkan salat Jumat katanya cukup di rumah saja," kata Ketua MUI Aceh, Ali Hasjmy, pada Bersihar Lubis dari TEMPO. Tarekat Saufiah Samaniah (Takengon), Gerakan Magrifatullah pimpinan Abdul Muif di Banda Aceh dan Ajaran Seni Bela Diri Islam yang tak mengakui kiblat ke Masjidil Haram, dipimpin Abdul Gani di Sigli, juga sudah dilarang. Aliran ini malah mengatakan tak perlu naik haji ke Mekah, tetapi cukup di Aceh saja. Sebelum suatu ajaran dilarang, kenapa pimpinan mereka tak mendapat hak menjelaskan dan membela diri? "Mereka itu bandel. Sukar untuk berdialog secara argumentatif dengan mereka," jawab Jaksa Tinggi Aceh, Amanul Ishak Adnan. Kendati begitu, mereka boleh saja membela diri. Asal ajaran dan kegiatan mereka itu tidak dilanjutkan. "Kalau masih dilangar jua, bisa saja diproses sebagai tindak pidana," kata Ajad Sudrajat, Kepala Humas Kejati Aceh. Tapi, menurut Taufik Abdullah, mereka jangan didekati secara begitu saja. "Panggil lah juga seorang ahli untuk bicara," katanya. Sejarawan ini menlabar bahwa ilmu pengetahuan sendiri merosot di Aceh. Ini karena keterlibatan masyarakatnya dengan perang yang panjang, sebelum dan sesudah Indonesia merdeka. Gara-gara perang pula ritual tak lagi dapat kesempatan yang sebenarnya untuk dilaksanakan dengan utuh. "Karena itulah tarekat berkembang di Aceh," kata Taufik Abdullah. Zakaria M. Passe, Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini