Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Andy Yentriyani mengatakan, pemindahan terpidana mati Mary Jane Fiesta Veloso ke Filipina, sesuai dengan amanat hukum nasional, terutama dalam mengatasi persoalan diskriminasi berbasis gender terkait kondisi perempuan berkonflik dengan hukum. Ini juga sebagai penguat komitmen pemenuhan hak konstitusional atas hidup melalui upaya penghapusan hukuman mati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Hampir satu dekade sejak dilaporkan, Komnas Perempuan bersama masyarakat sipil di Indonesia-Filipina terus mengupayakan agar Mary Jane memperoleh akses keadilan yang menjadi haknya sebagai korban perdagangan orang dan perempuan berkonflik hukum,” kata Andy dalam rilis resmi pada Kamis, 19 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upaya ini, menurut dia, termasuk permohonan grasi dan penundaan eksekusi pidana mati, akses untuk memberikan keterangan pada kasus perdagangan orang yang menimpanya, serta pemindahan lokasi tahanan kembali ke negaranya.
“Pemindahan ini sesuai dengan Bangkok Rules, sebuah norma internasional mengenai aturan perlakuan terhadap tahanan perempuan, yang mendorong agar penempatan lokasi perempuan tahanan dekat dengan keluarga dengan memperhitungkan tanggung jawab pengasuhan dan/atau memperhitungkan dukungan untuk rehabilitasinya,” ucapnya.
Komisioner Komnas Perempuan Satyawanti Mashudi berpendapat, pemindahan ini dimungkinkan melalui Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, meski belum spesifik sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 45 ayat (2) UU 22/2022.
Pertimbangan kemanusiaan dan Traktat ASEAN mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Perihal Pidana (2019) menjadi bagian dari pertimbangan pemerintah Indonesia untuk mengedepankan upaya pemindahan Mary Jane
“Pidananya hukuman mati sementara Filipina negara yang tidak menganut hukuman mati. Hal ini memberikan harapan baik bagi Mary Jane karena telah dipenjara selama 14 tahun di Indonesia, sehingga dipastikan akan melanjutkan hukumannya sesuai dengan ketentuan negara Filipina,” ujarnya.
Mary Jane ditangkap di Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta pada 25 April 2010 setelah ditemukannya 2,6 kg heroin di dalam koper yang dibawanya dari Malaysia. Pengadilan Negeri Sleman menjatuhkan pidana mati kepada Mary pada 22 Oktober 2010.
Perempuan berusia 39 tahun sempat akan dieksekusi mati pada April 2015. Namun eksekusi itu batal setelah Komnas Perempuan menemukan fakta bahwa dia merupakan korban perdagangan orang.
“Setelah Komnas Perempuan melakukan pencarian fakta, diketahui bahwa Mary Jane adalah korban dari tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan pada 29 April 2015 Mary Jane mendapatkan penangguhan eksekusi mati di menit-menit terakhir,” kata Satyawanti.
Komisioner Komnas Perempuan lainnya, Tiasri Wiandani, mengungkapkan ada persilangan yang kuat antara TPPO terhadap perempuan dan perdagangan narkotika. Persoalan kekerasan berbasis gender dan kemiskinan membuat perempuan rentan terjerat eksploitasi menjadi penyelundup narkotika.
Komnas Perempuan berharap, putusan progresif pemindahan tahanan Mary Jane dapat menjadi jalan baru baginya atas pemenuhan keadilan, hak asasi manusia, dan pemulihan sebagai korban TPPO. Juga menjadi langkah baru bagi sistem hukum Indonesia yang lebih manusiawi dan berkeadilan serta adanya upaya pencegahan pelanggaran hak asasi manusia dan kekerasan berbasis gender terutama terhadap perempuan berkonflik dengan hukum.