Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Editorial Tempo.co
--
Pembongkaran masjid jemaah Ahmadiyah di Balai Harapan, Sintang, Kalimantan Barat, tidak boleh dibiarkan terjadi. Selain melanggar konstitusi, pembongkaran tersebut mengancam hak asasi kelompok minoritas. Ironisnya, perbuatan semena-mena itu dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sintang, yang seharusnya menjamin kebebasan beragama dan beribadah bagi seluruh warga di wilayahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembongkaran masjid Ahmadiyah itu dilakukan pada 29 Januari 2022. Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Sintang membongkar bagian kubah masjid setelah Surat Peringatan (SP3) dari Pemerintah Kabupaten Sintang perihal pembongkaran tak diindahkan jemaah Ahmadiyah. Rumah ibadah itu akan dialihfungsikan menjadi tempat tinggal atau balai pertemuan. Tak cuma menabrak Undang-Undang Dasar 1945, pembongkaran paksa itu bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang sudah diratifikasi Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itu sebabnya, pemerintah pusat harus menegur Bupati Sintang. Dalih bahwa bangunan masjid tak sesuai peruntukan terkesan diskriminatif dan mengada-ada. Apalagi kemudian terungkap bahwa masjid itu bukan satu-satunya rumah ibadah tanpa izin mendirikan bangunan (IMB) di daerah tersebut. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Tahun 2006 juga mengatur bahwa perselisihan rumah ibadah harus diselesaikan secara musyawarah.
Pembongkaran itu menunjukkan pemerintah kabupaten Sintang lebih tunduk pada tekanan massa. Sejak 2004, jemaah Ahmadiyah di Sintang sudah mendapat penolakan dari masyarakat. Penolakan itu kian menjadi-jadi sepanjang 2021. Pada 14 Agustus lalu, pemerintah kabupaten Sintang sempat menyegel masjid tersebut. Namun massa yang masih tak puas membakar rumah ibadah itu pada 3 September lalu. Sebanyak 21 terdakwa dalam kasus itu sudah divonis 4 bulan 15 hari.
Namun kasus pembakaran, juga hukuman buat pelaku, tak menjadi akhir dari episode kelam ini. Alih-alih mencari jalan keluar yang bisa menjamin kebebasan beribadah, pemerintah kabupaten melayangkan surat peringatan yang meminta jemaah Ahmadiyah membongkar sendiri masjidnya. Setelah dua surat pertama tak diindahkan, mereka kemudian melayangkan surat ketiga. Ketika batas waktu itu terlewati, Satpol PP bertindak seenaknya membongkar kubah masjid itu.
Kejadian di Sintang seperti mengulang pola lama yang sering terjadi di berbagai daerah. Aparat pemerintah kerap melarang kegiatan kelompok minoritas dengan dalih mencegah serangan dari kelompok mayoritas atau demi memelihara harmoni sosial. Bukannya mencegah agresi kelompok mayoritas, pemerintah justru ikut menekan dan mendiskriminasi kelompok minoritas. Kasus di Sintang memperpanjang daftar kesewenang-wenangan aparat pemerintah terhadap kelompok ini.
Peristiwa itu sekaligus bukti bahwa pembubaran kelompok intoleran, seperti Front Pembela Islam dan Hizbut Tahrir Indonesia, tidak serta merta mengurangi kekerasan terhadap kelompok minoritas. Apa yang dialami jemaah Ahmadiyah menunjukkan bahwa represi terhadap kelompok garis keras tidak berdampak pada meluasnya kebebasan beragama. Tekanan dan kekerasan itu malah difasilitasi oleh pemerintah sendiri.
Yang semestinya diharapkan dari pemerintah bukanlah kesewenangan atau represi, tapi keberanian untuk melindungi dan menjaga hak-hak minoritas. Ini bisa dimulai dengan mencabut Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung Tahun 2008 tentang Ahmadiyah. Keputusan yang melarang jemaah Ahmadiyah menyiarkan dan menjalankan keyakinan mereka secara terbuka kerap menjadi dalih kelompok intoleran untuk melakukan persekusi. Selama SKB ini masih berlaku, penganut Ahmadiyah di Indonesia akan terus mengalami diskriminasi.
Pemerintah harus memastikan persekusi terhadap jemaah Ahmadiyah tidak boleh terulang lagi. Tanpa ada ikhtiar untuk memperluas toleransi, hak beragama kelompok minoritas akan selalu terpinggirkan di negeri ini.