Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALKISAH, Raja Dasarata dari Kerajaan Ayodhya berniat mencari penggantinya. Beliau hendak lengser. Ada empat putranya. Rama, Bharata, serta saudara kembar Laksmana dan Satrugna. Secara aturan kerajaan, Rama yang berhak menggantikan Dasarata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun musyawarah keluarga memutuskan Bharata yang menjadi pengganti raja. Bharata menolak. Dia merasa ilmunya tak cukup. Meski demikian, ibunya ngotot agar dia mau menerima perintah itu. Akhirnya, Bharata menemui kakaknya. Rama menyetujui keputusan itu. Bharata pun terpaksa menerima peran sebagai calon raja, tapi dia meminta sandal Rama ditaruh di atas singgasana kerajaan sebagai pertanda kakaknya itulah yang lebih berhak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wiracarita Ramayana ini mengajarkan etika sopan santun serta soal perlunya mengukur kemampuan diri sendiri apakah layak menjadi pemimpin. Terlepas dari kontroversi bahwa Ramayana itu sejarah atau fiksi, kisah ini sering dijadikan sesuluh bagaimana mendapatkan pemimpin yang baik.
Apakah Pramono Anung mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada) di Jakarta ini mewakili kegelisahan Bharata? Untuk sebagian orang, ya. Berkali-kali Pramono menolak dijadikan calon gubernur (cagub). Entah Pramono merasa tidak mampu atau merasa bukan orang yang dikehendaki rakyat, kita tak tahu. Tapi Pramono tahu, sebelum tawaran kepadanya, ada pula tawaran untuk Basuki Hadimuljono. Menteri PUPR ini menolak. Nah, pada saat Pramono dipanggil Ketua Umum PDI Perjuangan menjelang tenggat, dia pun menerima pencalonan dari Ibu Megawati itu. Lalu Pramono menelepon Anies Baswedan, tokoh yang konon disukai rakyat Jakarta.
Pilkada serentak 2024 ini memang penuh drama. Orang menyebut ini permainan taktik, strategi, dan kelicikan elite politik. Namun banyak yang menyebutkan dalam pilkada ini ada “campur tangan semesta”. Ungkapan bahwa “manusia merencanakan dan Tuhan menentukan” jadi bergema. Siapa yang memprediksi bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah aturan ambang batas suara untuk pencalonan dalam pilkada? Dewan Perwakilan Rakyat berupaya menganulir putusan MK itu dalam hitungan jam, lalu demo kawal putusan MK melanda berbagai daerah. Juga dalam hitungan jam. Rakyat menang melawan wakil-wakilnya sehingga dalam pilkada muncul calon-calon alternatif di berbagai daerah, termasuk Pramono Anung di Jakarta.
Barangkali ada benarnya “campur tangan semesta”. Ada angin segar bertiup seperti di zamannya Ramayana. Para tokoh mulai menghadapkan cermin ke dalam dirinya: apakah layak dicalonkan, termasuk dicalonkan di suatu daerah yang terasa asing bagi mereka. Sikap Pramono Anung yang awalnya menolak menjadi pertanda bahwa dia tidak jemawa sekaligus seperti mengumumkan, jika setelah menjabat tak sepenuhnya berhasil, dia mohon dimaklumi. Sikap rendah hati. Sikap Anies Baswedan juga bagus untuk ditiru. Dia legawa gagal dicalonkan di Jakarta. Ketika ada upaya pencalonannya di Jawa Barat, Anies menolak dengan alasan dia tahu diri. Di Jawa Barat, rakyat tidak terdengar mengharapkannya. Kalau menerima itu, artinya dia adalah sosok yang kemaruk jabatan.
Di berbagai daerah ada calon yang mendadak mengundurkan diri. Apakah mereka juga mengarahkan cermin ke dirinya? Ahmad Riza Patria, calon wali kota yang diusung Gerindra di Tangerang Selatan, Banten, mundur menjelang pendaftaran. Calon wakilnya, Marshel Widianto, yang memang banyak disorot karena kemampuannya, juga mengundurkan diri. Di Solo, Jawa Tengah, KGPAA Mangkunegara X, yang biasa disapa Gusti Bhre, juga mundur sebagai calon wali kota. Ibunya tidak setuju, padahal dia didukung banyak partai koalisi. Di Semarang, Jawa Tengah, calon wali kota Dico Ganinduto, yang diusung Golkar dan Partai Solidaritas Indonesia, juga mengundurkan diri.
Kesadaran mengundurkan diri karena merasa kemampuannya tidak mendukung merupakan suatu hal yang baik. Atau keluarga tidak mendukung. Atau justru merasa tidak didukung rakyat. Epos Ramayana mengajarkan bagaimana ciri pemimpin yang baik itu yang disebut Asta Brata—ajaran yang sering dikutip mantan presiden Sukarno dan Suharto. Intinya adalah pemimpin itu memegang amanah. Tak bisa ujug-ujug tanpa pengetahuan yang memadai. Tak bisa dipaksakan oleh orang tuanya yang tengah berkuasa. Apalagi dengan cara mengakali aturan yang sudah ada.
Jika kalian telanjur dalam posisi terpilih dengan cara buruk ini, lebih baik mundur sebelum “semesta campur tangan”. Monggo.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo