Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama ini Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menjerit mengeluhkan defisit sebesar Rp 19 triliun. Mereka mengaku kekurangan dana untuk memenuhi sarana dan prasarana kesehatan, obat, alat kesehatan, hingga honor tenaga medis. Tapi, ironisnya, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan ada dana kapitasi untuk program Jaminan Kesehatan Nasional dari BPJS yang tidak terserap hingga mencapai Rp 2,4 triliun, sejak tiga tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dana kapitasi adalah dana yang dibayarkan untuk layanan kesehatan bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional pada fasilitas kesehatan tingkat pertama, seperti puskesmas atau klinik. Dana ini dicairkan oleh bendahara dari dinas kesehatan kabupaten atau kota setelah puskesmas itu mengajukan klaim pengeluaran tiap bulan. BPJS mengucurkan dana kapitasi kepada daerah berdasarkan pengajuan anggaran lebih dari 9.000 puskesmas dan fasilitas kesehatan tingkat pertama lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anomali dan bahkan penyalahgunaan dana semestinya tak terjadi jika Kementerian Kesehatan, BPJS, dan Kementerian Dalam Negeri memiliki regulasi yang mengatur transparansi rencana kerja, anggaran, dan pertanggungjawaban puskesmas kepada publik. Bukan rahasia lagi, tata kelola penganggaran puskesmas selama ini buruk. Aparat daerah pun memanfaatkan kelemahan itu untuk memotong dana jasa layanan, memanipulasi data tenaga medis, hingga melakukan pungutan liar.
Korupsi dana kapitasi sudah beberapa kali terjadi. Komisi Pemberantasan Korupsi pernah menangkap tangan Bupati Jombang dalam kaitan penyalahgunaan dana itu. Ada delapan kasus korupsi dana kapitasi di delapan daerah yang menyeret dua kepala daerah, empat kepala dinas kesehatan, sekretaris dinas kesehatan, kepala puskesmas, hingga bendahara puskesmas sejak 2014. Korupsi berpotensi membesar, mengingat tiap kabupaten atau kota masih memiliki sisa saldo dana tersebut sebesar Rp 30 miliar.
BPJS semestinya bisa memaksimalkan penyerapan dengan memberikan dana berdasarkan kinerja atau jumlah pasien yang ditangani puskesmas, bukan berdasarkan jumlah peserta di wilayah itu. Selama ini BPJS membiayai layanan di tingkat pertama sebesar Rp 3.000-6.000 per peserta per bulan untuk 188 juta jiwa. Ini belum termasuk fasilitas untuk tingkat di atasnya dan fasilitas tingkat pertama swasta. Jika didasari kinerja, puskesmas yang tidak optimal tentu tak akan mendapat dana yang sama pada tahun berikutnya.
Penerapan sistem baru dimungkinkan jika Kementerian Kesehatan mengeluarkan peraturan menteri. Peraturan yang baru itu mewajibkan puskesmas membuka informasi tentang besaran dana kapitasi yang diperoleh per bulan dan per tahun kepada publik. Kementerian juga perlu meningkatkan kemampuan personel di fasilitas tingkat pertama dalam perencanaan dan penganggaran.
Perbaikan tata kelola di daerah juga perlu dikerjakan Kementerian Dalam Negeri dengan antara lain membuat regulasi soal pengelolaan dana kapitasi secara elektronik. Tujuannya untuk meminimalkan penyelewengan di tingkat daerah. Sistem ini jelas lebih andal untuk membuat proses perencanaan, penganggaran, belanja, pencatatan, dan pertanggungjawaban berjalan jauh lebih cepat, efisien, serta transparan.
Catatan
Gambar pendukung pada artikel ini telah diubah pada Kamis, 15 Agustus 2019 pukul 18.54 sehubungan dengan kesalahan pemilihan foto.