Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Toriq Hadad
@thhadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilu 2019 berlangsung aman. Banyak alasan bersyukur. Orang ramai tidak termakan isu-isu mengerikan seputar pencoblosan. Partisipasi pemilih meningkat. Lewat quick count, hasil suara lebih cepat diketahui. Saking cepatnya, pukul 15.00 lebih satu detik sudah ada lembaga survei yang berani mengumumkan presiden terpilih versi “hitung cepat”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semua bersyukur pada 17 April itu. Jokowi, peraih 54-55 persen suara versi quick count, bersyukur pemilu berjalan jujur dan adil. Walaupun Jokowi percaya hasil quick count, dia mengajak rakyat bersabar menunggu hasil resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Mei nanti.
Sejumlah ketua umum partai pendukung Jokowi juga tampak semringah di layar televisi. Mereka tentu bersyukur lantaran partainya lolos dari parliamentary threshold yang empat persen itu. PDIP, Golkar, PKB, PPP, dan NasDem, menurut versi “hitung cepat” memenangi hak mengirim wakil rakyat ke Dewan Perwakilan Rakyat.
Calon presiden Prabowo Subianto bukan saja bersyukur, tapi juga melakukan sujud syukur. Dalam pidatonya, Prabowo mengklaim menang 55,4 persen. Dalam pidato berikutnya, angka itu menjadi 62 persen, yang dikatakannya berasal dari 320 ribu tempat pemungutan suara dari total 810 ribu TPS dalam pemilu kali ini. Prabowo bilang angka itu datang dari “ahli statistika”, tanpa menyebut ahli statistika itu atau lembaga survei mana pun. Atas dasar itu, tanpa didampingi wakilnya, Sandiaga Uno, yang dikabarkan menderita sakit cegukan berkepanjangan, Prabowo memproklamirkan dirinya “sudah dan akan” menjadi presiden seluruh rakyat Indonesia.
Drama Pemilu 2014 terulang. Prabowo, yang berpasangan dengan Hatta Rajasa, tidak menerima hasil KPU. Dia mengumumkan dirinya menang. Klaimnya ketika itu disokong hasil quick count empat lembaga survei yang memenangkan pihaknya. Prabowo tidak lupa juga melakukan sujud syukur. Dia mengadu ke Mahkamah Konstitusi. Hasil akhirnya, pada Agustus 2014, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Prabowo-Hatta. Jokowi dan Jusuf Kalla memenangi pemilihan presiden 2014 itu.
Maka, pada Pemilu 2019, hari-hari ini Indonesia memiliki “dua presiden” periode 2019-2024 versi hitung cepat. Pertama, Jokowi, berdasarkan hasil hitung cepat semua lembaga survei. Kedua, Prabowo, berdasarkan hitungan “ahli statistika” yang tidak dipublikasikan namanya.
Sampai di sini, sebagai negeri yang sedang giat memajukan ilmu pengetahuan, kita masih patut bersyukur. Dua kandidat presiden kita sama-sama percaya pada sains, dalam hal ini statistika. Teori peluang atau probabilitas, yang menjadi dasar quick count, sudah ratusan tahun umurnya. Girolamo Cardano, matematikawan Italia yang awalnya seorang penjudi, mempublikasikan karyanya tentang teori peluang pada 1663.
Dalam pemilu di Indonesia, quick count yang dipakai sejumlah lembaga survei sejak Pemilu 2009 selalu tepat “menebak” hasil akhir yang dilansir KPU, bahkan dengan selisih kurang dari 1 persen. Tentu ini tidak termasuk lembaga survei “abal-abal” yang salah menerapkan metoda sampling atau bahkan sengaja menyelewengkan hasil monitoringnya untuk menyenangkan “pemesan kemenangan”. Dalam hal dua kandidat presiden Pemilu 2019 ini meyakini angkanya yang benar, semestinya perselisihan diselesaikan secara keilmuan pula. Tapi kita masih jauh dari impian itu. Kita masih wajib percaya pada “kebenaran hitung manual” KPU.
Entah kapan kita akan menyaksikan tradisi sesegera mungkin mengucapkan selamat kepada sang pemenang, seperti yang dilakukan Hillary Clinton kepada Donald Trump atau John McCain kepada Barack Obama. Demokrasi kita mesti sabar menunggu.***