Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Masyarakat Miskin yang Terjepit

Peningkatan jumlah penduduk miskin akibat pandemi Covid-19 sebetulnya sudah bisa diprediksi.

24 Juli 2020 | 07.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Masyarakat Miskin yang Terjepit

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagong Suyanto
Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Airlangga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Peningkatan jumlah penduduk miskin akibat pandemi Covid-19 sebetulnya sudah bisa diprediksi. Tapi, ketika Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan angka penduduk miskin Indonesia per Maret 2020, tetap saja kita terperangah. Baru satu-dua bulan wabah corona melanda Tanah Air, jumlah penduduk miskin telah mencapai 26,42 juta jiwa, naik 1,63 juta jiwa dari kondisi pada September 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski masih dalam kisaran di bawah dua digit, tingkat kemiskinan sebesar 9,78 persen dari total populasi ini tentu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Bukan tidak mungkin jika pendataan BPS dilakukan hingga Juli, maka jumlah penduduk miskin akan jauh lebih besar. Jika tidak ada upaya yang benar-benar signifikan dan efektif, pada September 2020, BPS niscaya akan mengumumkan angka kemiskinan yang melonjak drastis.

Menurut prediksi bank dunia, jumlah penduduk miskin di Indonesia bukan tidak mungkin akan mencapai 34 juta jiwa karena berbagai peluang untuk keluar dari efek domino pandemi Covid-19 seolah-olah menemui jalan buntu. Upaya menurunkan angka kemiskinan seolah-olah sia-sia ketika imbas wabah Covid-19 tak kunjung usai.

Pandemi itu tidak hanya menyebabkan terjadinya pendalaman kemiskinan, tapi juga membuat ketimpangan antar-kelas menjadi semakin lebar. BPS melaporkan, pada Maret 2020, rasio gini 0,381 atau naik 0,001 poin jika dibanding September 2019. Rasio gini yang mendekati angka 1 menunjukkan ketimpangan yang semakin lebar. Pengalaman di berbagai negara telah banyak mengajarkan bahwa, dalam kondisi kesenjangan antar-kelas yang semakin lebar, upaya pengentasan kemiskinan niscaya menjadi jauh lebih sulit.

Wabah corona tidak hanya menimpa masyarakat miskin, tapi juga golongan masyarakat menengah ke atas di lapisan yang terbawah. Kelas menengah baru, yang sebelumnya hidup berkecukupan, tiba-tiba kehilangan pekerjaan atau usahanya bangkrut karena daya beli masyarakat anjlok.

Dalam kondisi seperti di atas, di mana peluang masyarakat miskin dapat kembali bangkit mengembangkan usahanya yang berskala mikro dan kecil? Yang mereka butuhkan bukan sekadar bantuan sosial untuk bertahan hidup atau bantuan modal untuk mengembangkan kembali usaha mereka, melainkan kemungkinan harus berkompetisi dengan kelas sosial di atasnya, yang kini sama-sama berusaha bangkit dari keterpurukan. Bersaing dengan mereka tidaklah mudah karena kelas sosial di atasnya lebih berpendidikan, memiliki akses ke jaringan yang lebih luas, dan memiliki literasi digital yang mumpuni.

Kebijakan pemerintah yang meminta masyarakat mematuhi protokol kesehatan tidak hanya akan membatasi ruang gerak masyarakat miskin untuk bertahan hidup, tapi juga membuat roda perekonomian mereka lamban untuk dapat bangkit kembali. Di berbagai daerah, sudah bukan rahasia lagi kalau kehidupan masyarakat golongan menengah ke bawah sudah kembang-kempis. Daya tahan masyarakat miskin mungkin tidak lagi dalam hitungan bulan. Dalam minggu atau hari pun mereka kemungkinan akan masuk dalam pusaran kemiskinan yang mematikan.

Apa yang harus dilakukan untuk mencegahnya? Jawabannya tentu bukan hal yang mudah. Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah tidak banyak manfaatnya, kecuali sekadar memperpanjang napas mereka agar tidak langsung terjerembap. Alokasi dana penanganan pandemi yang mencapai Rp 700 triliun lebih itu ternyata tidak semua berdampak signifikan. Program Kartu Prakerja, misalnya, dilaporkan mengidap berbagai kelemahan dan bahkan kontraproduktif. Akibat tidak didukung data yang memadai, bantuan sosial untuk masyarakat miskin malah rawan bias dan rawan dipolitisasi oleh sejumlah pihak. Alih-alih mengurangi jumlah penduduk miskin, berbagai bantuan pemerintah itu justru menghasilkan efek samping yang tidak diharapkan.

Kesenjangan digital makin membuat masyarakat miskin terpuruk. Pada masa pandemi ini, peluang pelaku usaha yang mampu bertahan adalah mereka yang masih bisa bekerja dan beraktivitas dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi. Namun masyarakat miskin acap kali masih gagap beradaptasi dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, sehingga mereka umumnya sulit untuk bertahan.

Daya beli dan aktivitas perekonomian yang masih bertahan umumnya adalah ekonomi online. Konsumen yang masih memiliki dana cadangan biasanya membeli berbagai keperluan secara online. Usaha yang hanya mengandalkan aktivitas offline jelas akan ditinggalkan konsumen.

Masalahnya, masyarakat miskin kebanyakan bekerja di sektor informal dan memerlukan kehadiran fisik yang tidak bisa digantikan secara virtual. Pelan tapi pasti, mereka telah tergilas oleh iklim persaingan yang makin kompetitif. Seberapa besar pun bantuan modal diberikan, mereka niscaya tidak akan dapat mengalahkan para pesaing dari kelas sosial di atasnya yang lebih melek teknologi informasi.

Lantas apa yang masih tersisa dan perlu dikembangkan agar masyarakat miskin tidak makin terpuruk? Harapan satu-satunya adalah bila ditemukan vaksin Covid-19. Daripada bersikap utopis dengan memberdayakan kembali usaha masyarakat miskin, yang lebih realistis dilakukan adalah bagaimana kita berusaha memperpanjang napas mereka selama enam bulan ke depan sembari menunggu vaksin diedarkan.

 

 
Bagong Suyanto

Bagong Suyanto

Dekan FISIP Universitas Airlangga

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus